Ayat Shadiqin
  • Judul: Ayat Shadiqin
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 20:4:20 1-9-1403



يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Artinya:“ Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (Surah At-Taubah, ayat 119).

Poros Pembahasan

Ayat Shadiqin merupakan ayat lain yang berkaitan dengan wilayah, kepemimpinan dan kemaksuman Amirul mukminin Ali a.s. beserta sebelas orang dari keturunan beliau. Dalam ayat ini, Allah Swt menyeru manusia untuk mengikuti orang-orang yang benar. Lalu siapakah sebenarnya Shadiqin ini? Apa ciri-cirinya? Insya Allah, pada pembahasan mendatang jawaban pertanyaan ini akan jelas bagi kita.

Sekilas Tentang Surah At-Taubah

Mengenal secara global tentang surah At-Taubah dalam rangka menjelaskan kondisi turunnya ayat Shadiqin yang terdapat dalam surah ini adalah hal yang penting sekali. Oleh karena itu, mengenal poin-poin berikut ini merupakan hal yang tidak bisa terelakkan.

1. Nama-nama surah dan sebab penamaannya: Surah ini memiliki dua nama yang bertentangan; Taubah dan Bara’ah. Surah ini dinamakan dengan Bara’ah karena surah ini dimulai dengan kata tersebut. Selain itu, surah ini juga mengandung penegasan bara’ah dari kaum musyrikin dan para penyembah arca serta musuh-musuh Islam yang lain.

Karenanya, surah ini merupakan satu-satunya surah Al-Quran yang tidak dimulai dengan Basmalah yang menunjukkan rahmat dan kasih sayang.

Nama lain dari surah ini seperti yang telah di sebut di atas adalah surah At-Taubah. Penamaan ini disebabkan dalam surah ini banyak ayat-ayatnya yang menyeru manusia untuk bertaubat dan kembali kepada tuhannya; artinya kendati surah ini dimulai dengan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin, dan nuansa kerasnya peperangan mendominasi dari awal, namun ayat-ayat tentang taubat begitu banyak dijumpai. Sehingga setelah penegasan dan pengumuman terputusnya hubungan kaum muslim dengan para musyrik, dalam bagian terakhir ayat kelima surah ini, kita membaca[1]:” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, maka biarkan mereka; karena Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dengan demikian kendati para kafir dan kaum musyrik melakukan konspirasi yang beragam terhadap kaum muslim dan berbagai kejahatan telah melumuri jiwa mereka, namun jika mereka bertaubat dan mengamalkan hukum-hukum Islam maka taubat mereka akan diterima.

Sebab pemilihan dua nama yang kurang lebih bertentangan ini, dan dengan adanya ayat-ayat tentang taubat di dalam surah yang terdapat pemutusan hubungan dengan kaum musyrik, seakan-akan ingin memberitahukan semua kalangan bahwa di dalam Islam pintu taubat tidak pernah tertutup bagi orang-orang yang berbuat kesalahan atau para pendosa, bahkan di tengah-tengah peperangan sekalipun. Islam tidak bertujuan untuk membalas dendam akan tetapi tujuan Islam dalam peperangan adalah perbaikan dan ishlah. Oleh karenanya jika para musuh di tengah-tengah peperangan sadar dan bertaubat dan hal itu ditunjukkan, maka Islam tidak akan memeranginya lagi malah akan melindungi hak-haknya.

Dengan kata lain, dari gabungan ayat-ayat ini dan dua nama tersebut dapat ditarik sebuah poin penting dalam dunia pendidikan, dan itu adalah dalam pendidikan, kekerasan dan kelembutan sama-sama diperlukan; jika hanya kekerasan yang selalu digunakan maka manusia akan lari, sedang jika lemah lembut yang diberikan para pendosa akan merasa mendapat dorongan dan semakin berani untuk melanggar. Akan tetapi jika kedua hal tersebut; keras dan lunak digunakan secara berimbang dan bergantian, problem di atas akan tertangani. Oleh karena itu dorongan dan peringatan, keras dan lembut, sangsi dan taubat sama-sama diperlukan.

