Suku-suku di Semenanjung Arabia pra-Islam banyak menggantungkan mata pencaharian mereka kepada binatang ternak. Para pakar bahasa berpendapat bahwa kata al-an’am (binatang ternak) merupakan bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya ialah an-na’am, yakni harta piaraan. Apa harta piaraan yang paling populer di Semenanjung Arab?
Jawabnya adalah unta, bukan kuda, bukan keledai, bukan pula domba, sapi atau kerbau.
Al-Farra’ berpendapat bahwa nama itu (al-ibil) adalah bentuk mudzakkar (laki-laki) yang tidak dapat dibuat bentuk mu’annats (perempuan). Para pakar bahasa menyatakan: ini adalah seekor unta (hadza an-na’amu); bentuk pluralnya adalah na’man, sebagaimana kata hamal yang memiliki bentuk plural hamalan.
Kata al-an’am bisa dijadikan mudzakkar (lelaki) dan bisa juga dibuat mu’annats (perempuan). Allah Swt berfirman, “Min ma fi buthunihi” dan “min ma fi buthuniha.”
Bentuk pluralnya adalah ana’im. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kata an-na’am (binatang ternak) ini meliputi unta, sapi, dan kambing.
Suku-suku Arab memelihara binatang-binatang ternak dan memberikan perhatian ekstra dalam perawatan-perawatannya, sebab ternak itu menyuplai mereka dengan, apa yang kita sebut dalam bahasa ekonomi modern sebagai barang konsumsi dan barang produksi, atau investasi. Hasil ternak yang termasuk kategori barang jenis pertama adalah daging dan susu yang mampu memenuhi kebutuhan mereka akan makanan dengan cara langsung.
Kategori jenis kedua adalah kulit, bulu domba (wol), dan bulu. Semua ini mereka gunakan untuk produksi barang atau pernik-pernik yang dibutuhkan sebagai busana. Beberapa jenis hewan juga digunakan sebagai kendaraan sekaligus angkutan, sehingga lebih memudahkan mereka dalam melakukan transaksi bisnis dengan pelbagai komunitas liyan.
Syair jahili yang merupakan potret hidup bangsa Arab marak dengan penyebutan kosakata “unta”. Hal ihwal ini jelas mengindikasikan urgensitas fungsi yang dimiliki unta dalam kehidupan suku-suku Arab pra-kerasulan Nabi Muhammad saw.
Begitu Islam datang, ia juga memberikan perhatian khusus pada binatang-binatang ternak. Bahkan di dalam Alquran, terdapat satu surah penuh yang diberi nama al-An’am (yang berarti binatang ternak).
Banyak pula ayat-ayat yang menyebutkan kata an’am (binatang ternak) dengan beragam fungsi dan kegunaannya, di antaranya:
Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan pelbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri (QS. An-Nahl [16]: 5-7).
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan juga di waktu kamu bermukim serta(dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu) (QS. An-Nahl [16]: 80).
Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan (QS. Al-Mu’minun [23]: 21).
Pada ayat-ayat di atas disebutkan secara global akan manfaat-manfaat binatang ternak, baik yang berupa fungsi materiil maupun spiritual, yang tidak perlu lagi didedahkan panjang lebar.
Kata binatang ternak disebutkan dalam Alquran dengan beragam formulasi bentuk kata: al-an’am, an’aman, an’amakum, dan an’amahum, sebanyak 32 kali, dan ini membuktikan tingkat perhatian Islam yang tinggi pada binatang ternak.
Bahkan, menurut Khalil Abdul Karim (2003), unta dalam banyak kasus diperlakukan sebagai alat tukar (mata uang), mengingat ketidaklaziman interaksi komunitas tribalisme dengan mata uang, kecuali Mekkah yang memang merupakan pusat perdagangan. Oleh karena itu, sudah merupakan tradisi, mahar dan diyat dibayar dengan sejumlah unta sesuai situasi dan kondisinya.
Dan, Abdul Muthalib-lah orang pertama yang menetapkan pembayaran denda bagi pembunuh dengan 100 ekor unta. Selanjutnya tradisi ini diadopsi oleh Islam.
Tatkala Islam datang, unta tetap menempati posisi pentingnya sebagai alat tukar dalam proses barter dan dalam segala aspek transaksi, terutama yang menyangkut masalah moneter (keuangan).
Dalam kewajiban zakat misalnya, unta memiliki peran signifikan, baik dalam penentuan jumlah nishab yang mewajibkan pengeluaran zakat atas kepemilikannya, maupun dalam penentuan persentase zakat yang harus dikeluarkan. Bahkan, proses ini tidak terbatas pada penentuan jumlah unta saja, tetapi juga melibatkan proses identifikasinya secara sempurna, meliputi jenis-jenis unta itu sendiri dari segi jenis kelamin (jantan atau betina), juga dari segi umur dan gigi.
Perihal yang paling mengagetkan tentang elitisme posisi uta di kalangan bangsa Arab prakerasulan Muhammad adalah pernyataan Ahmad Fathi Bahnesi (1972: 158) yang memandang bahwa ketika seorang hakim ingin memberatkan vonis hukuman atas seorang penjahat berdasarkan kejahatan yang dilakukannya, maka pemberatan itu harus mengacu pada unta, sebab syara’ telah mengatur ketentuan ini, dan muqaddarat (ketentuan-ketentuan baku) tidak bisa diketahui kecuali lewat proses sima’i (taken for granted, bukan lewat proses reasoning).
Jadi, tidak ada penalaran logis dalam menentukan pemberatan hukuman ini, sampai-sampai jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa ketentuan yang baku, dan malah berpatokan pada selain unta, maka keputusannya tidak berlaku.
Hal ini bisa jadi kita tilik, misalnya, penegasan Bahnesi, bahwa pemberatan vonis hukuman tidak boleh dilakukan selain dengan parameter unta, sehingga jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa mengacu pada perihal itu maka keputusannya tidak berlaku lantaran tak memperhatikan ketentuan yang ada.
Ketika sesuatu berlaku pada ordinat, maka secara otomatis ia berlaku juga pada subordinatnya, sebab subordinat sendiri berasal dari ordinat. Artinya, hukuman pokok harus mengacu pada unta, sebab tidak ada artinya jika hukuman pokok mengacu pada selain unta, sementara pemberatan hukuman (yang berarti hukuman tambahan), harus mengacu kepada unta.
Arkian, kaidah fikih ini merupakan pengaruh dari efektivitas pembelakuan ritus-ritus sosial dan ritus-ritus lain Oleh sebab itu, sangat memungkinkan jika elitisme (unta) ini masuk dalam wilayah ritus-ritus pidana pra-Islam dan kemudian Islam merumuskannya menurut formula yang ada.