Tiga Kelompok Dari Generasi Nabi SAW di Era Pra-Karbala
  • Judul: Tiga Kelompok Dari Generasi Nabi SAW di Era Pra-Karbala
  • sang penulis: Dr. Ali Syariati
  • Sumber: ICC
  • Tanggal Rilis: 1:26:0 2-9-1403

Semua ini menunjukkan bahwa pada awal mulanya kepemimpinan Imam Husein merupakan modal dan basis utama. Sebagaimana keberadaan setiap pemimpin yang mengimani keharusan perjuangan, bangkit dan melakukan perlawanan bagi beliau bukan sebuah pilihan yang bebas. Namun, beliau harus tunduk pada segala situasi dan kondisi yang tengah berkembang, termasuk dalam mengambil pola peperangan yang harus beliau hadapi.

Situasi dan kondisi tersebut adalah sebuah keadaan yang telah didominasi oleh segenap syarat kekuatan dan kelemahan musuh, kemudian dilakukan usaha untuk dapat menentukan sikap yang harus diambil. Oleh karenanya, kita tidak dapat memahami dengan benar cara yang dipilih Imam Husein as di memperjuangkan revolusinya kecuali setelah kita memahami ihwal kondisi umum dan khusus yang beliau hadapi, serta faktor-faktor yang mengharuskan beliau memilih cara tersebut.

Gerakan Imam Husein as. dimulai pada tahun 60 H, di saat umat sedang menunggu sosok pemimpin yang akan mengemban tugas kepemimpinan serta meneruskan revolusi yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdullah saww, dimana panji-panjinya mulai runtuh lantaran serangan dan pukulan Bani Umayyah serta kroni-kroninya.

Dari sinilah kita dapat memahami bahwa masa Imam Husein as. adalah masa yang begitu sulit, sedemikian mencekik, karena memang sebuah masa yang akan menjadi tonggak sejarah. Beliau telah melihat apa yang terjadi di sekitar beliau serta kondisi yang meliputi beliau, maka beliau menyadiri dirinya akan sebuah tanggung jawab melindungi revolusi yang telah kehilangan asas-asasnya dan runtuh benteng terakhir serta nilai-nilai misinya. Bahkan, tidak lagi tersisa -sejak wafatnya sang kakek dan sang ayah sebagai wajah Islam, kebenaran dan keadilan- satu pedang atau satu orang pun.

Kondisi sosial-politik umat pada awal-awal tahun 60 adalah sebagai berikut; bahwa telah berlangsung beberapa tahun, dimana Bani Umayyah merongrong Revolusi Islam dan pondasi sosialnya serta berusaha menumbangkan para pemimpinnya, satu persatu. Di sisi lain, orang-orang Quraisy memanfaatkan segala hasil dan berkah Revolusi tersebut untuk kepentingan pribadi mereka. Sedangkan para pejuang Revolusi dan para generasi penerusnya yang pernah mengenyam pendidikan langsung Rasulullah berada di ambang keruntuhan pusat kekuatan Revolusi tersebut.
Mereka dapat terpecah ke dalam tiga kelompok:

Pertama, mereka yang tidak dapat tinggal diam dengan sabar melihat nilai-nilai Islam yang agung diinjak-injak dan dihinakan. Untuk itu, mereka bangkit, menegakkan sholat, berperang, dll. Di dalam kelompok ini kita temukan Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Haitsam, Hijr bin ‘Adiy, dll yang telah memilih jalan untuk dapat meneguk cawan syahadah. Mereka adalah orang-orang unggul kelompok pertama ini.

