Ishmah atau kemaksuman sebagaimana telah berulang kali disebutkan merupakan barometer serta tolok ukur dalam mengenal, meyakini dan mendeskripsikan nabi Muhammad SAWW.
Mengenal, meyakini dan mendeskripsikan beliau sesuai dengan karakter ishmah berarti memuliakan dan mengagungkan beliau dan sebaliknya menabrak tolok ukur tersebut berarti merendahkan beliau, baik secara langsung maupun tidak.
Kembali, pada tulisan ini akan dipaparkan literatur hadits yang mendeskripsikan Rasulullah SAWW bertentangan dengan barometer ishmah.
Hadits ini dimuat di dalam kitab yang oleh Ahlussunnah dianggap paling shahih setelah al-Quran, yaitu Shahih Bukhari:
“dari Aisyah RA, ia berkata: Nabi SAWW mendengar seorang laki-laki di masjid sedang membaca (al-Quran), lantas beliau berkata: semoga Allah SWT merahmatinya (karena) sungguh ia telah mengingatkanku tentang ayat yang demikian dan demikian dari surah yang demikian.[1]
Hadits senada dengan jalur yang sedikit berbeda tapi masih dari Aisyah RA dengan menggunakan kata “yang telah aku lupakan” (انسیتها):
“dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAWW pada malam hari mendengar seorang laki-laki membaca (satu) surah, lalu beliau berkata: Semoga Allah SWT merahmatinya. (karena) Sungguh ia telah mengingatkanku tentang ayat demikian dan demikian, yang telah aku lupakan dari surah demikian dan demikian.[2]”
Dalam riwayat lainnya, dengan penjelasan yang lebih terperinci disebutkan dengan jelas sosok yang telah mengingatkan beliau tersebut:
“dari Aisyah RA, ia berkata: Nabi SAWW mendengar laki-laki sedang membaca (al-Quran) di mesjid, lalu beliau berkata: Semoga Allah merahmatinya (karena) sungguh ia telah mengingatkanku tentang ayat yang demikian dan demikian, yang aku lupakan dari surah yang demikian dan demikian. Dan Abbad bin Abdullah menambahkan, dari riwayat Aisyah: Nabi SAWW shalat tahajjud di rumahku, lalu beliau mendengar Abbad sedang shalat di masjid lantas beliau berkata: wahai Aisyah, apakah ini suara Abbad? Aku menjawab: ya. Beliau bersabda: semoga Allah merahmati Abbad.[3]”
Tiga hadits di atas menggambarkan bahwa nabi Muhammad pernah lupa beberapa ayat dari beberapa surah al-Quran, dan melaui bacaan sahabat, beliau kembali mengingat ayat-ayat tersebut dan atas dasar itulah Rasulullah mendoakan sosok tersebut.
Riwayat-riwayat ini sekalipun tercantum di dalam kitab yang diyakini shahih, mesti ditolak karena bertentangan dengan konsep kemaksuman. Yaitu kemaksuman para nabi dari sifat lupa. Apalagi hal ini menyangkut dengan wahyu.
Di mana kemungkinan serta bolehnya beliau lupa dalam hal ini, akan menggugurkan klaimnya atas wahyu secara keseluruhan. Sebab dengan demikian tidak ada jaminan bahwa apa yang disampaikan oleh beliau tidak luput dari lupa.
Lebih dari itu al-Quran sendiri dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa Nabi SAWW tidak akan melupakan al-Quran:
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى (Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa)[4]
Dari kedua dalil di atas dapat disimpulakan bahwa riwayat di atas dan riwayat-riwayat serupa yang terdapat di dalam kitab lainnya, merupakan riwayat yang tertolak.
[1] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, hal: 1285, hadits: 5037, cet: Dar Ibn Katsir, Beirut, 1423 H/ 2002 Muslim, Pertama.
[2] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, hal: 1286, hadits: 5038, cet: Dar Ibn Katsir, Beirut, 1423 H/ 2002 Muslim, Pertama.
[3] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, hal: 645-646, hadits: 2655, cet: Dar Ibn Katsir, Beirut, 1423 H/ 2002 Muslim, Pertama.
[4] Al-A’la/6