Pelajaran Al-Quran Ihwal Perang
  • Judul: Pelajaran Al-Quran Ihwal Perang
  • sang penulis: Ayatullah Misbah Yazdi
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 6:31:55 4-9-1403


Oleh: Ayatullah Misbah Yazdi

Dalam perspektif al-Quran tidak hanya sebab utama terjadinya perang mengikut kehendak Ilahi dan mengikut tatanan kebijaksanaan semesta, akan tetapi juga kualitas dan dan kuantitas dan kejadian serta akibat-akibatnya mengikut tatanan kebijaksanaan yang berlaku di alam semesta. Di sini kami akan menyebutkan beberapa prinsip yang berlaku dalam perang menurut perspektif al-Quran.

1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia dalam Perang

Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan bebas dan merdeka supaya melalui jalan kebebasan dan ikhtiarnya ia dapat menggapai kesempurnaan. Ciri-ciri bahwa manusia telah menyempurna adalah bahwa kesempurnaan itu hanya dapat tercapai melalui ikhtiar dan kebebasan.

Allah Swt tidak menciptakan manusia sebagaimana para malaikat yang perbuatannya senantiasa baik dan sekali-kali mereka tidak memiliki motivasi dan kekuatan untuk berbuat buruk. Pada diri manusia, di samping terdapat motivasi untuk mengerjakan kebaikan juga terdapat motivasi untuk berbuat curang dan keburukan. Dan ia mampu berdasarkan kehendaknya memilih dari masing-masing perbuatan ini.

Manusia dengan struktur seperti ini dan dengan adanya pelbagai motivasi yang beragam, kendati ia memiliki kecendrungan intrinsik untuk tidak terjerembab dalam perbuatan buruk, akan tetapi ia memilih untuk melakukan pekerjaan yang terpuji dan juga motivasinya dalam mengerjakan perbuatan ini adalah tidak lain kecuali untuk meraih keridhaan Tuhan, maka ia akan mendapatkan kesempurnaan yang tertinggi melebih kesempurnaan yang dimiliki oleh para malaikat.

Oleh karena itu tuntutan hikmah Ilahi adalah dalam urusan personal dan sosial tangannya terbuka (memilki ikhtiar) dan ia dapat melakukan pekerjaannya berdasarkan kehendak dan keinginannya sendiri; apabila ia inginkan untuk taat kepada Allah Swt, ia taat dan apabila ia tidak menghendaki ia dapat bermaksiat. Hanya dalam bentuk seperti ini makna pilihan dan opsi menemukan artinya. Apabila manusia tidak dapat melintasi jalan yang beragam dan meninggalkan pekerjaan yang beragam, maka ucapan “pilihan” dan “opsi” tidak memiliki makna.

Bagaimanapun, tingkatan dari kebijaksanaan Tuhan yang menuntut adanya kehendak bebas dan perbuatan manusia – bahkan dalam melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan manfaat pribadinya dan atau kemaslahatan sosial masyarakat di sekitarnya – menuntut bahwa manusia meskipun ia dapat mengerahkan lasykar untuk memerangi satu dengan yang lain, membunuh dan menumpahkan darah; mengapa apabila ia tidak mampu melakukan hal itu, maka kebebasan dan ikhtiarnya patut dipertanyakan.

2. Pembagian Nisbi Kekuasan dan Dominasi

Apa yang kami sebutkan di atas adalah salah satu dimensi hikmat Ilahi. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa hikmah Ilahi hanya menuntut adanya kebebasan pada manusia dan bukan kekuatannya atas perang dan pertumpahan darah; melainkan di samping itu juga menuntut bahwa sekali-kali kekuatan jangan sedemikian sentral di tangan seseorang atau sekelompok sehingga orang lain atau kelompok lain tidak memiliki kekuatan untuk berhadap-hadapan dan melawan orang atau kelompok tersebut.

Apabila selain ini dan seseorang atau kelompok mendominasi orang lain atau kelompok lain secara total dan menyeret mereka menjadi budak, menanggalkan kebebasan dan kemerdekaan yang mereka miliki, perkara ini berseberangan dengan tuntutan hikmah Ilahi; hikmah yang kami sebutkan pada tingkatan pertama yang mengharuskan adanya ikhtiar manusia.

Oleh karena itu, berdasarkan hikmah Ilahi harus ada pembagian kekuasaan pada masyarakat sedemikian sehingga senantiasa setiap orang atau kelompok, sedikit-banyaknya, dapat berhadapan dengan orang lain atau kelompok lain baik mereka dari kubu hak atau dari kubu batil. Allah Swt pada akhir kisah Jâlut dan Thâlut berfirman:

“Seandainya bukan lantaran Allah yang menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi. Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam.” (QS. al-Baqarah [2]:251)

Meskipun ayat ini tersebut dalam kisah Jâlut dan Thâlut, akan tetapi tentu saja ayat ini berada pada tingkatan menjelaskan kenyataan dan hakikat universal. Dari bentuk umum dan ithlâq (tanpa adanya kait) ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah Swt menghendaki bahwa sekali-kali dalam perjalanan sejarah, orang atau kelompok khusus tidak ada yang sedemikian kuat dan perkasa sehingga ia dapat menanggalkan kekuatan dan kekuasaan orang lain atau kelompok lain dan tidak dapat menunjukkan sedikitpun perlawanan; lantaran apabila demikian adanya inherensi (keharusan) dari keadaan ini adalah tidak tercapainya kesempurnaan ikhtiari yang dapat dicapai oleh seseorang, dan dalam situasi seperti ini, tujuan dari penciptaan alam dan manusia tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, konklusi dan hasil dari tingkatan kedua dari hikmat Ilahi – setelah jelas pada tingkatan pertama bahwa manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat dan ia dapat bertikai dengan orang lain dan memanfaatkan kekuatannya melawan orang lain – meniscayakan bahwa kekuasaan dan dominasi seseorang dan sekelompok sedemikian sehingga ia tidak menanggalkan kekuasaan dan ikhtiar kelompok dan orang lain dan tidak terdeprivasi dari kesempurnaan kemanusiaan yang ia dapat raih dengan ikhtiarnya; karena fenomena bagi manusia adalah sarat kerugian dan sesuai dengan ungkapan al-Quran, kehidupan manusia bermuara kepada kerusakan dan angkara murka dan tidak memiliki kesesuian dengan tujuan transendental penciptaan.

Apa yang kami kemukakan sebagai satu aturan dan kanun Qurani dan sunnah Ilahi; juga mendapatkan tekanan secara fungsional dalam alur kehidupan manusia. Dengan menelaah sejarah kehidupan manusia kita dapat mengatakan bahwa tidak satupun dalam etape sejarah, satu kekuasaan lebih sentral dan adikuasa sehingga seluruh manusia, kelompok, kaum di ala mini di bawah dominasinya dan membuat mereka mau tak mau harus tunduk dan taat mutlak dari kekuasaan tersebut.

Pada setiap etape sejarah, setidaknya, terdapat dua kekuasaan yang berimbang dalam menghadapi satu dengan yang lain. Dan kekuasaan-kekuasaan yang lain ikut dan di bawah lindungan salah satu dari kekuasaan tersebut dan sebagiannya berdiri sendiri dari keduanya.