Kedua, mereka yang menganggap bahwa jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang, bahwa jihad bukanlah satu-satunya pintu surga. Menurut mereka, banyak jalan lain yang lebih mudah dan lebih aman yang dapat ditempuh untuk mencapai surga, yaitu hidup dengan zuhud, ibadah dan menyendiri dari keramaian khalayak. kelompok ini dipelopori oleh Ibnu Umar atau Abdullah bin Umar. Ironisnya, lahirnya kelompok ini diprakarsai oleh segolongan sahabat yang pernah mendapat didikan langsung Rasulullah saw dan memahami makna jihad serta perjuangan dan pengorbanan dalam rangka membela dan mempertahankan kebenaran. Sungguh mengherankan. Mereka mengisi kehidupan mereka di masa-masa yang sulit –yang menuntut adanya orang-orang yang meneriakkan suara mereka demi keadilan- dengan menghindari medan pertempuran antara hak dan bathil. Mereka lebih mengkonsentrasikan jiwa dan pikirannya di sudut-sudut masjid dan rumah-rumah kosong. Mereka mengira dirinya telah mengorbankan pribadi-pribadi pilihan menjadi pahlawan kebenaran dalam rangka kebaikan penguasa dan mereka yang menginginkan untuk kembali pada suasana sebelum Islam. Apalagi di saat itu banyak dari kalangan umat yang berada di bawah tarian cambuk Bani Umayyah, menunggu sikap yang tegas dari mereka yang dapat melawan berbagai penyimpangan dan kedzaliman. Kelompok kedua ini sesungguhnya telah mementingkan keselamatan diri sendiri ketimbang peduli pada arti pengorbanan dan jihad.

Ketiga, mereka yang pernah mengantongi curicullum vitae yang gemilang dan seabrek prestasi serta kemuliaan jihad bersama Rasulullah di sejumlah peperangan seperti; Badar, Uhud dan Hunain. Mereka pernah mendapatkan kemuliaan berkorban di Madinah, kota Hijrah dan Jihad. Sialnya, mereka sendiri yang telah menjual kecemerlangan kemarin dengan kekerdilan, kehinaan dan kesenangan sementara di ‘istana hijau’ Muawiyah. Mereka memungut harta dan melakukan praktek busuk suap-menyuap. Mereka tak segan-segan lagi menempuh cara-cara yang dilakukan Abu Hurairah, yakni memproduksi hadis dalam rangka memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Keluarga Rasul, Revolusi Rasul dan nilai-nilai Rasul saww. Selanjutnya saya akan mengajak Anda menganalisa lebih dalam kelompok ke dua dan ke tiga ini. Segera akan kita lihat analisa kita berujung pada pengecaman terhadap mereka.

Pada kelompok kedua yang meninggalkan perjuangan serta lari mendekam di tempat-tempat ibadah di saat-saat yang sulit seperti ini, sesungguhnya tangan mereka berlumuran darah suci. Cairan merah kental yang menetes dari tangan mereka adalah darah-darah suci para pahlawan yang syahid. Para syahid Karbala itu adalah para pahlawan ini. Hal itu karena setiap orang atau setiap pribadi mukmin yang memahami tanggung jawabnya dengan baik serta punya kemampuan untuk mengambil sikap, namun membiarkan kebenaran dikorbankan di bawah kebatilan serta meninggalkan perjuangan serta meluluhkan keteguhan kepercayaannya yang hakiki pada jihad serta perjuangan, pada sadarnya mereka telah mengorbankan kehidupan para pahlawan yang berkorban di di medan pertempuran itu demi kenyamanan penguasa yang dzalim.

Adapun kelimpok ketiga, mereka itu kelompok yang lebih kerdil, busuk dan lebih berbahaya. Bagaiamana tidak? Merekalah yang mendagangsapikan nilai-nilai Rasulullah dan kemulian amanah beliau dengan segerincing receh dirham yang bisa dibilang. Mereka telah menukar kemuliaan dengan kehinaan. Mereka adalah segolongan sahabat Rasul yang pernah berjuang bersama beliau.

Apa yang dapat Anda katakan jika sahabat seperti Abu Hurairah yang menimba ilmu dan hadis yang begitu banyak dari Rasulullah, kemudian meratifikasi hadis suci hanya untuk membela kepentingan Muawiyah. Bahkan, dia pula yang mengusahakan desakan cinta Yazid yang terkenal itu pada istri Abdullah bin Salam?

