Definisi Ijtihad Menurut Imam Ghazali
  • Judul: Definisi Ijtihad Menurut Imam Ghazali
  • sang penulis: Ben Aunullah
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 23:31:59 1-9-1403

Pada masa sebelum hijrah nabi Muhammad saw. ke Madinah, Islam yang dibawa oleh beliau belum menjelaskan hukum-hukum syariat secara luas, sebab pada periode tersebut situasi dan kondisi yang ada ialah Islam baru lahir dan diperkenalkan, sehingga yang paling banyak dibicarakan ketika itu adalah seputar rukun dan fondasi Islam (aqidah).

Adapun pasca hijrah nabi saw., Islam mulai kokoh dan berbicara mengenai segala aturan, hukum, tuntunan dan tata cara bersikap seorang muslim dalam menjalani berbagai jalan kehidupan dari semua aspeknya; baik itu sifatnya pribadi atau umum, ibadah atau muamalah, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Sejak itu muslimin diajarkan dengan sistem yang dikehendaki Islam dalam menjalani semua aktivitas kesehariannya. Namun dalam hal ini tidak semua masalah yang dihadapi, mereka (para sahabat) tahu hukumnya terkadang hal itu tidak ditemukan dalam Alquran maupun sunah nabi (beliau saw. belum menjelaskannya) atau bisa jadi terkadang mereka lupa dan banyak kemungkinan lainnya, sehingga mendorong sebagian dari mereka berijtihad dalam menentukan sikap atau hukum persoalan terkait.

Dari sini tentunya kita mesti mengenal terlebih dahulu apa maksud dari ijtihad dan apakah semua orang (atau semua sahabat dalam kasus ini) dapat atau boleh berijtihad. Tentunya ini merupakan pembahasan yang penting yang insya Allah akan kita kaji dalam beberapa seri ke depan, sebab hal ini masih berkaitan dan erat hubungannya dengan konsep keadilan seluruh sahabat.

Terkait hal ini Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa menjelaskan bahwa ijtihad terbagi ke dalam tiga rukun:

Pertama, ijtihad itu sendiri. Ijtihad secara bahasa berarti berjuang keras atau mencurahkan seluruh usaha di dalam sebuah pekerjaan. Namun kemudian lafal ini (ijtihad) di dalam urf (kebiasaan) para ulama dikhususkan terhadap mencurahkan seluruh usaha dalam menuntut ilmu atas hukum-hukum syariat. Dan ijtihad yang sempurna adalah seseorang mengeluarkan segenap usahanya dalam sebuah tuntutan (ilmu atas hukum syariat) sedemikian rupa sehingga ia merasakan dari dirinya ketidakberdayaan atas tuntutan lebih.

Kedua, mujtahid atau orang yang berijtihad. Ada dua syarat sehingga seorang dikatakan mujtahid:

Syarat pertama, menguasai sumber-sumber syariat, memungkinkan baginya mendapati sangkaan (dzan) dengan melihat dalam sumber-sumber tersebut, serta mengedepankan apa yang wajib dikedepankan serta mengakhirkan apa yang seharusnya diakhirkan.

Syarat kedua, meupakan orang yang adil, menjauhi maksiat-maksiat yang merusak keadilan. Dan hal ini[1] demi kebolehan mengikuti fatwanya. Maka barangsiapa yang bukan seorang adil, fatwanya tidak boleh diterima. Adapun ia pada dirinya sendiri apabila merupakan seorang alim maka ia dapat berijtihad untuk dirinya dan mengamalkannya. Seolah-olah keadilan adalah syarat penerimaan fatwa bukan syarat sah ijtihad.[2]

Ketiga, objek ijtihad atau apa yang diijtihadi. Objek ijtihad di sini adalah seluruh hukum syar’i yang tidak terdapat dalil yang pasti (qath’i) di dalamnya. Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa ia telah memisahkan hukum syar’i dari persoalan-persoalan logis (a’qli) dan kalam, sebab kebenaran di dalamnya hanyalah satu, yang benar adalah satu dan yang keliru adalah berdosa. Dan apa yang ia maksud dengan objek ijtihad adalah persoalan yang mana orang yang keliru di dalamnya tidak (akan) berdosa. Dan kewajiban shalat lima waktu serta zakat-zakat dan apa-apa yang telah sepakat umat atasnya hukum-hukum syar’i yang jelas di dalamnya terdapat dalil-dalil yang pasti, maka berdosa orang yang menentangnya, maka hal itu bukan termasuk tempat untuk ijtihad.[3]

Dari paparan di atas dan melihat pada ketentuan-ketentuan yang ada, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah ijtihad hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah menguasai sumber-sumber hukum syar’i (alim), serta ijtihad yang dilakukan berada pada tempatnya bukan pada sesuatu yang malah menjadi bertolak belakang dengan hukum syar’i yang sudah jelas yang mana ini bahkan tidak dikategorikan sebagai ijtihad.

Insya Allah pada seri-seri selanjutnya kita akan melihat apakah konsep ijtihad di atas terealisasikan dalam ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat ataukah tidak.

[1] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 382, Muassasah Ar-Risalah.

[2] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 383, Muassasah Ar-Risalah.

[3] Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, jil: 2, hal: 390, Muassasah Ar-Risalah.