3. Antisipasi dari Dominasi Mutlak Kubu Batil

Pada tingkatan ketiga, hikmah Ilahi meniscayakan pembagian kekuasaan di antara orang-orang dan kelompok yang beragam di tengah umat manusia. Sedemikian sehingga jalan kebenaran dan hakikat tidak tertutup satu arah. Apabila orang-orang dan kelompok-kelompok adikuasa seluruhnya adalah berada pada kubu batil dan terdapat orang-orang yang berlomba-lomba untuk mengejar dunia dan materi belaka, kembali ruang dan peluang bagi orang-orang yang berada di kubu hak tidak tersedia; khususnya apabila diklasifikasi ke dalam blok dan klik dimana masing-masing sebagian dari alam dimiliki oleh salah satu kekuasaan. Dan masing-masing dari dua kekuatan adikuasa tersebut rela dengan pembagian ini. Dalam keadaan seperti ini, hasilnya kekuasaan dan dominasi dalam hubungannya dengan ahli hak, adalah sentralisasi kekuasaan, dan demikian seterusnya, upaya meniti kesempurnaan ikhtiari akan tercabut dari ahli hak.

Oleh karena itu, hikmah Ilahi pada tingkatan ketiga menuntut demikian bahwa seluruh orang yang berkuasa tidak semata berasal dari kubu batil. Pembagian kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga para pengikut dan pendukung kebenaran juga dapat memelihara jalan hidupnya, kehidupan personal dan sosialnya. Serta dapat melanjutkan usahanya dalam meniti jalan kesempurnaan.

Terkadang barangkali kesempatan ini dapat dicapai oleh ahli hak dengan senantiasa bertikai dan bentrok. Di masa sekarang ini dimana ahli batil (orang-orang sesat) sibuk mengurus urusan masing-masing, ahli hak dapat mengambil kesempatan seperti ini untuk membina diri dan menyusun kekuatan.

Oleh karena itu, salah satu doa ahli hak (orang-orang benar) adalah sebagai berikut:

“Allahummah, sibukkanlah orang-orang zalim dengan orang-orang sesama mereka dan selamatkan kami (di tengah kesibukan di antara mereka) dan berikan kejayaan kepada kami.”

Kesempatan seperti ini dapat dicapai oleh ahli hak melalui jalan lain; dan jalan tersebut adalah menghimpun kekuatan untuk dapat mengimbangin kekuatan yang dimiliki oleh ahli batil. Dalam kondisi seperti ini, ahli hak dapat menghirup udara kebebasan dari dominasi ahli batil dan menempuh kehidupan manusiawi dan merdeka. Serta mengatur hidupnya dengan baik dan teratur.

Aturan ini, kami jelaskan pada tingkatan ketiga hikmah Ilahi lebih spesifik dari aturan kedua. Dan Aturan kedua itu adalah hikmah Ilahi menuntut adanya pembagian kekuasaan dan ketiadaan sentralisasi kekuasaan pada satu orang atau kelompok. Oleh karena itu, prinsipnya adalah pembagian kekuasaan. Namun aturan ini menjelaskan salah satu tipologi dan karakteristik pembagian kekuasaan. Aturan ini dapat dijumpai dalam ayat suci al-Quran:

“(yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja Nasrani, sinagog Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS. al-Hajj [22]:40)

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa apabila sebagian manusia tidak bangkit melawan sebagian yang lain dan menghadang kaum ekspansionis, perusak dan penghancur, seluruh rumah-rumah ibadah di muka bumi akan binasa; lantaran para penguasa yang haus kekuasaan dan pencari kerusakan, apabila berhadapan dengan mereka tanpa adanya resistensi dan perlawanan, tidak ada satu pun yang ia tinggalkan dan lalaikan sehingga seluruh manusia berada di bawah dominasinya. Para penguasa yang haus kekuasaan dan pencari kerusakan, tidak akan membiarkan ahli ha menghirup udara kebebasan dan kemerdakaan; akan tetapi senantisa berupaya untuk membuat mereka takluk, patuh dan menjadi budaknya.

Allah Swt untuk menghindarkan orang-orang yang penyembah Tuhan dari keadaan seperti ini dan ahli hak tidak diinjak-injak kebebasan mereka oleh ahli batil yang mencari kerusakan dan haus kekuasaan menetapkan demikian bahwa pembagian kekuasaan sedemikian sehingga jalan bagi ahli hak terbuka. Dan atau saham kekuasaan juga sampai ke tangan pendukung dan pembela kebenaran; lantaran secara asasi Allah Swt menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk mereka.

Pendek kata, peperangan sedemikian berkecamuk sehingga tidak satu pun jalan-jalan kebenaran dan jalan-jalan suci yang mencari lintasan menuju ke arah kebenaran dan bergerak di atas jalan Allah, fii sabiliLlâh, jalan mereka secara total tidak tertutup. Akan tetapi menjaga jalan ini supaya tetap terbuka dapat tercapai dengan adanya tugas-tugas dan kewajiban masyarakat dalam membela dan dengan keseriusan serta usaha dapat terwujud.

4. Perang dan Azab Istishâl

Pada tingkatan keempat, hikmah Ilahi meniscayakan adanya aturan keempat penciptaan yang mengatur perang-perang. Tatkala sebuah kaum secara total berada pada ambang kerusakan, sunnatulLah berlaku atas mereka yaitu turunnya azab dan mensirnakan mereka dari pelataran sejarah.

Azab semacam ini disebut sebagai azab isthisâl (menyeluruh). Salah satu jenis azab istishâl adalah Tuhan mengangkat mereka dari muka bumi melalui tangan-tangan orang-orang mukmin dan orang-orang shaleh. Penjelasannya, terkadang masyarakat dengan memiliki kekuasaan dan kebebasan, bergerak di atas rel kemusyrikan, kekufuran, kerusakan, kezaliman sehingga tidak tersisa lagi harapan untuk mereka kembali. Dan menginjak-injak kebenaran dan menolak menegakkan keadilan. Orang-orang seperti ini tentu saja akan menjadi penyebab kesusahan dan keonaran bagi orang lain, khususnya bagi orang-orang pencari kebenaran dan pencari keadilan.

Dalam keadaan seperti ini, kebinasaan dan kepunahan mereka sudah menjadi kehendak Tuhan. Hikmah Ilahi menuntut demikian bahwa apabila seluruh atau mayoritas orang-orang dalam masyarakat bakal terjerembab dalam keadaan semacam ini dan jauh dari rel kemanusiaan, eksistensi mereka dicabut dan dalam istilahnya mereka dijatuhkan azab istishâl.

Azab istishâl terkadang dalam bentuk petaka-petaka langit dan kejadian-kejadian alami yang tragis; seperti petir yang menghajar kaum Tsamud. Allah Swt berfirman dalam al-Quran ihwal kaum Tsamud:

“Dan adapun kaum Tsamud maka setelah mereka Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa.”(QS. al-Fushshilat [41]:17-18)

Dan atau seperti angin puting beliung yang dalam istilah al-Qur’an “raih sharshar” yang meluluhlantakkan kaum ‘Ad. Allah Swt berfirman tentang mereka:

“Adapun kaum ‘Ad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami??” Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka lebih besar kekuatan-Nya dari mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami. Maka Kami meniupkan angina yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, lantaran Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.” (QS. al-Fushshilat [41]:15-16)

Demikian juga banjir bah yang menghantam kaum Saba merupakan contoh-contoh azab istishâl. Kaum ini melalui hidup mereka dengan anugerah yang melimpah dan memiliki taman-taman yang indah; akan tetapi mereka tidak mengindahkan peringatan Tuhan dan tidak bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, mereka mendapatkan azab Tuhan dan air bah yang membinasakan dikirimkan kepada mereka dan taman-taman yang indah dan semerbak berubah menjadi taman-taman yang buruk dan memiliki bau busuk. (QS. Saba [34]:15-17)

