Orientalis dan Isu Non-Otentik Qur'an
"Al-Qur’an al-Karim, sebagai kitab terakhir nan sempurna yang diturunkan kepada Nabi pamungkas Muhammad saaw. memiliki keistimewaan khusus dari kitab-kitab langit yang lain. Kita menemukan pengakuan banyak ulama baik agama samawi maupun yang bukan atas perubahan kitab mereka bahkan terkadang menafikan ‘sifat langit’-nya kitab agama mereka. Para ilmuan Kristen sendiri mengakui bahwa kitab Injil yang empat ditulis setelah wafatnya al-Masih oleh empat Hawari (pengikut dan murid al-Masih). Mereka tidak menulis langsung melalui diktasi al-Masih, tapi tulisan tersebut berupa remembering atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami selama menyertai al-Masih, seperti biografi, perilaku dan nasehat-nasehat, kisah perjalanan al-Masih. Selain itu, di antara injil tersebut bahkan berisikan surat-surat yang ditulis dan dikirim oleh para Hawari dan ulama-ulama Kristen kepada pengikutnya."
Karenanya Injil bagi umat Kristen bukanlah merupakan kitab langit, tapi lebih merupakan biografi hidup al-Masih dan para Hawari. Demikian halnya umat Yahudi. Mereka mengakui bahwa dalam kitab Perjanjian Lama, tidak ada kalimat apapun yang merupakan firman langsung Tuhan kepada nabi Musa as. Sedangkan penganut Zarahustra mengakui bahwa dari 50 jilid kitab Avista, hanya satu yang mereka terima selebihnya mereka bakar.
Tinggallah al-Qur’an satu-satunya kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah saw. didiktekan langsung maupun melalui perantara dan dibacakan kepada umat manusia yang originalitasnya otentik serta terjaga.
Dengan perbedaan yang tegas ini, penganut agama lain merasa bahwa bahwa al-Qur’an merupakan gangguan serius bagi kelangsungan agama mereka, dan dengan bermodalkan kedengkian, mereka kemudian melakukan kerja serius untuk merendahkan kitab suci ini.[1]
Mereka dengan membawa dua semangat; pertama; berusaha menyamai posisi atau berusaha lebih dari yang mereka anggap musuh. Kedua; apabila mereka tidak dapat melakukan yang pertama, maka mereka mencari-cari kesalahan dan kelemahan musuh.
Para pembesar Gereja mengalami kebuntuan di jalan pertama, selain itu mereka juga melihat bahwa, kaum muslim sendiri tidak memiliki kemampuan atau kemungkinan merubah al-Qur’an, maka mereka memilih menggembar-gemborkan serta memperluas isu perubahan al-Qur’an.
USAHA MENCARI KELEMAHAN AL-QUR’AN
Di Munich Jerman, sebelum perang dunia ke dua tahun 1939-1945 proyek penulisan dan penyebarluasan tulisan-tulisan menyangkut al-Qur’an digalakkan. Untuk menjamin save-nya karyakarya tersebut, dibangunlah kemudian sebuah pusat reseach dan kepustakaan yang mereka namakan The Qur’anic Centre.
Ribuan naskah al-Qur’an dalam beragam bentuk dari berbagai kota dan negara dikumpulkan serta terjaga dengan baik di tempat itu. Setelah dilakukan penelitian panjang, mereka menemukan bahwa dari semua naskah-naskah al-Qur’an dalam bentuk sama, tidak ditemukan perubahan atau kelainan satu naskah al-Qur’an dengan naskah al-Qur’an yang lain. Tidak adanya perbedaan dari masing-masing naskah memustahilkan kemungkinan campur tangan manusia dalam ‘proyek’ kitab suci ini.[2]
INJIL DAN AL-QUR’AN
Salah satu kerja keras yang dilakukan oleh kaum Orientalis adalah penelitian seputar sejarah dan metodologi penulisan dan pengumpulan al-Qur’an. Isu perubahan al-Qur’an dari usaha mereka tersebut dimulai dari banyaknya mushhab al-Qur’an masing-masing sahabat. Bukan hanya memperluas beberapa perbedaan yang ada dalam mushhah-mushhab sahabat tersebut, isu yang lebih serius kemudian dikembangkan (baca; membesar-besarkan?) yaitu perubahan al-Qur’an.
Apa yang melatari kerja besar para orientalis ini? Kontra prestasi apa yang diinginkan dalam mega proyek yang menelan dana super besar ini? Dengan mudah jawabannya dapat kita dapatkan bila membaca kembali sejarah agama Kristen ataupun Yahudi. Dengan membandingkan Injil dan al-Qur’an. titik terang dari usaha mereka akan tampak jelas.