2. Masa turunnya ayat-ayat surah At-Taubah: ayat-ayat pertama surah At-Taubah turun pada akhir-akhir tahun kesembilan Hijriah, artinya satu tahun sebelum wafatnya Rasulullah Saw. Sesuai dengan yang ditulis oleh para mufasir. Berdasarkan ayat-ayat surah ini setelah terjadi sebuah peristiwa,[2] Nabi Saw dalam tahun ini memerintahkan Ali a.s. untuk mengumumkan empat poin penting pada pelaksanaan manasik haji kepada para muslimin. Empat poin itu adalah:

1. Mulai tahun kesembilan Hijriah dan seterusnya, tidak ada seorangpun yang berhak tawaf dengan tanpa busana.

Memang ada sebagian kaum laki-laki dan perempuan yang masih tetap tawaf dengan tanpa busana alias telanjang. Karena kaum musyrikin dan para penyembah berhala berkeyakinan jika seseorang ingin bertawaf dengan bajunya sendiri maka setelah selesai dia harus menyedekahkan baju tersebut kepada fakir miskin, orang yang hanya memiliki satu baju dia harus meminjam baju agar supaya tidak terkena undang-undang tadi. Dan mereka yang tidak dapat meminjam baju terpaksa melakukan tawaf tanpa busana dengan tujuan satu-satunya baju yang dimiliki mereka tidak perlu disedekahkan.

2. Kaum musyrik dan para penyembah berhala mulai saat ini tidak berhak untuk tawaf di Baitullah.

Bukankah Islam menerima kebebasan beragama? Lalu mengapa hal ini sampai terjadi?

Kebebasan beragama dan bermazhab memang ada dalam Islam, akan tetapi penyembahan berhala bukan termasuk sebuah agama melainkan sebuah keyakinan tak berdalil yang bercampur dengan aneka khurafat dan penyimpangan.

3. Kaum muslim akan menepati janji dan kesepakatannya dengan kaum musyrikin hingga akhir waktu yang ditentukan; akan tetapi setelah perjanjian usai maka pihak Islam tidak akan mengikat perjanjian lagi dan tidak akan memperbaharuinya kembali.

4. Kaum musyrik yang tidak memiliki kesepakatan dan perjanjian dengan muslimin hendaknya memperbaiki keyakinannya dan melepas keyakinan penyembahan arca selambat-lambatnya empat bulan, jika tidak, kaum muslimin akan memerangi mereka.

Al-hasil, ayat-ayat pertama surah At-Taubah yang isinya telah kita sebutkan tadi, turun pada akhir-akhir tahun kesembilan Hijriah, malah sangat kuat kemungkinannya, sisa ayat-ayat surah ini - termasuk ayat yang sedang dibahas- turun pada tahun kesepuluh Hijriah; tahun terakhir kehidupan Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, ayat Shadiqin turun pada detik-detik akhir kehidupan Nabi Saw dan pada dasarnya beliau sedang menyiapkan mukadimah wilayah, kepemimpinan dan kekhilafahan Amirul mukminin Ali a.s.

Penjelasan Dan Tafsir Ayat

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Allah Swt dalam ayat yang mulia ini memberikan dua perintah kepada orang-orang yang beriman; Pertama, kaum muslimin hendaknya bertakwa dan takut kepada Allah Swt. Takwa yang merupakan bekal yang paling utama bagi manusia. Takwa yang menjadi ukuran kedekatan manusia terhadap tuhannya, semakin tinggi ketakwaan yang dimiliki seseorang maka semakin dekat pula dia dengan tuhannya dan semakin sedikit ketakwaannya maka semakin jauh dia dari sumber anugerah itu.

Dalam ayat ke-13 surah Al-Hujurat disebutkan:” Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari (jenis) laki-laki dan (jenis) perempuan dan telah kami jadikan kalian berkelompok-kelompok dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (lagi) Maha Mengenal.”

Takwa merupakan surat izin masuk ke surga, Allah Swt dalam surah Maryam ayat ke-63 berfirman:” Itu adalah surga yang Kami wariskan kepada hamba Kami yang bertakwa.”

Takwa dalam perspektif Islam begitu penting karena dia akan menjadi kontrol intern bagi manusia sehingga kontrol lain tidak diperlukan lagi.

Kedua, dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan orang-orang mukmin agar supaya bersama orang-orang yang benar.

Siapakah Orang-orang Yang Benar itu?

