Abul Fadhl: Ksatria Karbala
Ketika kita menatap puncak tertinggi iman, keberanian, dan kesetiaan, maka mata kita pun akan menatap wajah agung bernama Abbas, putra Ali bin Abi Thalib. Ia merupakan tokoh utama sejarah dalam keutamaan, kesempurnaan, dan kepahlawanan. Ia menjadi teladan dan guru bagi para pecinta kebenaran, pembela keadilan, dan pejuang kebebasan. Sejatinya, generasi umat manusia saat ini banyak berhutang budi pada jasa dan perjuangan tokoh-tokoh mulia, layaknya, Abul Fadhl Abbas.
Kini, kendati peristiwa tragedi Karbala telah berlalu lebih dari 13 abad, namun hingga sekarang, sejarah masih terhiasi dengan aksi kepahlawanan Abbas bin Ali. Wajah kepahlawanan dan kesetiaan ksatria Karbala itu masih terus bersinar di hati setiap para pemuda yang haus akan kebenaran.
Bila kita kembali melihat para tokoh besar sejarah, di sana kita akan temukan sosok agung Abul Fadhl. Ia hadir laksana pelita yang menerangi langkah generasi selanjutnya. Dan dari jauh ia mengajak seluruh umat manusia menuju kemuliaan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ia adalah teladan dalam keberanian, kepahlawanan, ibadah, dan makrifat.
Fatimah Kalabiyah adalah istri Imam Ali as setelah Sayyidah Fatimah Az-Zahra wafat. Ia adalah perempuan mulia yang sangat mencintai keluarga Rasulullah saw. Rasa cinta dan kasih sayangnya yang begitu tinggi terhadap Ahlul Bait Nabi as tak lain merupakan bentuk pengamalan beliau terhadap perintah Al-Quran. Allah swt dalam surat Al-Syura ayat 23, berfirman: Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
Setelah wafatnya Sayyidah Az-Zahra, Fatimah Kalabiyah menjadi ibu bagi Hasan, Husein, Zainab, dan Ummi Kultsum. Di mata Ahlul Bait as, sosok Fatimah Kalabiyah merupakan seorang perempuan yang sangat dihormati dan dimuliakan. Sayyidah Zainab as kerap mengunjungi rumahnya dan senantiasa berbagi suka dan duka dengan beliau.
Abbas bin Ali yang dikenal dengan sebutan Abul Fadhl adalah putra dari perempuan mulia itu. Lantaran ibu beliau, Fatimah Kalabiyah memiliki empat putra, maka ia mendapat julukan Ummul Banin, Ibu Anak-anak Lelaki. Abbas adalah anak pertama Ummul Banin. Ia dilahirkan di kota Madinah pada 4 Syaban 26 H. Kelahiranyya telah menambah terang cahaya rumah Amirul Mu'minin as. Wajah Abbas begitu rupawan dan bercahaya, bagaikan sinar rembulan. Karena itu, ia pun dijuluki, Qamar Bani Hasyim, Rembulan Bani Hasyim.
Darah yang mengalir di tubuh Abbas, merupakan darah mulia dan suci Imam Ali as. Sejak kecil ia dibesarkan di bawah cahaya pemikiran dan kebijaksanaan ayah beliau, yang tak lain adalah Ali bin Abi Thalib. Karena itu, karakter dan kepribadiaan Abbas sangat dipengaruhi oleh didikan ayahnya.
Imam Ali as tidak hanya mengajari Abbas tentang ilmu pengetahuan dan makrifat Islam tapi juga mengajarinya dengan pelbagai keterampilan, seperti pertanian, teknik penguasaan jasmani dan ruhani, seni memanah dan bermain pedang. Karena itu, selain bertani, Abbas juga mengajar dan membimbing umat dengan pengetahuan yang ia peroleh dari ayah dan saudara-saudara beliau. Ia juga sebagaimana ayahnya, senantiasa datang membantu kaum papa. Karena itulah ia dikenal sangat penyayang, begitu setia, jujur dan bersih.
Salah satu kekhasan kepribadian Abbas adalah perilakunya yang selalu mencerminkan aklak yang mulia. Kepada putranya Imam Ali as pernah berpesan: "Wahai anakku, adab dan akhlak akan memperkaya akal dan menghidupkan hati, dan merupakan puncak keutamaan dan nilai-nilai luhur".