Dewasa ini, para peneliti beragama Kristen dalam penelitiannya terhadap Injil, menemukan sekaligus mengakui ahistoris-nya kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Inseklopedia Pengetahuan di Inggris, menulis, pada abad pertama Masehi, terdapat 25 Injil beredar di kalangan penganut Kristen. Kitab Injil yang empat yang diakui sekarang ini, sampai tahun 325 Masehi belum diterima atau direkomendasikan oleh umunya gereja-gereja. Barulah setelah Persatuan gereja-gereja dengan mengumpulkan ribuan tokoh dari beragam kota melakukan penelitian atas ratusan naskah Injil, dari 50 Injil yang dianggap paling muktabar, empat Injil yang ada sekarang dipilih secara resmi sebagai kitab suci agama Kristen dan melarang Injil selainnya.[3]
Perlu dicatat juga bahwa, dalam pertemuan tersebut, hadirin terbagi menjadi dua, 2/3 menyakini bahwa al-Masih adalah manusia biasa. Sedangkan 1/3 menyakini ketuhanan al-Masih dan keyakinan Trinitas untuk pertama kali menjadi akidah Kristiani. Tapi penguasa akhirnya mendukung minoritas, alasannya sangat politis; karena Pendeta Estasius (pemimpin agung gereja Roma) adalah teman akrab imperator Konstantin, dan mayoritas di bawah tekanan Konstantin menerima akidah tersebut, ditambah lagi pendeta Arius yang menentang akidah mayoritas ini, ditemukan terbunuh oleh pihak kerajaan.[4]
Dr. Husain Taufiqi, seorang peneliti agama Kristen dari Iran menulis; “Perhelatan akbar ini dilaksanakan di Lawekiyah Suria pada tahun 364 M.” Irinayus, untuk mendukung rekomendasi empat Injil ini menulis; “sebab penjuru angin berjumlah empat, Tuhan juga memiliki perjanjian dengan manusia, maka Injil pun berjumlah empat..”
DUA A’UDZU VERSI ORIENTALIS
Sebagian orientalis berusaha mencari perbedaan antara mashahib al-Qur’an kumpulan sahabat Nabi dengan mushhab sekarang (yang ditulis oleh Taha Utsmany). Sebagai contoh, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa, Ibnu Mas’ud meyakini bahwa Ma’udzatain (surah an-Nas dan al-Falaq) bukan merupakan bagian al-Qur’an, di mana kedua surah ini merupakan yang paling terkenal.[5]
Pendapat ini tentu saja sangat lemah dan mudah dijawab. Berikut ini beberapa komentar dari tokoh-tokoh besar Islam;
1. Fakhr ar-Razi mengatakan; nukil menukil riwayat lemah ini hanya terdapat dalam kitab-kitab tua saja dan tentu saja tidak dapat diterima. Bagi kami, selain bahwa al-Qur’an merupakan rangkaian yang tidak terputus bukan saja pada zaman sahabat, mengingkari sebagian dari al-Qur’an yang ada dihukumi sebagai kafir.[6]
2. Ibnu Hazm dalam al-Muhalla menulis; nukilan ini adalah kebohongan atas Ibn Mas’ud dan ini hanya kabar yang dibuat-buat. Dalam bacaan Ashim dan Zar’an –yang menukil dari Ibn Mas’ud- terdapat kedua surah ini, ini sudah cukup membuktikan bahwa Ibn Mas’ud meyakini kedua surah ini merupakan bagian dari al-Qur’an.[7]
3. Qadi Abu Bakar al-Baqlany menulis; seandainya tuduhan atas Ibn Mas’ud itu benar dan berbeda dengan mushhab sahabat yang lain, tentunya akan terjadi perdebatan di antara mereka, tapi berita tentang itu tidak pernah kita temukan.
