Penjelasan Syekh Al-Utsaimin tentang Makna “Maula”
  • Judul: Penjelasan Syekh Al-Utsaimin tentang Makna “Maula”
  • sang penulis: Ben Aunullah
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 21:59:9 1-9-1403

Hadis Ghadir Khum yang kesohor dan populer baik di kalangan muhadditsin (ahli hadis) hingga awam sekalipun, menjadi bukti bahwa peristiwa bersejarah tersebut hingga saat ini masih menjadi pembicaraan yang hangat, terlepas dari berbagai kontroversi yang ada.

Pemaknaan lafal “maula” dalam riwayat yang memiliki banyak jalur itu, menjadi salah satu topik penting dalam mengkaji dan menelusuri akar kepemimpinan pasca wafat sosok agung Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana para ulama berupaya memdedikasikan segenap usahanya dalam menghimpun semua informasi terkait peristiwa besar tersebut.

Di tengah banyaknya pendapat yang menjelaskan makna “maula” dalam riwayat Ghadir Khum ini, Syekh Al-Utsaimin seorang ulama kelahiran 1925 M menjelaskan makna “maula” ketika ditanyakan padanya mengenai ucapan seseorang “wahai maulaku” saat berbicara dengan raja. Dalam penjelasannya ini, ia mengutip hadis Ghadir Khum sebagai salah satu contoh dari apa yang ia utarakan terkait makna “maula”.

Wilayah terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, wilayah mutlak dan ini adalah milik Allah swt seperti kedaulatan mutlak, dan wilayah Allah dengan makna umum meliputi setiap sesuatu, Allah swt berfirman:

 ثُمَّ رُدُّوْٓا اِلَى اللّٰهِ مَوْلٰىهُمُ الْحَقِّۗ اَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ اَسْرَعُ الْحٰسِبِيْنَ

Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) ada pada-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat. (Al-An’am: 62)

Ayat tersebut meletakkan wilayah pada Allah atas mereka orang-orang yang mereka-reka kebohongan, dan ini merupakan wilayah yang umum. Adapun wilayah dengan makna khusus maka itu hanya terhadap orang-orang mukmin yang bertakwa, Allah berfirman:

ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ مَوْلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاَنَّ الْكٰفِرِيْنَ لَا مَوْلٰى لَهُمْ ࣖ

Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka. (Muhammad: 11)

اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ

Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. (Yunus: 62-63)

Ini merupakan wilayah Khusus.

Kedua, wilayah yang dibatasi dan ditambahkan, wilayah ini bagi selain Allah, dan dalam bahasa kata ini memiliki banyak makna, diantaranya; penolong, pemelihara urusan dan tuan. Allah berfirman:

وَاِنْ تَظٰهَرَا عَلَيْهِ فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ مَوْلٰىهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ بَعْدَ ذٰلِكَ ظَهِيْرٌ

Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya. (At-Tahrim: 4)

Dan Nabi saw bersabda:

من كنت مولاه فعلي مولاه

Barangsiapa yang aku adalah maulanya (pemelihara urusannya) maka Ali adalah maulanya (pemelihara urusan).

Dan Nabi juga bersabda:

إنما الولاء لمن اعتق

Sesungguhnya (sebutan) tuan bagi orang yang memerdekakan (budak).

Oleh sebab itu tidak masalah seseorang berkata pada raja: wahai maulaku dengan makna tuan selama ia tidak khawatir akan resiko dari hal itu.[1]

Dengan melihat penjelasan di atas, apabila kita tarik pada peristiwa Ghadir Khum, maka istilah “maula” tersebut dapat kita temukan baik itu hubungannya dengan Allah swt, Rasul saw maupun Imam Ali as, seperti yang telah dibahas pada seri ini.

Dalam hal ini Syekh Al-Utsaimin mengakui makna yang lebih tepat untuk “maula” pada hadis Ghadir Khum adalah المتولي للأمور (pemelihara urusan), hal ini dapat kita lihat dari urutan makna yang ia sebutkan yang kemudian diikuti dengan contoh-contohnya dari ayat maupun riwayat yang ia bawakan secara berurutan.

Dari makna yang terpilih, dapat kita pahami jika hal itu (pemelihara urusan kaum mukminin) disandarkan pada sosok Nabi saw maka hal tersebut akan mengarah pada sisi kepemimpinannya yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Sebab urusan kaum mukminin yang dipikul oleh beliau adalah bercerita tentang masalah kedudukannya sebagai pemimpin agama. Hal ini diperkuat dengan pernyataan beberapa sahabat dalam menanggapi proklamasi yang dilontarkan oleh Nabi saw pada peristiwa Ghadir Khum, seperti yang sudah jelas dibahas pada seri ini.

Oleh sebab itu, jelas bahwa riwayat Ghadir Khum menjadi salah satu topik penting dalam melihat hakikat kepemimpinan pasca kepergian Nabi Muhammad saw.

[1] Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jil: 3, hal: 136-137.