Ayat lain yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum ialah ayat Ikmal (penyempurnaan), sebuah penggalan yang terdapat dalam ayat ke 3 dari surat Al-Maidah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.
Sesuai dengan namanya, ayat ini berbicara mengenai penyempurnaan agama. Dalam hal ini semua ulama sepakat bahwa ayat di atas turun pada bulan Dzul Hijjah, namun secara tepatnya pada hari apa, apakah pada hari Arafah ataukah setelah pelaksanaan Haji Wada’, mereka berbeda pendapat.
Dalam memaknai penyempurnaan agama, para mufasir juga berbeda pendapat. Allamah Thabathaba’i melihat bahwa ayat ini turun, berhubungan dengan peristiwa Ghadir Khum dan maksud dari penyempurnaan agama ialah proklamasi wilayah (kepemimpinan) Imam Ali as atas kaum muslimin, dengan dalil adanya pernyataan tentang keputusasaan orang-orang kafir atas Islam dalam ayat tersebut.
Ayat ke 3 surat Al-Maidah ini diawali dan di akhiri dengan pembahasan hukum syar’i. Oleh sebab itu mayoritas ulama Ahlu Sunnah melihat bahwa maksud dari penyempurnaan agama adalah tersampaikannya semua hukum-hukum Islam.
Sementara itu Allamah melihat hal tersebut (hukum saja) tidak cukup untuk menjadi penyebab keputusasaan orang-orang kafir dalam menghancurkan Islam.[1] Ada hal lain yang lebih mendasar, dan itu adalah terjaga dan diteruskannya fungsi nabi saw sebagai pemimpin kaum muslimin sekaligus penjaga syariat supaya tidak melenceng dari garisnya yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu dengan melihat berbagai syarat yang ada, peristiwa Ghadir Khum adalah satu-satunya penjelasan yang paling tepat dalam menjabarkan maksud ayat tadi.
Perihal pemilihan atau penunjukkan pemimpin setelah nabi saw ini tidak bisa dilakukan dengan pemilihan manusia (demokrasi), sebab tidak ada yang tahu kualitas dan kemampuan seseorang dalam memimpin dan menjaga Islam kecuali Allah swt. sehingga hanya Allah lah yang tahu dan berhak dengan urusan tersebut. Insya Allah hal ini akan dibahas secara lebih luas lagi dalam seri-seri selanjutnya.
Terkait masalah ini Al-Khatib Al-Baghdadi, salah satu ulama Ahlu Sunnah dalam kitabnya Tarikh Baghdad menukil riwayat shahih yang menjelaskan keterkaitannya ayat di atas dengan peristiwa Ghadir Khum.
أنبأنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ بشران أنبأنا عليّ بن عمر الحافظ حدّثنا ضمرة ابن رَبِيعَةَ الْقُرَشِيُّ عَنِ ابْنِ شَوْذَبٍ عَنْ مَطَرٍ الْوَرَّاقِ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. قَالَ: مَنْ صَامَ يَوْمَ ثَمَانِ عَشْرَةَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ سِتِّينَ شَهْرًا، وَهُوَ يَوْمُ غَدِيرِ خُمٍّ، لَمَّا أَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ: «أَلَسْتُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ؟» قَالُوا: بَلَى يا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «مَنْ كُنْتُ مَولاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاهُ» فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخطّاب: بخ بخ لك يا ابن أَبِي طَالِبٍ أَصْبَحْتَ مَوْلايَ وَمَوْلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Telah memberitakan pada kami Abdullah bin Ali bin Muhammad bin Bisyran, telah memberitakan pada kami Ali bin Umar Al-Hafidz, telah bercerita pada kami Dhamrah bin Rabia’h Al-Qurasyi dari Ibnu Syaudzab dari Mathar Al-Warraq dari Syahr bin Hausyab dari Abu Hurairah, berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari ke 18 dari bulan Dzul Hijjah maka dicatat baginya puasa 60 bulan.
Dan itu (18 Dzul Hijjah) adalah hari Ghadir Khum, ketika nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib seraya berkata: ‘Bukankah aku wali kaum mukminin?’ orang-orang menjawab: ‘Benar wahai Rasulullah.’ Nabi berkata: ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya.’ Umar berkata: ‘Selamat, selamat untukmu wahai putra Abu Thalib, kau telah menjadi maulaku dan maula seluruh muslim.’ Kemudian Allah menurunkan ayat: (اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ).[2]
Dengan hal ini jelas, bahwa sebagian ulama Ahlu Sunnah pun menyakini bahwa ayat di atas memiliki hubungan dan keterikatan dengan peristiwa Ghadir Khum.
[1] Tafsir Al-Mizan, jil: 3, hal: 176.
[2] Tarikh Baghdad, jil: 8, hal: 284, Darul Kutubul Ilmiyah.