Atau anggaplah Ibn Mas’ud tidak memasukan kedua surah tersebut dalam mushhabnya, tapi bukan berarti bahwa ia tidak meyakini bahwa keduanya memang bukan bagian dari al-Qur’an, sebagaimana ia tidak menulis dalam mushhabnya surah al-Fatihah dengan alasan surah ini sangat terkenal dan sedemikian dihapal hingga tidak akan mungkin dilupakan oleh kaum muslim.[8]
TUDUHAN LAIN DARI BELACHER
Selain tuduhan di atas, Belacher menulis; ayat-ayat yang turun di Makkah belum dikumpulkan dan tidak ada di dalam al-Qur’an sekarang. Pengoleksian dan penulisan ayat al-Qur’an dimulai di Madinah, karenanya Qur’an yang ada sekarang ini hanya memuat ayat-ayat yang turun di Madinah saja.[9]
Dr. Dasuqy memberikan jawaban yang atas tuduhan ini. Ia menulis; “ayat yang turun di Makkah sekitar 19/30 dari keseluruhan ayat al-Qur’an, atas dasar apa Belacher tidak memperhatikan dan menafikan hal ini?”
Rudi Paret, orirentalis asal Jerman dalam mukaddimah terjemahan al-Qur’an bahasa Jermannya, menulis; “kami tidak mendapatkan bukti apa-apa yang bisa meyakinkan kami walau satu ayat saja yang original berasa dari nabi Muhammad.”
Belacher jauh menukik ke jantung mazhab-mazhab dalam Islam. Dengan mengorek-ngorek riwayat simpan siur dari beberapa mazhab semisal Mu’tazilah, Abadhiyah dan Syi’ah dan lain-lain. Tuduhan yang paling keras ditujukan kepada mazhab Syi’ah.[10]
BEBERAPA JAWABAN
1. Tuduhan ini sangat tidak berdasar pada sejarah yang kuat. Meski tidak sangkal bahwa ada dari kalangan mazhab-mazhab Islam yang menukil perubahan al-Qur’an. tapi jumlah mereka sangat minim dan tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai ukuran.
2. khusus terhadap Syi’ah, Belacher membagi Syi’ah ke dalam dua golongan; Rafidhy yang ia tuduh sangat meyakini terjadinya perubahan radikal dari al-Qur’an. Imamiyah tidak meyakini perubahan radikal dari al-Qur’an.
Kesimpulan Belacher, semua golongan Syi’ah meyakini adalah Tahrif (perubahan) al-Qur’an. Tapi kenyataan sebenarnya adalah sebaliknya. Sebab sepanjang sejarah, mayoritas Syi’ah menolak secara tegas adanya tahrif . Demikian halnya penganut Syi’ah yang sekarang meyakini hal yang sama. Kitab-kitab tafsir Syi’ah, ulum al-Qur’an dan Akidah Syi’ah bisa kita jadikan buktinya.
Sejumlah kitab Syi’ah semisal di bawah menjadi bukti bahwa tuduhan keyakinan Syi’ah atas tahrif adalah tidak berdasar dan sangat lemah.
1. Syaikh Shaduq (w. 381 ) Risalah al-I’tiqad hal. 48
2. Syaikh Mufid (w. 413 ) al-Masail as-Sururiyah hal. 78
3. Sayyid Syarif Murtadha (w. 436 ) az-Zakhirah fi al-Kalam hal.361
4. Syaikh Tusi (w. 460) at-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an 1/3
5. Syaikh Tabarsy (w. 548 ) Majma’ul Bayan 1/83
6. Sayid Ibn Thawus (w. 664 ) Mir’at al-Uqul 5/58
7. Muhaqqiq Karaki al-Amili (w. 940 ) at-Tahqiq fi Nafy at-Tahrif hal. 22
8. Syaikh Baha’I (w. 1030) Risalah al-Urwah al-Wutsqah hal. 16
9. Faizd Kasyany (w. 1090) Tasfir as-Shafi 1/46
10. Ayatullah al-Khu’i al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an hal. 26
11. Allamah Thabathabai al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an
Masih banyak ulama kontemporer Syi’ah menulis ulasan-ulasan penolakan atas tahrif yang tidak bisa disertakan di sini.[11]
Selayaknyalah Belacher sebelum mengeluarkan tuduhan, merujuk kepada kitab-kitab Syi’ah muktabar kemudian selanjutnya kepada Belacher; Fa undzuru kaifa tahkumun….!
TUDUHAN F. BUHL
Dalam akhir jilid ke empat Eksiklopedia Pengetahuan Leinden, Buhl menulis Tahrif. Dengan berang, ia menuduh al-Qur’an telah melakukan telah mendistorsi Taurat dan Injil. Sebenarnya dalam tulisannya ini, ia lebih menekankan penyerangan terhadap al-Qur’an dalam misinya mempertahankan Taurat dan Injil. Selebihnya ia hanya menulis sedikit tentang keyakinan perubahan al-Qur’an dalam mazhab-mazhab Islam, itu pun dengan dua kekeliruan fatal telah dilakukannya.
