Allamah Thabarsi, Hidup Lagi Setelah Mati
  • Judul: Allamah Thabarsi, Hidup Lagi Setelah Mati
  • sang penulis:
  • Sumber: Shabestan
  • Tanggal Rilis: 0:21:25 2-9-1403

Ia lahir pada tahun 469 H. Ayahnya, Hasan bin Fadhl Thabarsi memberinya nama Fadhl. Fadhl bin Hasan bin Fadhl Thabarsi melalui masa kanak-kanak dan masa sekolah di sisi Imam Ali bin Musa Ridha as di kota suci Masyhad.
Setelah menguasai baca tulis dan membaca al-Quran, Fadhl mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu pengetahuan Islam di bawah asuhan para ulama besar. Ia sangat berusaha keras untuk mempelajari sastra Arab, tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Akhirnya, ia pun menjadi ahli dalam setiap bidang ilmu pengetahuan Islam ini. Sekalipun kala itu beberapa bidang ilmu pengetahuan seperti matematika dan aljabar sangat jarang diminati, tetapi ia berusaha untuk mempelajari seluruh bidang ini dan menguasainya.

Banyak guru yang telah membimbing Fadhl bin Hasan Thabarsi dalam bidang pengetahuan dan sipiritual. Mereka antara lain adalah Abu Ali Thusi putra Syaikh Thusi, Ja’far bin Muhammad Darvisti, Abduljabbar Muqirri Naisyaburi, Imam Muwaffaquddin Husain Waʻizh Bekrabadi Jurjani, Sayid Muhammad Qashbi Jurjani, Abdullah Qusyairi, Abul Hasan Ubaidillah Muhammad Baihaqi, Sayid Mahdi Husaini Qa’ini, Syamsul Islam Hasan bin Babawaeh Qomi Razi, Muwaffaq Arif Nouqani, dan Tajul Qurra’ Kermani.

Hijrah Penuh Berkah

Aminul Islam Thabarsi berdomisili di kota Masyhad sekitar selama 54 tahun. Tetapi, lantaran undangan para ulama kota Sabzavar, dan menilik banyak lahan untuk mengajar, menulis buku, dan memasyarakatkan agama, ia pindah ke kota ini pada tahun 523 H. Para keturunan Rasulullah saw dari kabilah Al Zebareh yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syaikh Thabarsi menjadi tuan rumah baginya dan banyak memberikan bantuan yang diperlukan.

Langkah pertama Syaikh Thabarsi adalah menerima penobatan sebagai penanggung jawab madrasah Farvazeh-ye Iraq. Lantaran usaha kerasnya, madrasah ini menjadi sebuah hauzah ilmiah besar. Kekayaan budaya dan ilmu hauzah ini menyebabkan banyak orang tertarik untuk menimba ilmu agama dan datang dari daerah-daerah terpencil di seluruh Iran. Para pelajar muda pun banyak menimba ilmu fiqih dan tafsir dari Aminul Islam Thabarsi.

Murid-murid Syaikh Thabarsi yang telah berhasil menjadi kutub ilmu pengetahuan adalah Radhiyuddin Hasan Thabarsi putra Syaikh Thabarsi, Quthbuddin Rawandi, Muhammad bin Ali bin Syahrasyub, Dhiya’uddin Fadhlullah Hasani Rawandi, Syaikh Muntakhabuddin Qomi, Syadzan bin Jabril Qomi, Abdullah bin Ja’far Darvisti, Sayid Syaraf Syah Husaini Afthasi Nisyaburi, dan Burhanuddin Qazwini Hamadani.

Karya Tulis

Dalam usia yang relatif pendek, Aminul Islam Thabarsi memiliki banyak karya tulis yang bisa dimanfaatkan oleh setiap orang yang menginginkan informasi tentang ilmu pengetahuan Islam. Di antara karya-karya tulisnya adalah al-Adab al-Diniyah li al-Khazanah al-Mu’iniyah, Asraz al-Imamah, I’lam al-Wara bin A’lam al-Huda, Taj al-Mawalid, Jawami’ al-Jami’, al-Jawahir, Haqa’iq al-Umur, ‘Uddat al-Safar wa ‘Umdat al-Hadhar, al-‘Umdah fi Ushul al-Din wa al-Fara’idh wa al-Nawafil, Majma’ al-Bayan, Misykat al-Anwar fi al-Akhbar, Ma’arij al-Su’al, dan lain-lain.

Imam Mufasirin

Semangat untuk berkhidmat kepada al-Quran telah terbentuk dalam benak Aminul Islam Thabarsi dari sejak ia masih muda. Seluruh kehidupannya berbaur dengan kitab Ilahi ini. Menghidupkan pengetahuan mukjizat yang tak tertandingi ini dan menulis tafsir adalah salah satu cita-cita utama Thabarsi. Dan Allah pun memberikan kesempatan dan taufik kepadanya untuk mewujudkan cita-citanya ini. setelah berusia lebih dari 60 tahun dan seluruh rambutnya telah memutih, ia berhasil menulis tiga buah tafsir dengan metode yang berbeda-beda. Hingga masa kini, pandangan-pandangan tafsir Syaikh Thabarsi masih dimanfaatkan oleh para penyelam lautan tafsir al-Quran.

Pada suatu hari, Syaikh Thabarsi terkena serangan jantung dan seluruh keluarga yakin bahwa ia telah meninggal dunia dan lantas menguburkannya. Setelah berlalu beberapa masa, ia sadarkan diri dan tahu berada di dalam kubur. Ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari dalam kubur itu. Ketika itu, ia bernazar apabila Allah menyelamatkannya dari kubur itu, maka ia akan menulis sebuah buku tafsir al-Quran.

Pada malam itu, seorang pencuri kafan menggali kubur Syaikh Thabarsi untuk mencuri kafannya. Setelah kubur terbuka, ia mulai membuka kafan Syiakh Thabarsi. Pada saat itu seketika Syaikh Thabarsi memegang tangan pencuri kafan. Sekujur tubuh pencuri kafan pun gemetar lantaran takut. Syaikh Thabarsi berbicara dengannya. Tetapi rasa takut pencuri kafan itu malah bertambah parah. Dengan tujuan menenangkan pencuri kafan, Syaikh Thabarsi menceritakan peristiwa yang telah terjadi dan setelah itu ia berdiri. Pencuri kafan pun menjadi tenang. Dengan permintaan Syaikh Thabarsi yang saat itu tidak bisa bergerak, pencuri kafan mengantarkannya sampai di rumah dengan memanggulnya.

Sebagai rasa terima kasih kepada pencuri kafan itu, Syaikh Thabarsi memberikan kafan dan banyak uang kepadanya. Melihat peristiwa yang ada, pencuri kafan pun bertobat. Setelah peristiwa ini, Syaikh Thabarsi memenuhi nazarnya dan menulis kitab tafsir Majma’ al-Bayan.

Syaikh Thabarsi menulis buku tafsir ini dalam waktu 7 tahun dan dengan cara menyadur buku tafsir al-Tibyan karya Syaikh Thusi.

Setelah 89 tahun menjalani kehidupan duniawi ini, akhirnya Syaikh Thabarsi meninggal dunia pada 9 Dzulhijjah 549 H pada malam hari raya Idul Adha di kota Sabzavar. Jenazah Aminul Islam dipindahkan dari kota ini ke kota Masyhad dan akhirnya dikuburkan di dekat makam suci Imam Ridha as di sebuah tempat bernama Qatlgah.