Orang-orang seperti mereka adalah generasi pascarevolusi Islam, generasi kedua yang mayoritas mereka relatif muda. Mereka tidak pernah melihat kegemilangan Islam di masa-masa awal revolusi. Sepatutnya, mereka mendengar riwayat kebesaran Islam dari mulut generasi sebelumnya yang berada di dalamnya dan menyaksikan langsung. Justru sebaliknya, yang mereka dapatkan adalah tersungkurnya para tokoh revolusi ini, satu persatu jatuh ke jurang kehinaan dan keterpurukan! Kekecewaan apakah, kepahitan yang mana, dan kehancuran yang bagaimana yang akan mereka rasakan di hadapan cita-cita besar yang disebut ‘Islam’, sementara mereka melihat riwayat hitam jajaran elit Islam yang lahir di dalam masyarakat madani Rasulullah dan revolusinya.
Kebangkitan Hijir Bin Adiy

Namun, harapan belumlah pupus! Kabar-kabar gembira revolusi lahir dari rahim generasi ini sendiri! Yaitu pergerakan. Meskipun belum sempurna syarat-syarat kematangan mereka, namun melalui sosok seorang pemimpin yang bernama Hijir Bin Adiy, atmosfir politik dan sosial revolusi Al-Husein telah mulai menyelimuti Kufah setelah gugurnya para pahlawan mereka di Karbala.

Oleh karena itu, di dalam barisan generasi ke dua ini terdapat gerakan yang dibicarakan dari mulut ke mulut, di lorong-lorong Kufah. Hijir bin Adiy-lah yang menjadi pelopor gerakan ini. Ia adalah seorang sahabat mulia. Ia sempat bertemu Nabi saww. Ktika masih kanak-kanak. Ia ikut berperang bersama Imam Ali pada usia yang relatif muda. Pada zaman Imam Hasan, ia menunjukkan kematangannya sebagai seorang politikus yang cerdas, yang mengalirkan ide-ide cemerlang dan kesadaran yang dalam akan tanggung jawabnya. Pada awalnya, ia “menyalahkan” keputusan Imam Hasan yang telah menAndatangani perdamaian dengan Muawiyah. Tidak lama setelah itu, Imam Hasan berhasil memuaskannya dan membuatnya puas untuk menerima akan kebenaran apa yang beliau lakukan menghadapi kebusukan Muawiyah.

Hijir adalah seorang yang kuat pendiriannya. Dia tidak pernah membiarkan kedzaliman dibangkitkan. Ia tidak pernah mengatakan “Ya” demi kehinaan dan politik kotor. Tidak mudah menerima logika taqiyyah dan gerakan “bawah tanah” yang digagas oleh Imam Hasan as. Pada saat yang sama, Hijir tidak siap hidup secara terhina dan menyaksikan wabah kedzaliman, dominasi kejahatan, kediktatoran, kebebasan nafsu di segala bidang, pemerkosaan hak, sikap masabodoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang telah dihasilkan oleh revolusi Islam.

Maka itu, sewaktu Hijir bangkit untuk menyatakan perlawanan terhadap rezim Bani Umayyah di Irak, dan dengan cepat meluas ke seluruh penjuru negeri itu, segera dia arahkan laras dan ledakan revolusi tepat di jantung kejahatan mereka yang telah mencekik seluruh nilai kebebasan dan keadilan. Namun apa boleh dikata, revolusi Hijir tidak mencatat kemenangan sebagaimana ia mencatat syahadah para pahlawannya. Sebab, tidak lama kemudian Hijir gugur meneguk cawam syahadah setelah rezim Bani Umayyah mengeluarkan fatwa palsu. Akibatnya, fatwa itulah yang menyeret Hijir ke dalam acara pemenggalan kepalanya dan kepala-kepala para sahabatnya di kota Marj Adzra’ dekat Damasykus. Hukuman itu mereka terima dalam rangka membayar komitmen mereka pada nilai-nilai Ali, ajaran-ajarannya serta butir-butir pendidikan madrasahnya.