Ia menulis; “kaum Syi’ah menuduh Sunni telah menghilangkan ayat-ayat yang membenarkan mazhab Syi’ah, demikian sebaliknya Sunni menuduh Syi’ah.”[12]
Ia memberikan dua tuduhan;
1. Syi’ah meyakini adanya pengurangan ayat al-Qur’an
2. Syi’ah meyakini adanya Penanmbahan ayat al-Qur’an
Di atas telah dibuktikan penyataan ulama besar Syi’ah yang menolak adanya tahrif. Merujuk kepada kitab-kitab mereka akan memberikan penjelasan yang terang atas masalah ini.
TUDUHAN ETAN KOHLBERG
Kohlberg dengan nada prokatif menuduh bahwa tahrif yang dilakukan oleh Syi’ah sebagai pay back atas kekhalifahan –selain Imam Ali- meski sebenarnya nampak ia kurang yakin dengan tuduhannya sendiri;
“sejumlah kitab ulama besar Syi’ah menunjukkan adanya keyakinan sejumlah kitab ulama besar Syi’ah menunjukkan adanya keyakinan tahrif. Semisal; Tafsir Ali bin Ibrahim al-Qummy, Tafsir Imam Askary, Tafsir Furat, Tafsir ‘Ayasy, Awail Maqalat oleh Syaikh Mufid dan Fashlul Khitab oleh Mirza Husein Nury.” “Usaha kaum Syi’ah melakukan tahrif ini, adalah untuk membalas tersingkirnya Ali bin Abi Thalib dari posisi khalifah dan ketidak mampuan kaum Syi’ah untuk mencapai kekuasaan.”
Setelah itu ia menulis; “Sebenarnya sejumlah ulama kontemporer Syi’ah juga menolak adanya tahrif, di antaranya; Sayyid Syahristany, Burujerdi dan Khu’i.”[13]
TUDUHAN MICHAEL BRASHER
Ia menulis dalam desertasi doktoralnya; “dengan menelaah kitab-kitab muktabar Syi’ah (tafsir Qummi, Furat Kafi, ‘Ayasyi, Tulisan-tulisan Syaikh Thusi dan Thabarsi, Bashair ad-Darajat, as-Shafy Faidh Kasyani, Bihar al-Anwar dll..), bisa dikatakan bahwa; meski pun penambahan dalam tafsir adalah keterangan dan bukan penambahan ayat al-Qur’an. Tapi dalam hal ini, itu secara tidak langsung mengindikasikan keyakinan Syi’ah akan adanya tahrif…… Dalam kitab Bashair ad-darajat juga diriwayatkan bahwa para Imam mengizinkan membaca al-Qur’an yang dikumpulkan khalifah Utsman sampai munculnya Imam Mahdi as.”
Tuduhan Brasher ini dapat disimpulkan dalam empat sisi:
1. Ulama-ulama Syi’ah meyakini adanya Tahrif
2. Riwayat di atas menunjukkan bahwa hadits Syi’ah juga menerima adanya tahrif.
3. Hadits dalam Bashair ad-Darajat menunjukkan adanya tahrif dan tidak otentiknya Qur’an yang ada sekarang bagi orang Syi’ah
JAWABAN:
1. Tidak benarnya tuduhan Tahrif terhadap Syaikh Mufid, at-Thusi, at-Thabarsi, Faidh Kasyani dan al-Qummi.
Meski tidak memungkiri adanya riwayat-riwayat tahrif dalam beberapa kitab di atas, tapi ulama-ulama Syi’ah sendiri menolak riwayat-riwayat tersebut. Dua catatan bisa diketengahkan untuk menjawab Kohlberg dan Brasher;
1. Terkadang Ulama di bawah tekanan penguasa zalim terpaksa mengakui tahrif atau mengubah menyamarkan hukum agama. Meski tidak menafikan adanya hal tersebut, tapi tidak juga bisa secara otomatis menuduh bahwa itu adalah akidah mereka.
2. Ulama-ulama yang disebutkan kedua orientalis di atas, dalam kitab mereka telah memberikan penjelasan ketiadaan tahrif. Adapun Kohlberg dan Brasher, entah keduanya tidak melihat atau membaca langsung kitab-kitab yang mereka sebutkan dan hanya menukil dari penulis-penulis barat atau orang-orang yang anti Syi’ah, atau kalaupun mereka membaca dan memahami kitab-kitab tersebut, maka mereka telah melakukan kebohongan dan tuduhan!