Pertanyaan yang patut dibahas dan dicari jawabannya adalah, Apakah Shadiqin dalam ayat ini di mana kaum muslimin diperintahkan untuk mengikutinya adalah sosok khusus atau yang dimaksud darinya adalah arti secara bahasa sehingga siapaun orang yang benar harus diikuti dan dibarengi?

Jawab: Kita berkeyakinan bahwa maksud dari Shadiqin bukanlah setiap orang yang benar, akan tetapi orang-orang khusus. Hal itu bisa dibuktikan dengan dua hal:

1. Jika Shadiqin berarti umum dan tidak berkaitan dengan orang-orang tertentu, maka ungkapan yang seharusnya adalah: کونوا من الصادقين bukan كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ karena semuanya harus menjadi orang-orang yang benar bukan sekedar bersama mereka; oleh karena itu, mengingat kalimat kedua yang dipakai dan diharuskan untuk mengikuti mereka maka jelas yang dimaksud oleh ayat adalah orang-orang tertentu yang pastinya mereka bukanlah orang biasa.
2. Bukti kedua adalah Dhahir ayat menunjukkan kebersamaan dan mengikuti mereka tidak terlihat kaid, oleh karena itu Shadiqin yang dibahas tentunya orang-orang yang sudah dijamin oleh Allah Swt terbebas dari kesalahan, karena jika mereka tidak maksum tidak mungkin manusia dapat mengikuti setiap saat, karena jika mereka berbuat salah kita harus berpisah dengan mereka.

Oleh karena itu, mengingat bersama dengan orang-orang yang benar disebut secara mutlak maka mereka harus orang-orang khusus yang terbebas dari dosa sehingga kebersamaan dengan mereka yang tanpa syarat dan kaid dapat terwujud.

Hasilnya, ada dua pilihan; kebersamaan dan taat kepada orang-orang yang benar itu harus mutlak akan tetapi misdaqnya adalah orang-orang tertentu, atau Shadiqin mutlak mencakup semua orang yang benar, namun kebersamaan dan mengikuti mereka terbatas dengan syarat dan kaid. Sesuai dua konteks di atas kemungkinan pertama itu yang benar; dengan demikian Shadiqin terbatas dan hanya mencakup orang-orang pilihan saja sedang orang yang mengikutinya adalah mutlak dan semuanya.

Pendapat Ulama Ahli sunah

Para mufasir Ahli sunah, dalam hal ini umumnya terbagi kepada dua kelompok; sebagian mereka sangat simpel menghadapi permasalahan dan tidak banyak membahas apa-apa tentang kata Shadiqin ini.

Sedang kelompok yang lain membahas panjang lebar dan beragam, bahkan ada juga di antara mereka yang meyakini bahwa orang-orang yang benar itu haruslah maksum, karena itu konsekuensi ketaatan yang mutlak terhadap mereka; hanya sayang sekali praduga telah menghalangi mereka untuk sampai kepada hakikat dan kebenaran sejati.

Fakhrur Razi termasuk ulama kelompok kedua. Selain berkeyakinan bahwa Shadiqin harus maksum dia juga berkeyakinan bahwa hal ini tidak hanya terkait dengan zaman Rasulullah Saw namun tetap berjalan di setiap zaman dan ketaatan terhadap Shadiqin yang maksum adalah sebuah kewajiban.

Namun, saat tiba pada penentuan misdaq dia terjebak ke dalam praduga dan tafsir bi ra’y dan berkata:” Tidak mungkin kita menentukan sosok Shadiqin, oleh karena itu kita lebih baik menafsirkannya dengan seluruh umat Islam.” Artinya, jika umat Islam dalam sebuah permasalahan bersepakat dan berijmak, maka wajib bagi semuanya untuk menaatinya. Hasilnya كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ menurut keyakinan Fakhrur Razi, adalah di setiap zaman bersamalah dengan umat Islam!.

Kita perlu bertanya kepada Fakrur Razi, Apakah di zaman Rasulullah Saw dan saat turunnya wahyu, tafsir ini yang pertama kali terlintas di benak para sahabat? Lalu bagaimana permasalahan ijmak pada abad-abad setelah abad pertama dihasilkan?

Tanpa ragu lagi, tafsir ini tidak dapat dibenarkan dan para sahabat dan pengikut Rasul telah memahami bahwa yang dimaksud dengan Shadiqin adalah kelompok khusus yang maksum.