Contoh lain dari azab istishâl ini adalah azab yang turun ke atas kaum Nabi Nuh. Allah Swt mengutus Nabi Nuh untuk membimbing umatnya dan Nabi Nuh melakukan upaya hidayat dan irsyad untuk mereka selama 950 tahun. Akan tetapi mereka tidak mendengarkan seruan Nabi Nuh dan mereka bahkan semakin angkuh dan sombong. Allah Swt juga pada akhirnya membinasakan mereka dengan taufan yang bergemuruh. (QS. al-Ankabut [39]:14)

Demikian juga kaum Fir’aun yang arogan, setelah kezaliman dan aniaya yang banyak mereka lakukan atas Bani Israil. Tatkala mereka mengejar Nabi Musa dan pengikutnya, mereka akhirnya karam di lautan. (QS. al-A’raf [7]:136)

Adapun azab istishâl sebagaimana dapat berbentuk azab-azab alami langit dan bumi, terkadang juga berbentuk peperangan dan terjadi melalui tangan manusia. Dan kelompok-kelompok dari kaum mukmin dan orang-orang shaleh meraih kemenangan atas kaum thagut dan orang-orang congkak dan menjadi sumber kekalahan dan terjungkalnya mereka. Sebagaimana Allah Swt berfirman tentang hal ini:

“Dan Allah memiliki serdadu tujuh petala langit dan bumi.” (QS. Fath [47]: 4&7)

Iya. Petir, angin puting beliung, hujan, bah dan taufan, seluruhnya adalah serdadu dan prajurit-prajurit Tuhan. Mereka berada dalam pengaturan dan mengikut aturan Tuhan. Dan karena Tuhan ingin membinasakan sebuah kaum, Dia menggunakan serdadu dan prajurit ini; akan tetapi di samping itu, sebagian serdadu Tuhan berasal dari kekuatan manusia yang terkadang menjadi media untuk mengazab manusia-manusia rusak dan perusak.

Allah Swt sedemikian menata dan mengatur mekanisme kehidupan sosial umat manusia sehingga apabila suatu kaum patut mendapatkan azab istishâl, terkadang melalui peletusan perang ke atas mereka dan mendapatkan kebinasaan dan kehancuran di tangan orang-orang mukmin dan saleh.

Matlab ini dapat ditemukan pada sebagian ayat al-Quran, di antaranya adalah ayat suci di bawah ini:

“Perangilah kaum musyrikin dan kaum kafir, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana.” (QS. at-Taubah [9]:14-15)

Sebagai kelanjutannya kita akan menyinggung bahwa mengapa Allah Swt tidak selamanya menggunakan azab-azab langit dan bumi bagi orang-orang yang patut mendapatkan azab istishal dan pada sebagian perkara melalui perantara kaum mukmin yang berperang dengan mereka dan binasa dengan cara seperti ini.

Pada bidang yang sama, pada ayat yang lain kita membaca:

“(Wahai Nabi) Katakanlah: “Tidak ada yang kalian tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (meraih kemenangan atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kalian bahwa Allah akan menimpakan kepada kalian azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) melalui tangan kami…” (QS. at-Taubah [9]:52)

Logika kekuatan dan tak terkalahkannya kaum mukmin adalah tidak ada kata kalah dalam kamus kita dalam perang melawan kaum musyrikin dan kafir, orang-orang tiran dan para perusak; karena kita akan menjadi syahid dan melanggang ke surga; dan hal ini merupakan kemenagan yang besar dan atau kita membuat musuh-musuh Tuhan, Islam dan kaum muslimin bertekuk lutut di hadapan kita dimana hal ini juga merupakan kemenagan besar yang lain. Oleh karena itu, bagaimanapun bentuknya akan berakhir dengan kemenangan di tangan kita.

Namun musuh yang congkak yang tidak ada harapan untuk mereka mendapatkan hidayah, akan terpuruk dalam azab Ilahi. Azab ini, sesuai dengan tuntutan hikmah Ilahi, akan sampai kepada mereka melalu fenomena-fenomena alami langit dan bumi dan atau melalui faktor-faktor manusiawi.

Dalam ayat ini, redaksi “biaidinâ” (melalui tangan-tangan kami) adalah bukti dari pembahasan kita. Redaksi ini menunjukkan bahwa peperangan yang diusung oleh kaum mukminin melawan kaum musyrikin pada hakikatnya adalah bentuk azab istishâl dimana Tuhan melalui perantara kaum mukmin dan mujahid muslim menimpakan azab kepada orang-orang congkak dan orang-orang yang patut mendapatkan azab Ilahi.

Oleh karena itu, perang-perang seperti ini terpelihara pada desain tatanan penciptaan dan memiliki tempatnya sendiri; artinya sebagian dari orang-orang congkak dan yang meninggikan lehernya tanda keangkuhan, harus binasa dan menadapatkan azab melalui tangan orang-orang mukmin yang keluar sebagai pemenang.

Perang-perang seperti ini, sejatinya, merupakan azab Ilahi yang ditimpakan kepada orang-orang yang patut mendapatkan azab melalui tangan kaum mukmin dan orang-orang saleh.

Kanun dan aturan seperti ini dapat dipetik dari ayat al-Quran:

“Maka (yang sebenarnya) bukan yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, akan tetapi Allahlah yang melempar.” (QS. al-Anfal [8]:17)

Ayat ini sembari menyinggung “tauhid af’ali” dan wilayah Ilahi atas kaum mukminin secara umum dan Rasulullah saw secara khusus, juga menunjukkan bahwa terbunuhnya orang-orang kafir di tangan kaum mukminin, sejatinya adalah azab Ilahi dimana ketika kezaliman, kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir mencapai klimaksnya dan tidak ada jalan lain kecuali memusnahkan mereka, mau tidak mau, akan dieksekusi melalui tangan-tangan kaum mukminin dan mereka binasa. Dengan kata lain, peperangan semacam ini adalah salah satu bentuk azab istishal.

5. Peran Peringatan Perang

Kanun kelima yang berlaku dalam perang adalah bahwa perang terkadang bertujuan untuk mengajarkan dan gusy mali kelompok tersebut dari kaummukmin yang telah jatuh dalam kelalaian. Perang ini boleh jadi diletuskan oleh kaum kafir dan boleh jadi dipicu oleh kaum mukmin yang lain; akan tetapi bagaimanapun berbeda secara asasi dengan azab istishâl. Perang seperti ini, tidak dikemas untuk menghancurkan kaum mukminin, akan tetapi untuk memberikan peringatan dan membangunkannya dan membimbing kepada datangnya mereka yang mengusung perang ini. Perang ini merupakan batu ujian dan cobaan mereka sehingga sadar dari kelalaian.

Kebanyakan kaum mukminin dan orang-orang beragama tidak memiliki kebencian terhadap Tuhan dan orang-orang sombong, akan tetapi mereka berada di bawah pengaruh hawa nafsu dan kecendrungan-kecendrungan nafsu serta keinginan-keinginan syaitani kafir menyimpang dari rel kebenaran dan mendapatkan kecendrungan terhadap kezaliman dan kerusakan.

Mereka tidak mengingkari Tuhan dan musuh-musuh agama, akan tetapi sedikit-banyaknya berada di bawah pengaruh hawa nafsu dan kecendrungan-kecendrungan hewani yang menyimpang dari aturan agama, dan tidak mengamalkan ajaran-ajaran agama yang seharusnya diamalkan.

Allah Swt tidak akan membinasakan orang-orang mukmin yang melakukan dosa seperti ini, akan tetapi memberikan peringatan dengan mengirimkan bala dan petaka yang bersifat sementara sehingga mereka menjadi sadar dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan buruk dan tercela.