Abul Fadhl adalah teladan ahklak yang mulia. Setelah syahidnya ayah beliau, seluruh daya dan upayanya ia baktikan untuk mendukung perjuangan saudara-saudara beliau, Imam Hasan as dan Imam Husein as. Ia selalu menaruh hormat dan senantiasa setia kepada mereka.
Keberanian Abul Fadhl dalam pelbagai peristiwa senantiasa mengingatkan siapaun yang memandangnya terhadap kepahlawanan Imam Ali as. Sejak masa mudanya, ia senantiasa mendampingi ayah beliau dalam pelbagai pasang-surutnya kehidupan. Saat perang Karbala di hari Asyura berkecamuk, ia berjuang bersama Imam Husein dan menjadi pemegang bendera pasukan. Di hadapan anggota keluarganya yang lain, Abbas berkata, "Hari ini adalah hari di mana aku harus memilih surga dan mengorbankan jiwaku demi pemimpin dan imamku. Wahai saudara-saudaraku, jangan kalian sangka Husein adalah saudara kita dan kita adalah anak-anak dari satu ayah. Jangan! Jangan demikian! Beliau adalah imam kita dan hujjah Allah di muka bumi, putra Fatimah dan cahaya mata Rasulullah saw".
Ketika tragedi Karbala berkecamuk, saat Imam Husein dan keluarga nabi lainnya didera oleh dahaga, dengan gagah beraninya, Abbas bin Ali menerobos kepungan tentara musuh yang berusaha menghalangi pasukan Imam Husein memperoleh air dari sungai Furat. Setibanya di bibir sungai, ia menatap segarnya air sungai. Meski dahaga telah mencekiknya, namun ia mengurungkan niatnya untuk meneguk air lantaran teringat oleh wajah kehausan Imam Husein, saudara-saudara, dan sanak familinya yang lain. Ia pun segera mengisi kantong persediaan airnya dengan air sungai dan memacu kudanya kembali menuju perkemahan pasukan Imam Husein. Namun di tengah jalan ia menjadi sasaran serbuan musuh, hingga kedua tanggannya terpenggal dan gugur syahid.
Saat Abbas terjatuh dari kudanya, Imam Husein as dengan hati penuh duka, segera mendekatinya dan memeluk kepalanya, seraya berkata, "Wahai saudaraku, semoga Allah swt memberimu ganjaran yang terbaik atas jihadmu yang sedemikian sempurnanya".
Imam Shadiq as kepada salah seorang sahabatnya yang bernama Abu Hamzah Tsumali, menuturkan ungkapan yang begitu indah tentang keberanian dan pengorbanan Abbas bin Ali, ia berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau (Abbas bin Ali) telah melaksanakan tugas nasehat dan amar bil-ma'ruf dengan sempurna, dan engkau telah menjalankan hal itu dengan seluruh kemampuanmu. Aku bersaksi bahwa engkau tidak pernah membiarkan rasa lemah, takut, dan ragu-ragu menguasai dirimu, dan engkau memilih jalanmu hanya berdasarkan kesadaran dan pandangan hati. Engkau mengikuti jejak orang-orang saleh dan para nabi".
Keberanian dan pengorbanan Abbas bin Ali ini menjadi contoh nyata ucapan Imam Ali yang menyatakan, "Orang beriman yang paling mulia adalah dia yang lebih utama ketimbang orang beriman lainnya dalam mengorbankan jiwa, keluarga, dan hartanya untuk orang lain."
Pengorbanan Abbas bin Ali lahir dari makrifat dan pengetahuan mendalamnya terhadap agama dan cita-cita ilahi. Pengetahuan yang mendalam itu membentuk pribadinya sehingga mendorong beliau untuk rela berkorban di jalan Allah. Ia belajar dari ayahnya, Imam Ali as, bahwa hidup harus bertujuan. Karena itu alangkah mulianya jika hidup manusia dibaktikan di jalan ilahi, dalam menyebarkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan dan memerangi kemungkaran dan ketidakadilan.
Para ulama dan muhaddis besar saat memuji keutamaan Abbas bin Ali menyatakan, "Dia bagaikan lautan yang berombak indah, dengan pantai yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan". Semoga Allah swt menyambungkan jiwa dan hati kita pada segala sumber kesempurnaan dan kesucian.