Dengan demikian, tanpa ragu lagi Shadiqin: Pertama, memiliki kemaksuman dan keterjagaan dari dosa dan kesalahan. Kedua, Setiap zaman sosok ini akan selalu ada dan tidak khusus di zaman Nabi Saw. Ketiga, Mereka hanyalah orang-orang tertentu saja.

Tiga poin di atas pada dasarnya diambil dari ayat tersebut,[3] akan tetapi misdaq Shadiqin tidak dapat dipahami darinya, hal itu butuh kepada penjelasan riwayat dan hadis.

Penafsiran Ayat Shadiqin Dengan Ayat-ayat Al-Quran Yang Lain

Jika kita hanya tunduk kepada ajaran Al-Quran dan menghindari praduga dan merenungkan kandungan ayat-ayat kitab suci ini, maka kita akan mendapati bahwa Al-Quran melalui ayat-ayatnya telah memperkenalkan kepada kita siapa sebenarnya misdaq dari Shadiqin itu? Allah Swt dalam ayat ke-15 surah Al-Hujurat berfirman:” Sesungguhnya orang-orang mukmin hanya mereka yang beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak pernah ragu (dalam keimanan tersebut) dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah; mereka itu adalah orang-orang yang benar.”

Sesuai ayat ini, Shadiqin selain memiliki keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya juga memiliki dua keistimewaan tambahan yang membuat mereka berbeda dari kaum muslimin yang lain:

1. Setelah iman kepada ketuhanan dan kenabian mereka tidak memiliki keraguan sama sekali dan di setiap fase-fase kehidupannya keimanan kokoh ini selalu mereka jaga.
2. Keimanan itu tidak hanya menjadi penghuni hati, akan tetapi ditularkannya kepada tataran praktis dan amal perbuatan sehingga karena hanya mengharap kerelaan Allah semata, bukan karena kepentingan harta dan jiwa selalu berjuang di jalan Allah Swt.

Dengan mengacu kepada dua ciri yang sangat jarang ini, mari kita ambil pelita untuk mencari siapakah sahabat dan pengikut Nabi Saw yang memilikinya dan benar-benar Shadiqin.

Dengan mengkaji sejarah awal-awal Islam kita akan sampai kepada sebuah hakikat bahwa sosok yang memiliki kriteria semacam itu hanya Ali a.s. saja; karena seluruh harta dan jiwa beliau dihabiskan untuk jihad dan berjuang di jalan Allah Swt di samping itu beliau sama sekali tidak memiliki keraguan dalam keimanannya.

Untuk membuktikan klaiman ini cukup kita bawakan tiga kisah dari kehidupan seorang Ali a.s. di mana beliau telah berjuang dengan harta dan jiwanya:

1. Kaum musyrik Mekkah telah merancang berbagai konspirasi untuk menghancurkan Islam yang masih seusia jagung itu. Akan tetapi dari semuanya tidak pernah mereka mendapat hasil yang memuaskan. Sampai suatu saat mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah Saw. Untuk merealisasikan tujuan keji ini dan untuk menghindari upaya balas dendam dari kabilah Nabi mereka sepakat bahwa teror ini akan dilakukan oleh empat puluh jagoan pedang yang gagah berani dan tangguh di malam yang gelap di rumah beliau.

Allah Swt melalui wahyu-Nya mengabarkan Rasul akan bahaya yang akan terjadi. Untuk menyelamatkan dirinya, Rasulullah harus hijrah ke kota Madinah, hanya saja untuk mengelabui orang-orang musyrik dan supaya mereka tidak menyadari kepergian beliau, harus ada seorang pemberani yang menggantikan beliau pada malam itu. Rasulullah Saw menunjuk Ali a.s. untuk pekerjaan itu.

Sesuai riwayat,[4] Rasulullah Saw bersabda kepada Ali a.s.:" Aku diperintah untuk keluar dari Mekkah menuju Madinah; akan tetapi di sekitar rumahku telah dikepung oleh empat puluh jago pedang dari empat puluh kabilah Arab dan mereka bertujuan untuk membunuhku. Ali, apakah engkau siap tidur di tempatku supaya aku bisa pergi ke Madinah dan menjalankan tugasku?”