Akan tetapi hukuman-hukuman seperti ini tidak akan datang dari orang-orang mukmin yang lurus; karena orang-orang mukmin yang kudus tidak akan mengkontaminasi dan menodai dirinya dengan pekerjaan seperti ini. Oleh karena itu, eksekusi hukuman-hukuman seperti ini dilakukan oleh orang-orang mukmin lain atau orang-orang kafir atau orang-orang non-mukmin.

Mereka dengan melontarkan permusuhan, gangguan dan cemohoan kepada orang-orang mukmin atau muslim yang terpuruk dengan hawa nafsu, secara tidak langsung menyediakan ruang dan peluang bagi mereka untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar.

Perang-perang intern yang terkadang meletus di kalangan kaum muslimin, dapat dianggap sebagai perang yang memberi peringatan. Tujuan dari perang-perang ini dalam tatanan penciptaan adalah masing-masing kedua kelompok yang bertikai dalam perang mendapatkan pengajaran dan pendidikan dan pada akhirnya supaya mereka kembali menemukan jati dirinya.

Allah Swt dalam al-Quran berkaitan dengan perkara ini berfirman:

“Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan, ikhtilaf dan perpecahan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan (azab dan kepayahan) sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya.” (QS. al-An’am [6]:65)

Sebagian azab dan bencana yang menimpa Bani Israil merupakan contoh peperangan yang bermuatan pengajaran ini dimana Tuhan menghajar mereka dengan peperangan ini. Al-Quran mengisahkan bahwa berdasarkan kuasa pasti, Bani Israil yang kembali melakukan pengrusakan dan kezaliman dan berlomba untuk lebih maju dari yang lain dan dalam setiap kali karena kerusakan dan merasa lebih super dari yang lain, Allah Swt mendatangkan kaum yang mendominasi dan menguasai mereka:

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi ini dua kali dan pasti kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu. Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar. Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi diri kalian dn jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua. (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Semoga Tuhanmu melimpahkan rahmat(Nya) kepada; dan sekiranya kalian kembali kepada (kedurhakaan), niscaya dan Kami kembali mengazabmu dan Kami jadikan neraka jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. al-Isra’ [17]: 4 – 8)

Dalam menukil dua pendekatan historis ini dimana dalam ayat-ayat ini sudah disinggung sebelumnya. Dalam riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah, kurang-lebihnya, terdapat perbedaan pendapat.

Oleh karena itu, kita tidak dapat memberikan pendapat yang sifatnya definitif dalam masalah ini; akan tetapi kebanyakan riwayat mengisahkan bahwa pertama kali “Bukht an-Nasr” Raja Babul (526-605 sebelum milad) mengerahkan lasykar ke Palestina – dimana pada ayat di atas disebutkan sebagai “al-Ardh” (bumi)– mengerahkan lasykar dan menduduki Yerusalem. Dan dengan sepuluh ribuan tawanan Yahudi – yang di antara mereka terdapat raja Yahudi – ia kembali ke negerinya.

Akan tetapi lantaran orang-orang Yahudi yang masih menetap di Palestina memulai meletuskan perang melawan Raja Babul. Bukht an-Nasr mengambil keputusan untuk memecahkan permasalahan yang ditimbulkan orang-orang Yahudi sekali untuk selamanya.

Dengan demikian, ia menaklukkan Yerusalem dan membakar kota tersebut. Ia membakar jasad Sulaiman dan seluruh warga kota ketika menjadi tawanannya dan membawa mereka ke Babul.

Orang-orang Yahudi menetap di Babul hingga masa Kurasy menyerang dan menguasai tempat itu. Kurasy membebaskan orang-orang Yahudi dan mengembalikan orang-orang Yahudi ke negerinya. Ia mengembalikan emas dan perak yang dijarah oleh Bukht an-Nashr dari tempat ibadah di Yerusalem.

Bagaimanapun, biasanya, penawanan dan pengusiran Bani Israil ini yang terjadi pada abad keenam sebelum Milad dan berlangsung selama lebih dari dua abad mereka dalam keaadaan tawanan dan pengusiran.

Perkara di atas merupakan hukuman pertama dari dua hukuman yang mereka dapatkan yang disebutkan pada ayat di atas.

Terdapat nukilan yang beragam ihwal hukuman berat yaitu hukuman kedua yang menimpa Bani Israil. Menurut sebagian nukilan, kaum kafir kembali menyerang Bani Israil dan mendera mereka dengan siksaan dan kesusahan.

Poin yang patut mendapat perhatian adalah Allah Swt, pada akhirnya mengancam Bani Israil bahwa apabila mereka kembali kepada pengrusakan dan berlomba untuk menjadi yang terhebat, mereka kembali akan mendapatkan azab, peperangan dan instabilitas dan dengan redaksi “wain ‘udtum ‘udna” Allah Swt memberikan peringatan kepada mereka.

Sebagai hasilnya, memberikan pengajaran dan pendidikan orang-orang yang rapuh iman dan buruk kelakuannya juga merupakan salah satu dari hukum dan atauran penciptaan (takwini) yang berlaku atas berkecamuknya peperangan; meski kanun dan aturan ini tidak dapat dijelaskan dan dibenarkan dalam perspektif sejarah filsafat dan sosiologi materialisme kiwari.

6. Keuntungan Perang bagi Mujahidin

Aturan keenam perang adalah bahwa jihad di jalan Allah (fii sabilLlah) di samping terdapat derita, nestapa, juga terdapat manfaat dan faidah bagi para mujahidin. Allah Swt berfirman berkenaan dengan perkara ini:

“Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:216)

Redaksi awal ayat ini adalah penjelas tatanan tasyri’i perang yang bukan menjadi tema pembahasan kita sementara ini. Pembahasan kita di sini berkaitan dengan redaksi yang lain dari ayat ini yang merupakan penjelas sebuah aturan takwini ihwal perang.

Dalam ayat ini, redaksi “kutiba ‘alaikum al-qital wa huwa kurhun lakum” (Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci) menegaskan bahwa perang termasuk di dalamnya adalah terbunuh, pukulan, terluka, menjadi tawanan, menjadi budak, tuna wisma, merana, hancur, nestapa, dan puluhan petaka lainnya, merupakan fenomena yang getir dan sarat dengan kesusahan dan tidak disenangi oleh manusia.

Akan tetapi pada redaksi berikutnya, yaitu pada redaksi “’asa an takrahu syai wa huwa khairun lakum” (Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu) menunjukkan kepada sebuah realitas bahwa perang meski menyimpan seluruh susah dan musibah-musibah, di samping itu terdapat manfaat dan kegunaan yang banyak yang tidak boleh dilalaikan dan kandungan manfaat dan kegunaan perang itulah yang dapat menjelaskan dan membolehkan eksisnya perang di muka bumi.

Di sini layak kiranya kita menyinggung beberapa kegunaan perang:

* Menciptakan mental aktif dan menghindarkan dari kemalasan

Di antara hasil yang dapat dituai dari jihad di jalan Allah adalah menjauhkan umat dari kemalasan dan kelesuan. Dan menanamkan semangat dan mental aktif, giat dan penuh agresifitas. Manusia, secara alami, apabila dalam waktu yang panjang berada dalam keadaan sejahtera, aman dan tentram, secara perlahan akan menjadi pemalas, lesu dan tanpa semangat dan tercegah dari kebiasaan aktif dan penuh vitalitas. Dan dari sisi lain, mental resistan dan militan akan menjadi lemah.

Dengan meletusnya peperangan menjauhkan orang dari sikap malas dan lesu. Dan kala anggota masyarakat dalam kondisi perang merasakan adanya bahaya, ketika itu kebanyakan kekuatan-kekuatan yang tertidur akan bangun dan bangkit. Perang membuat mental manusia menjadi militan, agresif dan siap siaga. Serta menumbuhkan ketegaran, konsistensi dan vitalitas pada diri manusia.