Untuk memperjelas, beberapa bagian dari kitab-kitab yang dituduhkan sebagai berikut;
1. Syaikh Mufid (w. 413) dalam Awail Maqalat menulis; “Adapun bahwa terdapat penanmbahan ayat di dalam al-Qur’an, tidak saya terima, sebagaimana Imam Shadiq berpendapat demikian.”[14]
2. Syaikh Thusi (w. 460) dalam mukadimah tafsirnya secara tegas menolak tahrif. Sayangnya kedua ilmuan (?) orientalis ini tidak bersedia membaca sama sekali awal-awal halaman at-Thusi.
At-Thusi menulis; “membicarakan tahrif al-Qur’an (bertambah atau berkurang) merupakan hal yang sia-sia, sebab itu sebuah kebatilan dan mayoritas ulama secara ijma’ menolaknya…dan mazhab kami Syi’ah demikian meyakininya (ketiadaan tahrif)…sebab al-Qur’an yang ada sekarang adalah sempurna secara benar…”[15]
At-Thusi dalam mukadimah juga selanjutnya mengmukakan beberapa bukti ringkas ketiadaan tahrif dan mengingatkan dengan tegas bahwa sejumlah sedikit dari riwayat-riwayat tahrif adalah hadis ahad, “tidak usah diperhatikan, dan jangan habiskan waktu anda untuk membahasnya!”
3. Syaikh Thabarsi (w. 548) dalam mukadimah tafsirnya sebagaimana dengan Syaikh Thusi dengan tegas menulis;
”Sia-sia bila dalam kitab tafsir, membicarakan tentang tahrif. Sebab ijma’ kaum muslim meyakini ketiadaan penambahan. Adapun pengurangan –meski ada sebagian golongan yang menerima- tapi menurut riwayat yang benar, ulama Syi’ah menentang hal tersebut.”[16]
4. Feidz Kasyani (w. 1090) pada point keenam mukadimah tafsirnya, setelah menyebutkan beberapa riwayat tahrif kemudian mengkritik tajam. Ia menulis;
“penolakan atas riwayat-riwayat tahrif adalah jelas, sebab bila kita terima riwayat-riwayat (yang bertentangan dengan al-Qur’an) ini, maka tidak akan tersisa dari ayat al-Qur’an, karena setiap ayat akan berpotensi sama terhadap tahrif dan alQur’an tidak bisa diterima sebagai hujjah yang mutlak dan diturunkannya merupakan kesia-siaan…”[17]
Ini merupakan pernyataan tegas Feidz Kasyani yang sayangnya tidak disebut oleh para orientalis. Lantas di manakah Buhl, Kohlberg dan Brasher serta tuduhan-tuduhan terhadap ulama-ulama yang telah menghabiskan dan mengabdikan hidup dan ilmunya untuk semangat akademis, ilmiah dan mencari hakikat?? Sekali lagi para orientalis tidak menunjukkan semangat keilmuan dalam setiap penelitian dan aktifitas ilmiah yang mereka lakukan.
Semangat permusuhan telah mendistorsi posisi ilmiah mereka. Mereka lebih mengedepankan emosi dan tendensi fanatic, ideologis buta dan….aktsaruhum li al-haqqi karihun!
[1] . Lihat Orientalis dan al-Qur’an (1) Antara Ilmu dan Tendensi
[2] . al-Mustasyriqun wa Tarjamah al-Qur’an, Hal. 24
[3] . Dairah al-Ma’arif al-Injiliziah, Hal. 13.
[4] . al-Bisyarat, Hal. 33-35
[5] . al-Istisyraq wa al-Khalifah, Hal. 29
[6] . Suyuty, al-Itqan, Hal. 79
[7] . Ibid
[8] . al-Baqlany, I’jaz al-Qur’an, Hal. 292
[9] . al-Fikr al-Istisyraqy, Hal. 112
[10] . Rangkaian tuduhan Belacher atas perubahan al-Qur’an kepada mazhab-mazhab dalam Islam akan dibahas pada bagian ke 3 dari rangkaian tulisan ini. Tulisan ini, hanya akan menyoroti dan menjawab tuduhan kepada Syi’ah atas perubahan al-Qur’an.
[11] . Lih. Ara’ Haul al-Qur’an, hal 22
[12] . F. Buhl, 4/608
[13] . Nukatat Chan dar Baray-e Maudhe-e Imamiy-e Nisbat be Qur’an, Hal. 77
[14] . Hal. 54
[15] . al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, 1/3
[16] . Majma’ al-Bayan, Hal. 1/15
[17] . as-Shafi, 1/46