Ali a.s. yang semua wujudnya adalah kecintaan terhadap Rasulullah Saw dan tidak pernah merasa ragu akan keimanannya itu berkata:" Jika aku tidur di tepat Anda apakah anda akan selamat sampai tujuan?” Ini merupakan pertanyaan penting; karena Ali a.s. tidak menanyakan sama sekali tentang nasib dirinya akan tetapi beliau menanyakan musibah yang kemungkinan akan menimpa Rasulullah Saw.

Rasul bersabda:"Iya, jika hal ini terjadi maka aku akan selamat sampai di sana." Ali a.s. untuk mengiakan permintaan itu, sujud syukur atas kesealamatan Rasulullah Saw, dan bisa jadi sujud ini merupakan sujud syukur pertama yang dilakukan dalam Islam.

Memang, dapatkah kita temukan di dalam Islam kecintaan terhadap Rasulullah Saw yang dimiliki oleh seseorang selain Ali a.s.?

Ali a.s. akhirnya tidur di tempat Rasulullah dan beliau pergi ke Madinah. Pada pagi harinya para musuh dengan menghunus senjata memasuki rumah Rasul; Ali saat mendengar suara beranjak dari tempat tidur. Mereka yang tidak mendapati Rasul bertanya kepada Ali a.s.: Di mana Muhammad?

Tanpa rasa takut sedikitpun, Ali menjawab: Memangnya kalian serahkan dia kepadaku hingga kalian ingin mengambil amanat itu kembali?

Mereka yang mendengar jawaban tegas tersebut berkata: anak kemarin sore ini telah termakan oleh rayuan Muhammad.

Ali a.s. saat mendengar celotehan mereka itu yang sekaligus hinaan terhadap kekasihnya, Nabi Saw dan cemoohan terhadap dirinya, beliau mengungkapkan sebuah ungkapan yang maha indah, ungkapan yang tidak mungkin dikeluarkan oleh sosok selain beliau. Ali muda ini bersabda:" Allah Swt telah menganugerahkanku akal, yang jika dibagi kepada seluruh orang-orang dungu yang ada di dunia dan orang-orang gilanya niscaya mereka semua akan menjadi orang-orang yang berakal. Allah juga memberiku kekuatan yang jika dibagi kepada semua orang-orang lemah di dunia maka mereka akan menjadi kuat, Allah juga memberiku keberanian yang jika itu dibagi-bagikan kepada para pengecut yang ada di dunia maka mereka akan menjadi orang-orang yang pemberani."[5]

Mereka dengan jawaban tegas yang didengar tadi keluar dan putus asa untuk mendapatkan mangsa yang dicari.

Jika Ali a.s. memiliki keraguan tentang ketuhanan dan kenabian sekecil apapun, apakah beliau siap mengorbankan jiwanya kepada sebuah bahaya yang pasti itu?

2. Para musuh dalam peperangan Uhud telah sampai kepada kemenangan akibat terpikatnya sebagian bala tentara perang terhadap gemerlap rampasan perang. Selain itu mereka juga memulai peperangan urat saraf. Pimpinan perang musuh yang mengetahui Rasulullah Saw terluka dengan suara lantang mengumumkan bahwa beliau telah syahid. Sebagian besar atau menurut sebagian riwayat semua pengikut rasul melarikan diri. Akan tetapi Ali a.s. dengan berpedoman kepada ungkapan Nabi bahwa keimanan akan mengalahkan kekafiran tetap berduel dan berperang dengan para musuh! Beliau tidak menggubris bualan tersebut, beliau berperang dan berperang sampai sekujur tubuh Rasulullah Saw terluka, maka laksana kupu-kupu yang berputar-putrar beliau melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Keberanian, keimanan dan usaha besar Ali a.s. telah membuyarkan upaya perang dingin yang diterapkan musuh dan orang-orang muslim sadar bahwa Rasulullah Saw masih hidup. Oleh karenanya sebagian dari pasukan kembali ke medan laga. Al-hasil, perang dengan berbagai kesulitannya berakhir dan para musuh kembali dengan kegagalan untuk membunuh Rasulullah. Akibat keberanian dan kelincahan yang dimiliki, Ali a.s. akhirnya menderita sembilan puluh luka. Rasulullah mengirim dua dokter dan ahli bedah untuk mengobati beliau. Akan tetapi mereka berdua cepat-cepat kembali dan mengadu kepada Rasulullah Saw: wahai Rasulullah luka-luka yang diderita Ali begitu banyak dan saling berdekatan hingga untuk menjahitnya kita akan melukai luka sampingnya.