Apabila kita memperhatikan realitas ini dimana sebuah komunitas lesu dan perut penuh dengan makanan lezat dan menjadi santapan lezat dan sasaran empuk sebagian pencari kekuasaan dan penjahat, kita akan membenarkan dengan mudah hasil yang disebutkan di atas sebagai salah satu konsekuensi penting dan positif perang bagi sebuah komunitas.

Lantaran perang memiliki muatan hukum dan reaksi memberikan budaya siaga kepada badan manusia dan memobilisasi energi batin dalam menghadapi serangan virus-virus dan mikroba-mikroba jahat pada diri manusia.

Para biolog berkata, dalam keadaan normal dan aman, sebagian kecil energi manusia berada dalam keadaan aktif. Dan dalam keaadan terancam dan bahaya, energi manusia akan menjadi berlipat ganda. Mungkin dapat diinferensi dari sebagian ayat-ayat al-Quran; semisal ayat ini yang menegaskan:

Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.(QS. al-Anfal [8]: 65)

Barangkali salah satu sebab dan pembenaran perkara ini adalah realitas ilmiah yang disebutkan di atas; artinya kaum mukmin yang berada pada masa-masa awal Islam dan musuh menguasai mereka dari berbagai penjuru, karena berada dalam keadaan terancam, secara alami mekanisme-mekanisme hidup mereka menciptakan energi yang sangat luar biasa untuk menghadapi pelbagai ancaman dan bahaya.

* Menciptakan perasaan perlu dan kekurangan

Hasil penting yang lain dari jihad adalah menumbuhkan perhatian dan sensitifitas masyarakat terhadap setiap kekurangan dan kebutuhan. Dan perhatian ini, menghasilkan gerakan dan aktifitas masyarakat untuk melengkapi dan memenuhi kekurangan dan kebutuhan ini.

Apabila kita perhatikan dengan seksama segala usaha dan aktifitas individu dan kelompok masyarakat, kita akan jumpai bahwa secara umum, manusia setelah merasakan adanya keperluan dan kekurangan pada dirinya, ia akan meluangkan waktu dan tenaga untuk menutupi dan menghilangkan keperluan dan kekurangan tersebut.

Bahkan termasuk makan dan minum yang merupakan perbuatan yang mengenyangkan dan melepas dahaga bagi manusia, terlaksana tatkala manusia merasakan lapar atau dahaga. Atau kala manusia berpikir untuk mengobati luka dan sakit dan merujuk kepada tabib atau dokter ketika ia merasa sakit dan luka.

Bagaimanapun, secara umum, pada setiap masalah, manusia selepas merasakan adanya keperluan dan kekurangan ia memikirkan untuk memenuhi keperluan dan kekurangan tersebut. Luka kendati bukan merupakan sesuatu yang menyenangkan manusia, akan tetapi kala perasaan luka yang berfungsi sebagai pemberi peringatan kepada manusia atas hadirnya sejenis penyakit dan meminta manusia untuk berhati-hati dan mengobati penyakit tersebut; oleh karena itu, harus dikatakan bahwa luka juga sejatinya merupakan sesuatu yang baik dan memiliki efek positif bagi diri manusia.

Tatkala sebuah bangsa dengan segala sebab berperang melawan orang-orang asing dan musuh-musuh – dimana tentunya sesuai dengan kaidah universal yang disebutkan di atas, mengejar untuk tetap hidup perasaan “perlu terhadap perang” pada setiap orang – secara perlahan, mereka akan memahami kekurangan dan kebutuhan tersebut. Dan dengan mengetahui poin-poin kelemahan, mereka dengan segala usaha akan menyingkirkan kekurangan dan kebutuhan tersebut.

Apabila kita membuka buku-buku sejarah ditemukannya invensi dan penemuan-penemuan dan ilmu-ilmu dan kerajinan-kerajinan, kita melihat prosentase yang menyolok mata dari mereka pada masa dimulainya peperangan dan mereka mengalami kematangan akibat dari peperangan ini.

* Menyebarkan Islam dan kaum Muslimin

Hasil yang lain dari perang adalah bahwa kaum mukminin yang berjihad dan para altruis dengan usaha-usaha, altruisme dan sikap mendahulukan orang lan yang mereka tunjukkan – khususnya apabila mereka meraih kemenangan dalam perang melawan musuh – mendapatkan kemasyhuran dan masyarakat dunia terhadap mereka, agama dan ajaran dan akidah mereka, akan mendapatkan sensistifitas dan mengenal mereka lebih jauh.

Perkara ini dengan sendirinya akan menjadi sebab munculnya perhatian masyarakat dunia terhadap motivasi-motivasi insani dan Ilahi kaum mukminin untuk mengatur dan berpartisipasi dalam perang dan menghabiskan biaya yang banyak dan menanggung kerugian, perkara ini akan membangkitkan semangat untuk mengenal Islam dan Tuhan pada masyarakat dunia; artinya orang-orang beriman yang menjadi sasaran serangan dan ekspansi kaum penguasa di tengah masyarakat dunia akan meraih keunggulan gemilang dan juga menjadi media untuk mempropagandakan agama hak kepada mereka.

Kami hanya menyebutkan sebagian hasil positif dari peperangan. Masih banyak lagi hasil-hasil positif yang kami tidak sebutkan di sini. Kami saksikan pada perang yang dipaksakan (imposed war) yang dilancarkan oleh pemerintahan Ba’ats Irak terhadap negeri kami. Dan perang ini, kendati banyak kerugian yang ditimbulkannya, juga menuai hasil-hasil positif untuk bangsa kami.

Pada permulaan perang, Pemimpin Besar Revolusi, Imam Khomeini rah berkata, perang ini kendati dipaksakan kepada kita akan tetapi merupakan anugerah bagi kami.

Pada masa-masa tersebut, barangkali masyarakat lebih banyak terpengaruh oleh iman dan hasrat kepada Imam Khomeini rah. Mereka menerima ucapan Imam Khoemini ini, akan tetapi dengan berlalunya waktu dan berlanjutnya peperangan, secara perlahan mereka saksikan kebenaran klaim ini (ucapan Imam Khomeini).

Sikap malas dan lesu yang menguasai bangsa kami dan bangsa Iran yang tunduk kepada musuh-musuh, dapat dihilangkan dalam satu waktu. Semangat, giat dan aktif dalam segala bidang, semangat resistensi, prawira dan semangat untuk meraih syahid menggantikan kemalasan dan kelesuan tersebut.

Masyarakat dengan menemukan semangat dan mental semacam ini, memutuskan segala bentuk hubungan dan ketergantungan terhadap kekuatan asing dan meraih kemerdekaan dalam segala bidang, dari segala dimensi, seperti dari sisi kekuatan militer, ilmu, industri dan sebagainya. Dan mengenyahkan segala kebutuhan yang ada dari pihak asing.

Ditemukannya mental dan semangat yang menarik perhatian semacam ini pada diri masyarakat bangsa kami dan menjadikan Iran islami muncul sebagai kekuatan besar yang disegani dalam panggung politik dunia dan internasional.

Para imperalis Timur dan Barat hari ini menegaskan bahwa fundamentalis – yang menurut mereka adalah Islam original – adalah ancaman serius bagi kekuatan dan kekuasaan mereka. Akan tetapi laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa kecendurngan terhadap Islam pada masyarakat internasional hari demi hari semakin menyebar dan bangsa-bangsa muslim juga menemukan gerakan baru berupa pendalaman dan perluasan akidah dan maarif islami pada masyarakatnya. Dan ringkasnya orang-orang yang menghendaki Islam semakin berkembang dan bertebaran.

