Pada seri sebelumnya telah dipaparkan beberapa komentar dari ulama Ahlussunnah seputar peristiwa Ghadir Khum. Tulisan kali ini masih akan membahas ulasan yang sama dengan mengajukan komentar lainnya yang berhubungan dengan peristiwa agung ini.
Ibn Khalakan sejarawan dan ahli fikih bermazhab Syafii mengomentari hal ini dengan menyatakan bahwa hari di mana peristiwa Ghadir Khum terjadi, iaitu 18 Zul Hijjah, merupakan hari raya. Hal ini ia ungkapkan di dalam kitabnya setelah menyebutkan tentang kewafatan al-Mustanshir:
“aku katakan: malam ini adalah malam hari raya Ghadir. Iaitu malam ke 18 Zul Hijjah. Iaitu Ghadir Khum (dengan Dammah Kha dan Mim bertasydid). Saya mendapati banyak orang bertanya tentang malam ini. Tepatnya berapa Zul Hijjah? Tempat ini berada di antara Makkah dan Madinah. Di tempat tersebut ada genangan air. Dikatakan bahwa tempat itu adalah tempat yang ditumbuhi pepohonan dan ada air. Ketika Nabi SAWW kembali dari Makkah (Allah memuliakannya) pada haji Wada’ dan sampai ke tempat tersebut lalu menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya, beliau bersabda: Ali di sisiku seperti Harun AS di sisi Musa AS. Ya Allah! cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Berikan pertolongan kepada orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang berupaya menghinakannya. Dan orang Syiah memiliki keterikatan yang besar dengannya (Ghadir Khum).[1]
Pernyataan yang diabadikan oleh Ibn Khalakan ini tidak hanya mengakui peristiwa Ghadir Khum sebagai suatu sejarah yang autentik dan faktual, akan tetapi lebih dari itu beliau juga menganggap momen tersebut layak dijadikan sebagai hari raya.
Oleh karena itu jika kemudian mazhab Syiah menjadikan peristiwa ini sebagai hari raya bukanlah suatu hal yang berlebihan sebab ternyata dari kalangan ulama Sunni sendiri ada yang menganggap demikian.
[1] Ibn Khalakan, Syamsuddin Ahmad bin Muhammad, Wafiyat al-Al-’yan wa Anba Abna al-Zaman, jil: 5, hal: 230- 231.