Syablanji seorang ulama terkenal Ahli sunah dalam kitab, Nurul Abshar berkata:" Ali setelah perang Uhud saat menemui Rasulullah Saw berkata:’ pada detik-detik peperangan, aku terlibat pertarungan yang sangat sengit dengan para musyrikin, enam belas pukulan telak aku terima di mana karena pukulan-pukulan itu empat kali aku tak sadarkan diri. Setiap kali aku pingsan, ada seorang penuh cahaya datang menghampiri dan membangunkanku seraya berkata: ‘bangkit dan belalah utusan Allah.’” Wahai Rasulullah siapakah dia itu?’ Rasulullah Saw bersabda:”Beruntung sekali dirimu wahai Ali. Dia adalah Jibril Al-Amin.’””[6]

Iya, secara pasti Al-Quran telah menegaskan bahwa barang siapa yang tetap teguh dalam keimanannya terhadap tauhid dan istiqamah menjaganya maka bantuan semacam ini akan selalu datang dari langit:" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan tuhan kami adalah Allah kemudian mereka beristoqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya mengatakan janganlah kalian merasa takut dan bersedih hati dan berilah kabar gembira dengan surga yang telah dijanjikan untuk kalian.”[7]

Konklusinya, peristiwa ini menunjukkan jihad dengan harta dan jiwa dalam tingkatan yang sangat tinggi, juga menunjukkan keimanan dan yang kuat dan keyakinan beliau terhadap Allah Swt, rasul dan janji Al-Quran atas kemenangan Islam terhadap orang-orang musyrik. Dengan demikian beliau adalah misdaq Shadiqin yang memiliki kriteria-kriteria di atas.

3. Pada peperangan Ahzab ketika pahlawan besar Arab, Umar bin Abdi Wud berhasil melintasi parit yang digali oleh kaum muslimin, dengan suara lantang dia menantang. Tidak ada yang menyahuti tantangannya kecuali Ali a.s. tantangan ini diulang sebanyak tiga kali dan setiap kali Ali a.s. yang siap.

Ali a.s. dengan keimanan yang kokoh dan keberanian yang luar biasa bergerak menuju sangat jagoan, Rasulullah mengangkat tangannya untuk meminta kemenangan untuk beliau, Ali a.s. akhirnya berduel dengan Umar Bin Abdi Wud dan berkat inayah Allah beliaupun keluar sebagai jawara dan pemenang.

Ali a.s. duduk di atas dadanya Ibnu Abdi Wud meludahinya muka beliau dan mencemooh beliau.[8] Ali bangkit dan meninggalkan medan laga, kaum muslimin yang melihat itu dari jauh merasa heran, sangat jawara tak lama kemudian kembali ke mana laga dan memenggal kepala Ibnu Abdi Wud.

Setelah ditanya rahasia dari tindakan beliau itu, beliau bersabda:" Dia telah menghina ibuku dan meludahi wajahku. Aku marah karenanya, aku takut jika aku membunuhnya karena kemarahan ini (untuk melampiaskannya) maka aku tinggalkan dia sampai hatiku tenang dan api kemarahanku mereda. Kemudian (atas keikhlasan) dan untuk mengharap kerelaan Allah aku membunuhnya.”[9]

Oleh karena itu, tanda-tanda keimanan telah tampak di seluruh kehidupan Imam Ali a.s. Konklusinya, dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain dan fakta-fakta sejarah maka jelas bahwa yang dimaksud Shadiqin dalam ayat tadi adalah Ali a.s.