Tentu saja salah satu faktor penting munculnya kecendrungan ini adalah revolusi Islam bangsa Iran dan resistensi dan invinsibilitas (ketakterkalahkan) bangsa ini dalam imposed war (perang yang dipaksakan) tersebut; sebuah perang yang pada hakikatnya seluruh dunia pada satu kubu via a' vis bangsa muslim Iran di kubu lainnya. Tuhan memberikan kemenangan dan kejayaan pada bangsa muslim Iran.

7. Perang adalah Wahana Ujian dan Kemajuan

Aturan penciptaan ketujuh perang adalah bahwa kaum mukminin dan orang-orang yang mengesakan Tuhan, dengan penuh kesabaran menghadapi kegetiran dan kesusahan perang ia mendapatkan kesempurnaan mental dan maknawi; dan hal ini merupakan efek positif yang lain dari perang yang menyebabkan Tuhan berdasarkan kehendak bijak-Nya meletakkan aturan ini pada sistem penciptaan (takwini) dan pengaturan (tasyri’i) kehidupan manusia.

Bahkan dapat dikatakan bahwa perang merupakan salah satu arena-arena terpenting yang dapat mendekatkan manusia kepada tujuan utama penciptaannya dan kesempurnaan pamungkas.

Lebih jelasnya, tujuan utama penciptaan manusia adalah manusia dapat mengakses kepada kesempurnaan maknawi dan mental dan kedekatan diri kepada Allah. Apabila seseorang hendak melakukan sair dan suluk untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia hanya akan sampai ketika mampu menyambut segala kesusahan dan kepayahan serta kepahitan dan menyerahkan jiwa untuk menanggung segala problema dan boikot.

Sampai pada kesempurnaan maknawi dan kematangan jiwa hanya dapat tercapai ketika manusia meninggalkan hawa nafsunya dan hanya ikut kepada dustur dan kehendak Ilahi serta senantiasa bersikap sabar dan istiqamah.

Manusia dapat mencapai ketinggian derajat kesempurnaan sehingga ia tidak tertawan oleh kehendak-kehendak hawa nafsunya dan terhempas oleh taufan nalurinya. Dan hanya menginginkan keridhaan Allah Swt, meskipun bertolak belakang dengan keinginan hawa nafsunya sendiri.

Rahasia dideranya kaum mukminn dan orang-orang shaleh dengan selaksa petaka dan musibah duniawi tidak lain supaya mereka mendapatkan kematangan dan kesempurnaan.

Allah Swt dapat mencegah datangnya pelbagai musibah dan petaka seperti; kemiskinan, penyakit, chaos, kelaparan dan lain sebagainya dari kaum mukminin dan orang-orang shaleh; akan tetapi Allah Swt lantaran kemurahan dan kasih-Nya tidak melakukan hal ini. Dia menghendaki kaum mukminin sanggup menghadapi pelbagai kesulitan dan kesusahan sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan dan semakin banyak mendapatkan rahmat dan kemurahan Ilahi. Datangnya perang dalam kehidupan orang-orang yang menyembah Tuhan dan yang mengesakan-Nya juga untuk maksud ini.

Perang dengan memperhatikan segala musibah dan kesulitan serta kesusahan yang beragam merupakan medan yang baik bagi manusia untuk menimba pengalaman dan mengeluarkan segala kenistaan yang dimilikinya.

Perang merupakan arena yang sangat tepat supaya manusia-manusia mukmin berada dalam pelbagai musibah yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Dan dengan sukses serta meraih kemenangan di dalam musiba tersebut kemudian melintasi satu demi satu derajat “qurb ilaLlah” dan kesempurnaan, mendapatkan kelayakan untuk sampai kepada tingkatan tertinggi dari kesempurnaan dan kedekatan kepada Tuhan.

Orang-orang mukmin dengan penguasaan diri, sabar dan istiqamah dalam medan tempur menunjukkan, dengan melebur pada peristiwa-peristiwa perang, ia meluruskan dan mensucikan dirinya. Allah Swt berkenaan dengan masalah ini berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. (QS. Fushilat [41]: 30)

Ayat suci ini dengan redaksi “tsummastaqâmû” (kemudian meneguhkan pendirian mereka) sembari menunjukkan kepada kesusahan dan kesulitan yang membentang di antara jalan seorang salik (orang yang meniti jalan suluk), memberikan berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa apabila ia teguh dan kokoh menghadapi segala kesusahan dan berjuang menyingkirkannya, pada akhirnya ia akan memasuki surga dan meraih kebahagiaan selamanya.

Oleh karena itu, al-Quranul Karim dalam ayat-ayat yang beragam, terjadinya perang dan resiko-resiko serta kesusahan dan kehancuran yang didapatkan sebagai hasilnya, memandangnya sebagai berdasarkan kehendak bijaksana Ilahi, dan media ujian dan cobaan bagi manusia.

Allah Swt menimpakan perang dan konsekuensi-konsekuensinya sehingga potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia dapat dituai dan bersemi, dan melalui kanal perang manusia dapat mengaktualkan segala potensinya untuk menjadi sempurna serta melintasi tingkatan tanpa batas kesempurnaan kemanusiaan satu demi satu dan mendaki puncak-puncak tertinggi kesempurnaan hakiki manusia.

Allah Swt melalui perang menguji orang-orang beriman sehingga menjadi ketahuan hingga batas mana ia siap menanggung segala kesusahan dan mengamalkan taklifnya:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Albaqarah [2]: 155-157)

Ayat suci ini berkaitan dengan jihad dan Allah Swt mempersiapkan semangat dan jiwa orang-orang beriman untuk ikut serta dalam perang; akan tetapi bukan dalam bentuk propaganda yang tak bernilai dan jauh dari realitas, melainkan dengan penjelasan silsilah realitas-realitas, kenyataan-kenyataan dan nilai-nilai insani.

Secara asasi, sunnah dan kebiasaan Syâri’ muqaddas Islam (yang memberikan syariat, Allah Swt) sekali-kali tidak pernah menggiring manusia – apakah ia seorang mukmin atau non-mukmin – dengan tipuan dan kelicikan untuk mencapai tujuan-Nya.

Di sini Allah Swt sembari menyinggung pelbagai kesulitan yang biasanya menyertai perang – seperti, ketidakamanan, kelangkaan dan kemahalan bahan-bahan makanan, kerugian finansial dan harta, bunuh dan membunuh, menjadi tawanan dan sebagainya – juga memperkenalkan kesemuanya ini sebagai media ujian dan medan cobaan bagi orang-orang beriman untuk mencapai kesempurnaan-kesempurnaan maknawi. Dan Allah Swt memberikan janji kemenangan bagi orang-orang mukmin yang bersabar dan istiqamah.

Orang-orang mukmin yang sabar adalah orang-orang yang beriman kepada mabda dan ma’ad. Dan memiliki iman paripurna; dan kami sebagai kelanjutan akan menjelaskan bahwa salah satu faktor kemenangan kaum mukminin atau musuh-musuhnya adalah tauhid dan makrifat yang mengakar secara kuat.

Keyakinan dan iman komunitas muslim merupakan kunci kemenangan mereka atas musuh-musuh dan keluar sebagai pemenang dalam medan ujian. Keuntungan gemilang yang dicapai oleh orang-orang sabar dalam peperangan adalah cinta dan kasih Tuhan dan mendapatkan hidayah dimana Tuhan pada penghujung ayat yang disebutkan di atas mengabarkan dan berfirman bahwa mereka akan mendapatkan rahmat dan salam dari para malaikat. “..Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Hasil yang dijelaskan oleh ayat ini adalah bahwa Allah Swt memandang perang sebagai media ujian manusia dan wahana untuk kemajuan dan kesempurnaan orang-orang beriman. Dan orang-orang yang tidak berbalik dari musuh dan tidak meninggalkan medan perang diperkenalkan bahwa mereka mencapai derajat kesempurnaan yang tertinggi, dan mendapatkan perhatian dan kasih cinta Tuhan.

