TAKHALLI (BUANG AIR)
  • Judul: TAKHALLI (BUANG AIR)
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 19:4:32 1-9-1403


Pokok-pokok Bahasan:

· Hukum-hukum Takhalli

· Istibra’ dan Istinja’



Penjelasan:

1. Hukum-hukum Takhalli (Buang Air Kecil dan Buang Air Besar)

a. Memperhatikan Arah Kiblat

Seseorang ketika tengah melakukan takhalli , tidak dibolehkan menghadap atau membelakangi kiblat. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 33).



b. Penutup

Seseorang ketika tengah melakukan takhalli , wajib menutupi auratnya dari pandangan orang lain selain pasangannya, baik dari pandangan laki-laki, wanita, muhrim ataupun non muhrim, bahkan juga dari pandangan anak-anak yang belum baligh yang telah memiliki kemampuan untuk membedakan (mumayyiz ). Akan tetapi antara suami dengan istri dan sebaliknya, tidak ada kewajiban untuk saling menutup auratnya masing-masing. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 34).



c. Hal-hal yang Makruh dalam Takhalli :

1. Buang air kecil dengan berdiri.

2. Buang air kecil di atas tanah keras dan lubang hewan.

3. Buang air kecil di dalam air, khususnya air tergenang.

4. Menahan diri dari buang air kecil dan air besar.

5. Melakukan takhalli di jalan, tempat lalu-lalang, dan di bawah pohon yang berbuah. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 39).





2. Istibra’

1. Laki-laki yang telah melakukan istibra’ setelah buang air kecil, bila setelah itu keluar lagi cairan dari lubang kencing yang tidak dia ketahui sebagai air kencing ataukah sesuatu yang lain, maka cairan tersebut dihukumi suci, dan tidak ada kewajiban baginya untuk memeriksa atau mencari informasi tentang masalah ini. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 92, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 38).

2. Istibra’ itu tidak wajib. Bahkan jika hal itu malah akan membahayakan, maka hukumnya tidak boleh, misalnya ketika terdapat luka di bagian saluran kencing dan jika dilakukan istibra’ akan mengeluarkan darah sehingga memperlambat kesembuhan luka tersebut. Tetapi jika setelah kencing tidak dilakukan istibra’ , kemudian keluar cairan yang tidak jelas, maka cairan tersebut dihukumi sebagai air kencing. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 91).

3. Cara terbaik untuk melakukan istibra’ adalah: pertama, membersihkan sekitar bagian anus -jika bagian ini terkena najis- setelah air kencing berhenti. Setelah itu menarik jari tengah tangan kiri dari dekat lubang anus ke arah pangkal vital sebanyak tiga kali. Kemudian dilanjutkan dengan meletakkan ibu jari pada permukaan vital dan jari telunjuk di bawahnya lalu menariknya sampai ke kepala vital sebanyak tiga kali yang kemudian diakhiri dengan menekan kepala vital sebanyak tiga kali pula. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 91)

4. Dari sisi tata cara, tidak ada perbedaan antara istibra’ yang dilakukan sebelum membersihkan bagian sekitar lubang anus ataupun setelah membersihkannya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 38)

5. Jika setelah buang air kecil seseorang melakukan istibra’ dan berwudhu, kemudian keluar lagi cairan yang diragukan antara air kencing ataukah mani, maka untuk mendapatkan keyakinan terhadap kesucian (thaharah ) dari hadats , wajib baginya mandi dan juga berwudhu. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 145).



Perhatian:

a. Jenis-jenis cairan yang kadangkala keluar dari manusia:

1. Cairan yang kadangkala keluar setelah keluar air mani, yang disebut dengan wadziy .

2. Cairan yang pada sebagian waktu keluar setelah air kencing, yang disebut dengan wadiy .

3. Cairan yang keluar setelah laki-laki dan wanita bercumbu, disebut dengan madziy .

b. Keseluruhan cairan tersebut di atas adalah suci dan tidak membatalkan kesucian (thaharah ). (Ajwibah al-Istifta’at, no. 93).



3. Istinja’ (Membersihkan Tempat Keluarnya Air Kencing dan Lubang Anus)

a. Tata cara membersihkan tempat keluar air kencing:

1. Tempat keluar air kencing tidak bisa suci kecuali dengan air. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 89)

2. Tempat keluar air kencing, berdasarkan ihtiyath wajib, akan menjadi suci dengan dua kali basuhan. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 90 dan 98, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 35).



b. Tata cara membersihkan lubang anus:

Lubang anus bisa disucikan dengan dua cara:

1. Dibasuh dengan air hingga benda najisnya hilang, dan setelah itu tidak ada kewajiban untuk membasuhnya lagi dengan air.

2. Membersihkan beda najisnya dengan tiga buah batu, tiga helai kain atau sejenisnya. Abila setelah menggunakan tiga buah batu, benda najisnya belum juga hilang, maka benda najis tersebut harus dibersihkan dengan batu lainnya hingga bersih secara sempurna. Tiga buah batu atau tiga helai kain, bisa juga digantikan dengan sebuah batu atau sehelai kain, tetapi dengan melakukan pengusapan pada tiga sisi yang berbeda. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 90 dan 98, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 35).



c. Lubang anus, dalam tiga keadaan hanya bisa disucikan dengan air dan tidak bisa disucikan dengan batu atau sejenisnya, yaitu:

1. Bila terdapat najis-najis lain seperti darah, yang keluar bersamaan dengan kotoran besar.

2. Bila terdapat najis-najis dari luar yang sampai ke lubang anus.

3. Bila daerah sekitar lubang terkotori hingga melewati batas kewajaran (dengan kata lain, kotoran telah keluar dari lubangnya hingga mengenai tempat-tempat lain). (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah masalah 37).