Shadiqin dalam Riwayat

Jika kita memperhatikan riwayat Tsaqalain dan meletakkannya di samping ayat di atas maka akan jelas Shadiqin adalah orang-orang yang dikenalkan oleh riwayat indah itu sebagai orang-orang yang maksum di mana berpegang teguh kepada mereka mencegah manusia dari kesesatan. Dengan memperhatikan riwayat ini maka ahlul Bait dan para imam adalah Shadiqin. Selain riwayat di atas, ada beberapa riwayat lain yang menjelaskan ayat mulia ini. Berikut ini beberapa contoh darinya:

1. lima orang dari ulama masyhur ahli sunah yang menukil sebuah riwayat berikut ini lima orang itu adalah Syuyuti,[10] Kharazmi,[11]Allamah Tsa’labi,[12] Allamah Ganji,[13] dan Hakim Haskani[14] semuanya menukil dari sahabat Rasul yang terkenal, Ibnu Abbas atau Jabir bin Abdillah Anshori, mereka menukil: “Bersamalah kalian dengan orang-orang yang benar artinya adalah bersamalah kalian dengan Ali a.s.”

Di sebagian tempat ada ungkapan lain seperti dia adalah Ali bin abi thalib atau riwayat lain yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib di mana semuanya mengarah pada satu arti.

2. Selain riwayat di atas, Hakim Haskani dalam Syawahidut-Tanzil menukil riwayat lain dari Abdullah bin Umar, di mana dia berkata: “Maas-shadiqin adalah bersama Muhammad Saw dan keluarga beliau.”[15]

Yang menarik dalam riwayat ini adalah para imam maksum yang lain juga disebut sebagai orang-orang yang benar.

3. Salim bin Qais yang dianggap oleh Allamah al-Majlisi sebagai orang yang tepercaya menukil sebuah riwayat dalam menafsirkan ayat Shadiqin: “Salman berkata: kita berada di sisi Rasulullah Saw ketika ayat Shadiqin ini turun. Aku bertanya kepada Rasulullah Saw: apakah maksud Shadiqin itu umum dan mencakup semua orang-orang yang benar atau hanya orang-orang tertentu saja? Rasulullah Saw menjawab: khitab ayat ini adalah umum dan mengarah kepada seluruh umat manusia akan tetapi Shadiqin yang dimaksud adalah saudaraku, yaitu Ali a.s. dan para wasiku hingga hari kiamat kelak.”[16]

Sesuai riwayat ini Shadiqin yang dimaksud adalah para imam.

4. Allamah Ganji dalam kitab Kifatut-Thalib dan Ibnu Jauzi dalam kitab Tadzkirah mengatakan: “Para ulama sair suluk mengatakan arti dari penggalan ayat itu adalah bersamalah dengan Ali dan keluarganya.”[17] Bukan satu atau dua orang yang mengatakan bahwa arti dari “Kunu ma’a Shadiqin” adalah bersama Ali dan Ahlul bait a.s., akan tetapi ahli sejarah juga mengatakan hal yang sama.

Pesan Ayat Shadiqin

Dari semua sifat-sifat dan kriteria seorang maksum; jihad, ibadah, ahli rukuk dan sujud, rajin salat malam, puasa, zuhud, alim, takwa, zikir, khusyuk dan yang lain ternyata sifat benar yang dipilih. Pemilihan sifat ini menyadarkan kita bahwa kebenaran memiliki peran penting dalam kehidupan manusia (bukan hanya kaum muslimin saja), oleh karena dalam ayat ini para imam dikenalkan dengan sifat luhur ini.

Untuk memperhatikan pentingnya tema ini mari kita perhatikan beberapa hadis dari Amirul Mukminin Ali a.s.:

1. “kebenaran adalah tiang agama dan pilar keimanan.”[18] Jika pilar sebuah bangunan dihilangkan maka bangunan itu akan runtuh. Jika seorang muslim tidak memiliki kebenaran maka Islam dan keimanannya akan lenyap.
2. “kebenaran merupakan pilar terkuat keimanan.”[19] Sebagaimana pilar tengah sebuah kemah jika dicabut maka kemah tersebut akan ambruk dan untuk sedetikpun tidak akan mampu berdiri tegak.
3. “kebenaran adalah kemaslahatan segala sesuatu sedang kebohongan kehancuran segala sesuatu.”[20]

Sesungguhnya jika seluruh masyarakat sosial benar; suami istri di rumah, para pekerja di kantor, partner kerja dalam perdagangan, aparat negara dalam politik, pelajar dalam belajar, para mahasiswa dan pelajar agama dalam ruang ilmu dan tahqiq, pokoknya seluruh masyarakat dalam posisinya masing-masing, jika berlaku benar niscaya tanpa diragukan lagi mayoritas problematika yang sedang melanda masyarakat sosial akan terselesaikan. Seluruh kesengsaraan yang ada akibat kebohongan dan ketidakbenaran.