Pada ayat yang lain ihwal perang, kita membaca:

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara umat manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang yang kafir) dan suoaya sebagia kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan supaya Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yangberjihad dan belum nyata orang-orang yang sabar.Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya, (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.(QS. A^li Imran [3]: 140-143)

Pada ayat-ayat ini terdapat beberapa poin penting yang layak untuk disebutkan, kami akan menyebutkan beberapa bagian dari poin tersebut:

Pertama dan sebelum segala sesuatu, telah disinggung bahwa kekuasaan-kekeuasaan dan pemerintahan-pemerintahan tidak tersentral hanya pada beberapa orang atau kelompok; akan tetapi di samping di bagi pada satu tataran di antara orang-orang dan kelompok-kelompok yang beragam, juga sepanjang perjalanan sejarah kekuasan dan pemerintahan terbagi-bagi di antara orang-orang atau kelompok-kelompok.

Sebelum ini juga, kami telah menyinggung bahwa kehendak Ilahi yang berlaku dalam hal ini bahwa tidak ada satu pun kekuasaan selamanya berada pada seseorang, kelompok, bangsa; akan tetapi hikmat Ilahi menuntut kekuasaan itu terbagi-bagi. Suatu waktu berada di tangan satu orang dan pada waktu yang lain berada pada kekuasaan orang lainnya. Realitas ini telah ditimbang dan dimasukkan dalam desain universal penciptaan dan pengaturan Ilahi untuk kehidupan umat manusia.

Poin kedua yang disebutkan pada ayat di atas, tatkala kekuasaan terbagi-bagi sebagai hasil dari perang dan adu jotos, terkadang perang tersebut merupakan media untuk menguji kaum mukmin, sehingga Allah Swt memperkenalkan orang-orang yang benar-benar beriman dan memilih di antara mereka.

Kesimpulannya Allah Swt yang memiliki tujuan dalam menyeret kaum mukminin ke medan perang dan salah satu dari tujuan tersebut adalah bahwa kaum mukminin diuji dalam medan pertempuran tersebut.

Poin ini terdapat pada ayat pertama, pada ayat berikutnya juga dengan bahasa yang sama telah mendapat penegasan; Ketika Allah Swt berfirman: “wa liyumahhisha Allâhu alladzina âmanû”,(Dan supaya Allah membersihkan orang-orang yang beriman).

Tamhish yang tersebut pada ayat tersebut bermakna membersihkan dari aib dan cela. Membersihkan ini dapat bermakna sosial dan juga bermakna personal. Tamhish pada tataran sosial ketika pada satu masyarakat Islam dimana seluruh orang, lebih-kurangnya, mengamalkan syariat secara lahir, akan tetapi kebanyakan dari mereka terkontaminasi dengan pelbagai noda dan nista.

Dalam keadaan seperti ini, perang merupakan media dan wahana paling jitu untuk mengetahui sesiapa orang yang benar-benar muslim dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan) dan pada setiap keadaan dan situasi senantiasa mengedepankan keridhaan Tuhan. Dan sesiapa yang tidak mendapatkan manfaat dari Islam dan tauhid hakiki dan mental kafir, syirik, zalim dan maksiat wujud dalam dirinya. Perang, dengan akurasi yang tinggi, memisahkan barisan pecinta yang benar dan pengklaim yang dusta:

“Liyamiz Allâhu al-khabîts min ath-thayyib” (Sehingga Allah memisahkan antara yang nista dan kudus).

Tamhish juga memiliki dimensi personal. Boleh jadi seseorang adalah muslim secara original, akan tetapi imannya bercampur dengan kekurangan, kelemahan seperti: hedonis, suka santai, pemalas, haus akan kedudukan, zalim dan perusak. Untuk mensucikan orang dari noda-noda ruh dan jiwa ini dan mencerabut noda-noda ini dari akarnya, harus tersedia keadaan dan situasi sehingga perhatian batin orang ini tertuju pada sesuatu yang lain.

Sepanjang kehidupan seseorang berada dalam keadaan aman dan tentram dan menikmat berbagai jenis nikmat dan pemberian Tuhan, biasanya kecendrungan-kecendrungan hewani, nafsani dan syaitani menguat pada diri manusia dan mendapatkan kesempatan ke manapun dan apapun yang ia kehendaki ia bebas melakukannya.

Tanpa ragu, apabila manusia melewati hidupnya dengan kecendrungan-kecendrungan ini, sedikit demi sedikit iman seseorang akan menjadi lemah dan pada akhirnya akan hilang.

Dengan munculnya pelbagai problema dan ketidakamanan pada kehidupan personal dan sosial manusia, proses kehidupan normal seseorang menjadi berantakan. Dan dalam keadaan seperti ini, peluang untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia tersedia, dimana hal ini merupakan hasil yang ideal dalam kehidupan manusia.

Perang merupakan salah satu contoh ketidakamanan dan peristiwa pahit dimana manusia berada dalam keadaan membangun diri yang sangat pelik dan pada saat yang sama sangat bermanfaat bagi dirinya.

Dalam perang, karena manusia berada dalam keadaan mempertaruhkan jiwa dan raganya dan manusia terpaksa harus menyerahkan harta, istri dan anak-anak dan keterikatan-keterikatan duniawi yang lain, merupakan peluang yang sangat tepat untuk menyingkirkan segala sesuatu selain Tuhan dan hanya memfokuskan hatinya hanya kepada-Nya.

Perang dapat memutuskan segala sesuatu yang tidak pantas bagi iman tulus manusia dalam batinnya, menghias ruh dan jiwanya dan menyampaikan maknawiyahnya kepada kesempurnaan; dan hal ini adalah tamhish dan membersihkan seseorang untuk manusia.

Kesimpulannya, salah satu hasil penting dan bernilai perang adalah tersedianya peluang yang tepat sehingga orang-orang yang memiliki potensi yang melimpah dapat mengaktualkannya dan meraih kesempurnaan. Ia menghabiskan waktunya untuk membangun dirinya dalam medan tempur dan arena perang. Dan dalam tingkatan beragam perang, ia dapat menjauhkan segala keterikatan dan ketergantungan dari dirinya dan menggapai kesempurnaan ruh dan maknawi.

Kami mengalami makna ini dalam perang yang dipaksakan (imposed war) yang berlangsung lama, kami semua adalah saksi bahwa kebanyakan dari para pemuda dan pemuda-pemuda pada masa thagut yang terjerembab dalam akhlak-akhlak tercela – dan kebanyakan dari sifat-sifat tercela tersebut yang secara aktual terjangkiti perbuatan-perbuatan tercela tersebut – selama masa perang ini, mereka kembali kepada Allah Swt dan mendapatkan kesempurnaan hakiki dan kebanyakan dari mereka pada satu malam, melewati ratusan malam; hingga mereka menjadi teladan dan paragon bagi orang-orang yang mengesakan Tuhan dan para urafa. Mereka di samping menjadi hamba Tuhan yang saleh dan juga menjadikan orang-orang yang saleh. Apabila perang ini tidak berkecamuk, maka seluruh orang-orang saleh yang muslih (yang memperbaiki) juga tidak akan pernah ada.

