Buya Hamka, begitulah nama pena seorang yang masyhur berdarah Sumatra Barat. Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. “Buya” gelar yang disematkan pada pangkal namanya itu merupakan panggilan khas untuk menyebut kiai di Minangkabau.
Beliau mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian ayahnya yang terkenal sebagai ulama pelopor gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama gerakan pembaruan yang membawa reformasi Islam (kaum muda). Buya Hamka anak sulung dari Dr Abdul Karim Amrullah dan Shafiyyah.
Tak ubahnya tokoh terkemuka di Nusantara yang memiliki banyak karya, Buya Hamka memiliki karya dari berbagai disiplin ilmu; agama, sastra, filsafat, tasawuf, politik, sejarah, dan kebudayaan hingga tafsir Alquran.
Penanya melahirkan karya-karya yang mengabadikan namanya, meskipun zaman telah memasuki fase baru dari zamannya, karyanya masih hangat untuk dibuka dan dikaji mulai dari sejarah Islam.
Di antara karyanya “Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq)”, tasawuf yang terkenal dengan “Tashawuf Modern”, kenegaraan seperti tulisan beliau “Negara Islam”, Islam dan Demokrasi, dan kearifan lokal seperti adat Minangkabau menghadapi revolusi. Karya Buya Hamka di bidang tafsir adalah Tafsir Al-Azhar yang hingga saat ini masih hangat dikaji dan boleh dikatakan karya beliau di bidang tafsir tersebut merupakan karya beliau yang paling fenomenal.
Selain tulisannya di bidang keagamaan, Buya Hamka juga menghiasi karya Nusantara di bidang sastra, kata Buya Hamka siapa yang tidak tahu karya Buya Hamka “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang ditulis pada 1936, “Tenggelamnya Kapal van Der Wijck” tahun 1937, dan masih banyak karya beliau yang berkontribusi di bidang sastra, bahkan beberapa karya beliau tersebut pernah difilmkan pada abad ke-21.
Dalam buku-buku beliau tak sedikit kita jumpai rangkaian kata-kata yang sarat dengan keindahan. Buya Hamka berkata, “Alangkah murahnya nilai hidup ini kalau hanya semata-mata terbatas pada kebendaan. Apalah harganya manusia ini kalau pikirannya hanya tertuju kepada nasi dan gulai, roti dan garam. Tak pernah matanya singgah kepada bunga yang yang sedang mekar atau bintang berkelip di halaman langit. Alangkah kersangnya hidup kalau kerja petang pagi, siang malam, hanya menghitung membilang, membagi, membuat kali-kali. Memperinci ilmu pasti pada alam, tetapi tak meresapkan keindahan yang ada dalam alam”.
Tentang nasionalisme Buya Hamka jangan ditanyakan lagi, bahkan Buya Hamka mengambil andil dalam perjuangan menghalau penjajah Belanda, ia dipercaya menjadi ketua Front pertahanan Nasional (FPN). Dalam biografinya dituliskan bahwa Hamka juga menyodorkan minat baru yaitu politik praktis.
Ia menjadi anggota partai Islam Masyumi. Meskipun sebelumya, rasa tak pantas duduk di kursi pemerintahan pernah hinggap pada dirinya, rasa itu ditepisnya dengan sebuah untaian kalimat “Janganlah takut pada politik, jika tidak mau ditelannya”, begitulah kutipan Buya Hamka sebagai pembenaran tindakannya itu.
Pada 2011 Buya Hamka mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional dari permerintah RI. Sebagaimana kesaksian Prof. Azumardi Azra pada tasyakuran pahlawan nasional bahwa Buya Hamka merupakan seoarang pahlawan nasional yang penuh dengan integritas.
"Hal ini tentunya selaras dengan kata buya Hamka yang banyak ditemukan di sosial media “Kemunduran negara tidak akan terjadi kalau tidak kemunduran budi dan kekusutan jiwa”.
Dari beliau kita belajar tentang kemanfaatan hidup. Satu kutipan dari beliau yang menggelitik hati menggugah jiwa “Kalau hidup sekadar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja”. Dari Buya Hamka juga kita belajar tentang hidup dengan penuh totalitas.
Buya Hamka tidak saja berbicara melalui pena maupun lisannya, tapi memberikan suri tauldan dengan prilaku-prilakunya. Itulah sosok Buya Hamka selain sebagai seorang satrawan, negarawan, bahkan beliau juga ulamawan.