Poin ini juga cocok dalam wacana internasional; sebagi sebuah contoh jika para pemegang panji Hak Asasi Manusia (HAM) benar-benar benar dalam mengangkat tema ini maka dunia akan muncul dengan muka baru, akan tetapi sekarang dunia telah menyimpang dari jalan kebenaran dan hanya mengejar manfaat dan berteriak saat terzalimi. Sehingga jika satu orang mata-mata Israel diadili di sebuah negara tertentu mereka kan segera bersuara lantang dan meneriakkan HAM, namun jika ribuan orang tertindas Palestina dibantai dengan cara yang paling keji mereka sama sekali tidak berkomentar. Bahkan sangat memprihatinkan dari sisi politik, ekonomi dan militer mereka senantiasa membantu Israel agar supaya terus-menerus melakukan kezaliman semacam ini.

Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Amirul mukminin Ali a.s. bahwa menyimpang ari kebenaran berartio kehancuran dan kerusakan.

Konklusinya, ayat Shadiqin memberikan pesan kepada seluruh kaum muslimin bahkan seluruh umat manusia untuk selalu benar dalam segala fase kehidupan.


Catatan Kaki:

[1] Bahkan kita mendapat poin tentang taubat sudah disebut dalam ayat kedua surah ini.

[2] Kurang lebih mayoritas mufasir dan ahli sejarah bersepakat bahwa ketika surah ini turun – atau ayat-ayat pertama darinya- semua perjanjian dengan kaum musyrikin dibatalkan. Rasulullah Saw untuk menyampaikan hal ini menyuruh Abu Bakar untuk membacakannya pada musim haji di hadapan kaum muslimin. Kemudian perintah ini dicabut dan akhirnya tugas penyampaiannya diberikan kepada Imam Ali a.s. Penjelasan peristiwa ini dan beberapa fakta-fakta sejarah lain yang ingin ditutupi oleh beberapa kalangan dapat dirujuk di kita Tafsir Nemuneh, jilid 7, halaman 275 dan selanjutnya.

[3] Mereka yang mengkaji ayat di atas dan ayat-ayat semisalnya tanpa fanatisme akan sampai kepada hasil yang baik. Di antaranya adalah At-Tijani, bekas ulama Ahli sunah. Berkat kajian yang detail dan tanpa jiwa fanatisme tentang ayat di atas, akhirnya dia mendapat hidayat dari Allah Swt dan untuk menjawab mereka yang selalu mempertanyakannya perihal masuknya dia ke mazhab Ahlul bait a.s., dia menulis sebuah kitab dengan judul: Li akuna ma’ash Shadiqin (Supaya ku bersama orang-orang yang benar). Kitab di atas banyak menyinggung sisi-sisi ayat Shadiqin.

[4] Muhadis Qumi kisah detail ini beliau muat dalam bukunya: Muntahal Amal, jilid pertama, halaman 110.

[5] Biharul anwar, jilid 19, halaman 83.

[6] Nurul Abshar, halaman 97.

[7] Surah Fusilat, ayat 30.

[8] Biharul anwar, jilid 21, halaman 26.

[9] Biharul anwar, jilid 41, halaman 51. (Sesuai penukilan Madlhar Wilayat, halaman 365).

[10] Adz-Dzurul Manstur, jilid ke 3, hal 90.

[11] Sesuai penukilan Ihqaqul Haq, jilid 3, hal 298.

[12] Tafsir Tsa’labi, sesuai penukilan Ihqaqul Haq, jilid ke 3, hal 297.

[13] Kifayatut-Thalib, hal 111, sesuai penukilan Ihqaqul Haq, jilid ke 3, hal 297.

[14] Syawahidut-Tanzil, jilid pertama, hal 260.

[15] Syawahidut-Thanzil, jilid 1, hal 262.

[16] Asraru Ali Muhammad, hal 297.

[17] Sesuai dengan penukilan Ihqaqul Haq, jili ke 3, hal 297.

[18] Mizanul Hikmah, bab 2190, hadis 10185.

[19] Ibid, hadis 10184.

[20] Mizanul Hikmah, bab 2189, hadis 10166.