Oleh karena itu, perang meskipun terdapat kesusahan, kepelikan dan kerugian yang mengikutinya, apabila ia tidak memiliki manfaat kecuali satu manfaat saja – dimana orang-orang beriman dan orang-orang shaleh dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah yang memberikan seluruh ketinggian maknawi dan mental; dan tentu saja kaum Materialis tidak dapat memahami manfaat ini – nikmat dan anugerah – yang tidak satu pun lisan yang dapat mensyukuri nikmat tersebut dengan sebenar-benar syukur.

Dari sudut pandang Islam, tujuan penciptaan adam dan alam semesta adalah mendekatnya manusia kepada Allah Swt, dan perang merupakan media yang paling baik yang dapat menjadi pendahuluan kedekatan dan mendapatkan kemenangan dan kedudukan yang tinggi kemanusiaan di hadapan Tuhan.

8. Kemenangan Pamungkas Kubu Hak

Aturan kedelapan yang berlaku dalam penciptaan dan sunah Ilahi atas perang adalah bahwa dalam sejarah kehidupan manusia dan pertempuran dan pergulatan manusia akan berakhir pada kemenangan kubu hak dan orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang menyembah Tuhan akan berkuasa atas seluruh semesta. Untuk menjelaskan aturan dan kanun ini perlu kiranya kita menyebutkan dua premis sebagai pendahuluan:

Premis minor: sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, kebebasan manusia dalam perbuatan dan tingkah-laku personal dan sosialmya, dan kebebasannya dalam memilih baik dan buruk, merupakan suatu hal yang dikehendaki dan sesuai dengan tuntutan hikmah Ilahi.

Tuhan menganugerahkan kekuatan dan kemampuan bergerak kepada manusia untuk memilih kedua jalan ini. Kehendak Ilahi demikian bahwa baik orang-orang yang mengayunkan langkah kakinya menuju ke surga memiliki kecendrungan, kekuatan dan gerakan untuk menuju ke neraka, dan juga orang-orang yang mengayunkan langkah kakinya menuju ke neraka, ia pun dapat memilih untuk melanggeng menuju ke surga.

Perkara ini menyebabkan kedua kelompok ini, bebas dan merdeka dalam memilih tujuan dan arah yang mereka kehendaki. Dalam al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah Swt membantu orang-orang yang memilih jalan baik dan juga menolong orang-orang yang memilih jalan buruk, sejatinya selaras dengan makna di atas; di antara ayat yang dimaksud adalah:

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami akan segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan –baik golongan ini maupun golongan itu- Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (QS. al-Isra [17]:18-20)

Premis mayor: Sebagaimana kami telah sampaikan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, dalam penciptaan alam sesuatu yang secara original dan esensial ideal adalah terwujudnya kebaikan dan kesempurnaan, akan tetapi di samping berbagai kebaikan dan kesempurnaan terdapat juga keburukan dan kekurangan – dimana dalam proses universal merupakan keniscayaan dan inherensi tujuan-tujuan aslinya – dan secara ikutan merupakan sesuatu yang ideal dan dalam istilahnya, merupakan tujuan aksidensial.

Di antaranya, dalam urusan manusia, Allah Swt tidak menciptakan manusia sehingga ia menyalahgunakan kebebasan yang diberikan kepadanya untuk menjadi orang-orang sesat dan melanggeng ke neraka, akan tetapi Dia menghendaki manusia mempergunakan sebaik-baik kebebasan yang dimilikinya sehingga menjadi orang-orang benar dan melanggeng ke surga.

Dengan demikian, menjadi orang-orang sesat dan melanggeng ke neraka keluar dan tidak termasuk dari kehendak Tuhan; akan tetapi keadaan ini tentu saja secara aksidensial termasuk dari kehendak Tuhan bukan secara original dan esensial.

Setelah menyebutkan dua premis di atas, kini kita harus berkata bahwa ketika kehendak Tuhan pada hakikatnya atas kebaikan, kebahagiaan, kematangan dan kesempurnaan manusia serta surgawi, kehidupan personal dan sosial manusia sedemikian diatur dan ditetapkan sehingga orang-orang yang berjalan di atas rel kebaikan dan kesempurnaan dan memilih melanggeng ke surga lebih banyak mendapatkan bantuan Tuhan dan pada akhirnya akan mendapatkan kemenangan pasti dan pamungkas.

Allah Swt memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat baik kepada orang-orang beriman, orang-orang saleh, para mujahidin di jalan Allah, juga Dia memberi kepada orang-orang ingkar dan musuh-musuh kaum mukminin. Dan memberikan kepada kedua kelompok ini ruang untuk mengaktualkan potensi yang mereka miliki dan membolehkan keduanya menggunakan berbagai media dan wahana untuk mencapai tujuannya; akan tetapi Tuhan memiliki perhatian khusus kepada kelompok pertama yang berjuang dan bertempur di jalan-Nya dan sembari demikian Dia juga membantu dan menolong kaum mujahidin dan menyampaikan mereka kepada kemenangan.

Akan tetapi kemenangan ini bukanlah tanpa perhitungan dan kalkulasi. Ia juga memiliki pakem dan syarat-syarat khusus. Namun bagaimanapun, kemenangan pamungkas dalam peperangan dan pertempuran yang dicapai oleh orang-orang benar merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh hikmat Allah Swt.

Dalam perkara ini, kita banyak menemukan ayat-ayat yang menegaskan masalah ini dimana pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung beberapa di antaranya:

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. A^li Imran[3]: 139)

Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman:

“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (QS. al-Anbiya[21]: 18)

Pada ayat yang lain kita membaca demikian:

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah diizinkan berperang orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari bumi pertiwi mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan gereja-gereja Nasrani, sinagog-sinagog orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesunggunnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahabijaksan.” (QS. al-Hajj [22]:38-40)

Dalam ayat yang lain disebutkan:

“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (QS. ash-Shaffat [37]:171-173)

Allah Swt dalam ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kemenangan rasul-rasul Allah sebagai kemenangan yang bersifat niscaya dan merupakan ketetapan langit dan sedemikian Allah telah menegaskan sehingga kemungkinan untuk menegaskan selainnya tidak ada; penegasan dengan cara-cara yang beragam seperti: “anna”, “redaksi nomina” (jumlah ismiyah), “lam ta’kid” dan “dhamir fashl” yang berulang-ulang digunakan pada ayat ini.

Juga pada ayat yang lain ihwal ketetapan yang pasti ini, kita membaca:

“Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS. al-Mujadalah [58]:21)

Juga tiga ayat yang lain, Allah Swt memberikan janji kemenangan pamungkas agama Islam dan Rasulullah saw atas agama-agama lain dan berfirman:

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. at-Taubah [9]: 33, QS. al-Fath [48]:28, QS. ash-Shaf [61]:9)

Dari ketiga ayat ini pada akhir ayat (Qs. at-Taubah [9]:33) dan Qs. ash-Shaf [61]:9) dengan redaksi “walau karih al-musyrikun” (walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai) dan pada akhir ayat (Qs. al-Fath [48]:28) dengan redaksi “wa kafa bilLlahi syahidah” (Dan cukuplah Allah menjadi saksi) menegaskan kenyataan ini.”

Dari majemuk tiga ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya perang dan pertempuran antara orang-orang benar dan orang-orang batil akan berujung pada kemenangan pamungkas orang-orang benar dan kebenaran dan hasilnya adalah kemenangan agama Islam dan pengikutnya yang benar.

Menurut akidah Syi’ah, kemenangan pamungkas dan paripurna agama Islam akan terwujud melalui tangan Hadhrat Wali Ashr (Tuan Penguasa Masa), Imam Zaman (Semoga Allah menyegerakan kemunculannya) dan pada akhir sejarah, seantero semesta akan berada di bawah panji hak dan keadilan Imam Mahdi ajf.