Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah abad keempat Hijriyah. Para fuqaha dan ulama mengenalnya sebagai Syeikh Shaduq dan Rais al-Muhadditsin, karena ia sangat menguasai hadis dan sanadnya serta melakukan upaya maksimal untuk mengumpulkan dan membukukan hadis.
Syeikh Shaduq bukan hanya seorang muhaddits, tapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti fiqih, ilmu kalam, dan tafsir. Meski namanya selalu melekat dengan karya besarnya Man La Yahdhuruhu al-Faqih, namun ia juga telah melahirkan lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, hadis, dan kalam.
Ulama besar ini telah meninggalkan karya besar lainnya seperti al-‘Itiqadat dan Ibthal al-Ghulu wa al-Taqshir yang membahas persoalan teologi, membuktikan kebenaran akidah Syiah, dan menolak akidah batil. Diskusi dan perdebatan ilmiah Syeikh Shaduq dengan para tokoh mazhab lain telah memperlihatkan kehebatannya dalam ilmu kalam.
Banyak ulama memandang Syeikh Shaduq sebagai teolog besar yang juga menukil untuk memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan umat. Ia bahkan berusaha menjawab pertanyaan seputar konsep Mahdiisme lewat hadis-hadis seperti yang termaktub dalam kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah.
Dalam pembukaan kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah, Syeikh Shaduq menulis, “Saya menyaksikan menjamurnya syubhat (kesamaran/ketidakjelasan) tentang Imam Mahdi as dan saya ingin menjawab syubhat-syubhat ini.”
Syeikh Shaduq menjawab syubhat ini lewat berbagai hadis. Jadi dalam buku-buku yang terlihat hanya untuk menukil dan mengumpulkan hadis, ia menyelipkan kajian teologi yaitu memberikan argumentasi akal dan tekstual untuk membuktikan kebenaran, menjawab syubhat, dan menjelaskan pandangan-pandangannya.
Metode seperti ini juga digunakan Syeikh Shaduq dalam kajian fiqih. Dengan memperhatikan metode-metode fiqih, ia mengumpulkan hadis yang sahih dari segi sanad dan kandungan dalam kitab-kitabnya. Ketika memberikan fatwa, Syeikh Shaduq lebih memilih menggunakan bahasa yang dipakai oleh teks hadis ketimbang memakai istilahnya sendiri.
Metode seperti ini cukup populer di kalangan para ulama masa itu. Namun metode ini tidak berarti bahwa Syeikh Shaduq hanya seorang muhaddist, tentu ia juga seorang ulama yang menjelaskan pandangan-pandangan ijtihadnya dengan baik. Oleh karena itu, kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih yang menjadi salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah juga memuat fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh tokoh besar ini.
Maktab fikih Syeikh Shaduq dikenal sebagai maktab ahli hadis. Namun ada banyak perbedaan antara maktab ahli hadis di kalangan Sunni dan Syiah dan keduanya benar-benar berbeda. Karena ahli hadis Syiah – berbeda dengan ahli hadis Sunni – memandang ijtihad dalam persoalan fiqih sebagai sebuah keharusan.
Dalam pandangan ahli hadis Syiah, ijtihad berarti mengeluarkan hukum yang lebih spesifik dari kaidah-kaidah umum yang diterangkan oleh hadis atau mengutamakan sebuah hadis atas hadis lain jika terjadi pertentangan antara teks-teks hadis yang ada. Model ijtihad seperti ini memberikan kelenturan dan keseimbangan dalam maktab fiqih ahli hadis Syiah. Namun ahli hadis Sunni hanya memegang tekstual hadis dan menolak segala bentuk ijtihad.
Sepeninggal Syeikh Shaduq, muridnya Syeikh Mufid meletakkan sebuah metode baru dalam ijtihad yang telah memberikan kelenturan khusus dan dinamika kepada fiqih Syiah.
Salah satu ciri khas Syeikh Shaduq adalah upayanya yang tulus untuk mendekatkan mazhab-mazbah dalam Islam dan menghilangkan kesalahpahaman satu sama lain.
Meskipun ia melakukan upaya tak kenal lelah untuk membela keyakinan Syiah, melakukan banyak perdebatan ilmiah, dan menulis banyak buku, namun tetap ia melakukan semua tugas ini dengan bijaksana, jauh dari kontroversial, dan tidak mengkafirkan pihak lain yang dapat memicu kemarahan mereka.
Syeikh Shaduq selain berguru kepada para ulama Syiah, ia juga menimba ilmu dari para ulama Sunni, dan muridnya terdiri dari pengikut berbagai mazhab dalam Islam. Sebagai contoh, Syeikh Shaduq mengenai alasannya menulis kitab al-Tauhid menerangkan, ”Kaum Mu’tazilah menuduh kami sebagai kelompok Jabariyah. Saya kemudian menulis kitab ini untuk menjelaskan bahwa kita tidak memiliki perbedaan, kita sama-sama mengakui masalah ikhtiar, kebebasan, dan tauhid.”
Syeikh Shaduq sangat menghormati pengikut mazhab-mazhab lain di samping memberikan kritikan ilmiah dan rasional terhadap sebagian akidah mereka. Sikap ini membuatnya sangat dihormati di kalangan para ulama dari semua mazhab. Sikap mulia ini dapat menjadi pelajaran dan keteladanan bagi kita semua.
Setelah melakukan upaya tak kenal lelah untuk menjaga dan menjelaskan pengetahuan Islam, ulama besar Syiah ini akhirnya meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah dan dimakamkan di kota Rey, Iran.
Sejarah mencatat sebuah peristiwa yang penuh ibrah setelah 800 tahun dari wafatnya Syeikh Shaduq. Pada masa kekuasaan Fath-Ali Shah Qajar di Iran, hujan lebat dan banjir membuat makam Syeikh Shaduq di kota Rey rusak dan liang lahatnya terbuka. Ketika masyarakat melakukan perbaikan, mereka menyaksikan jasad Syeikh Shaduq masih utuh dan seakan baru saja dimakamkan.
Peristiwa langkah ini turut disaksikan oleh 20 ulama pada masa itu termasuk Mirza Abul Hasan Jilwah, Ayatullah Mulla Muhammad Rastamabadi, dan Hajj Sayid Mahmoud Mar’asyi (Ayah dari Ayatullah Mar’asyi Najafi).
Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Fath-Ali Shah Qajar, ia segera menuju ke kota Rey dan langsung memerintahkan pemugaran makam Syeikh Shaduq yang dilengkapi dengan kubah.
Makam Syeikh Shaduq sampai sekarang selalu dipenuhi oleh para peziarah yang datang untuk memberikan penghormatan kepada ulama besar ini.