Pada kesempatan kali ini kami akan mengenalkan salah satu ulama besar Syiah lainnya yang memiliki kontribusi besar bagi umat Islam, Sayid Abdullah Allawi Husseini Mousavi.
Sayid Abdullah salah satu ulama besar Syiah di abad ke-13 H dan pakar hadis dan pakar tafsir al-Quran. Ia dikenal dengan nama Shubbar.
Sayid Abdullah Shubbar dari keturunan Imam keempat Syiah, Ali bin Hussein as dan dilahirkan di kota Najaf pada tahun 1188 H. Ayahnya bernama Mohammad Ridha Shubbar, salah satu ulama terkenal kota Najaf dan warga menjulukinya dengan sebutan Sahib al-Da'wa al-Mustajabah yang berarti doanya mustajab dan dikabulkan.
Kisah tentang doa Mohammad Ridha Shubbar yang mustajab ini terjadi saat kekeringan melanda Baghdad di zaman Utsmaniyah (Ottoman). Saat itu, Said Pasha, agen pemerintah Ottoman di Baghdad meminta masyarakat berpuasa tiga hari dan mengikuti shalat meminta hujan (Istisqa) di padang pasir di luar kota. Masyarakat pun mengikuti perintah ini dan bersama Said Pasha hadir di padang pasir yang kering dan menunaikan shalat istisqa. Tapi hari itu dan hari setelahnya, hujan tidak juga turun, sementara masyarakat bersedih dan khawatir.
Sayid Mohammad Ridha yang menyaksikan kondisi seperti ini, kali ini ia menunaikan shalat istisqa dan meminta warga Kadhimain untuk berpuasa tiga hari dan bersama dirinya menunaikan shalat istisqa di luar kota. Masyarakat berpuasa tiga hari dan kali menunaikan shalat istisqa di bawah bimbingan ulama dan faqih terkenal di kotanya. Bibir Sayid Mohammad Ridha belum juga selesai mengucapkan doa, tiba-tiba mendung berkumpul di langit dan tetesan hujan turun bercampur dengan air mata warga. Peristiwa ini tidak pernah dilupakan dan masyarakat menjuluki keluarga Shubbar sebagai Sahib al-Dakwah al-Mustajabah, serta posisi mereka sangat dihormati masyarakat.
Sayid Abdullah Shubbar tumbuh besar di bawah didikan seorang ayah seperti ini, dan juga belajar kepadanya. Sayid Mohammad Ridha senantiasa mendorong anaknya memanfaatkan waktunya dengan baik, takwa dan menuntut ilmu, serta memberi fasilitas kepada anaknya untuk tujuan ini. Sayid Ridha juga memberi syarat kepada anaknya, jika kamu gagal belajar atau mengajarkannya kepada orang lain, bahkan untuk satu hari, aku tidak rela denganmu atas apa yang aku berikan kepadamu.
Sementara itu, Sayid Abdullah Shubbar berusaha keras mengerjakan ajaran ayahnya tersebut, bahkan jika satu hari ia tidak dapat belajar karena sakit, maka ia tidak menggunakan fasilitas yang diberikan ayahnya. Keseriusannya dalam menuntut ilmu telah membuatnya menjadi seorang ulama mumpuni dan pakar fikih yang diakui semua orang.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 1208 H, Sayid Abdullah menghadiri ceramah dari ulama terkenal Baghdad, Sayid Mohsen Aarji, dan di bawah ajaran ulama saleh itu, ia menjadi ahli hukum yang luar biasa dan terkenal. Pengetahuan, ketakwaan, dan penelitian putra bangsawan keluarga Shubbar begitu mengesankan sehingga para ahli hukum terkemuka seperti Sayid Ali Tabatabaei (penulis Riad al-Masail), Mirza Mohammad Mahdi Shahrashtani, Mirza Abul Qasim Qomi (penulis buku Qawanin al-Usul), Sheikh Asadullah Kazemi dan Sheikh Mohammad Jaafar Najafi, Kashif al-Ghita memujinya sebagai ahli hukum yang layak dan mengizinkannya untuk meriwayatkan hadis. Reputasi ilmu dan pengetahuan Sayid Abdullah Shubbar menyebar ke seluruh Irak dan tidak hanya ulama dan ahli fikih, tetapi juga orang-orang jalanan dan pasar percaya pada kebesarannya. Dengan cara ini, setelah kematian Allamah Kashif al-Ghita, hati orang-orang beriman Irak berbalik ke arahnya, dan Sayuid Abdullah Shubbar mencapai Marjaiyah (marja) pada usia empat puluh tiga tahun.
Ulama saleh Kadhimain ini bukan hanya pemimpin zaman dalam ilmu dan fikih (yurisprudensi), tapi ia juga model moralitas dan kesalehan bagi murid-murid dan pengikutnya. Sikap dan kefasihan Sayidd Abdullah menarik orang-orang di sekitarnya kepadanya. Salah satu muridnya menggambarkan gurunya berkata: "Ketika seorang penonton melihat wajahnya dan mendengar pidatonya yang menghangatkan hati, dia tidak dapat dipisahkan darinya." Sayid Abdullah memberikan perhatian khusus pada doa dan ibadah. Diskusi, pelajaran, dan ibadah tidak mengabaikan urusan umat Islam. Dia memberikan perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, mengunjungi orang sakit dan bekerja keras untuk membebaskan para budak.
Ulama besar Syiah ini di usia 54 tahun telah meninggalkan lebih dari 70 karya fikih dan tafsir al-Quran. Ulama dan mujtahid menyatakan bahwa banyaknya karya tulis Sayid Abdullah hanya dapat dibandingkan dengan Allamah Mohammad Baqir Majlisi. Oleh karena itu, Sayid Shubbar juga dikenal dengan Majlisi Kedua. Kecepatannya dalam menulis risalah dan buku serta ketelitiannya senantiasa membangkitkan rasa takjub dan pujian para ulama. Terkadang hanya dalam waktu beberapa jam atau setengah hari, ia menulis sebuah risalah penting.
Salah satu murid Sayid Abdullah Shubbar terkait hal ini mengatakan, "Suatu hari guru setelah berziarah ke makam Imam Jawad as, kemudian berziarah ke makam Sheikh Mufid dan aku memanfaatkan waktu tersebut untuk bertanya kepada guru. Aku bertanya, guru bagaimana kamu dapat menulis buku tebal ini dalam waktu sesingkat ini ? Guru diam dan kemudian menjawab, Menulis cepat bukan seniku, tapi hadiah dari Abu Abdillah, Imam Husein as. Aku menemui Imam Husein di mimpiku dan beliau berkata kepadaku, Menulislah dan keluarkan buku ! Sesungguhnya penamu tidak akan kering sampai kamu mati."
Salah satu karya penting ulama besar ini adalah tiga tafsir al-Quran. Ketiga kitab tafsir tersebut adalah Safwah al-Tafsir (Tafsir Kabir), al-Jauhar al-Tsamin (Tafsir Wasit) dan Tafsir Wajiz. Tafsir Kabir tulisan tangan dalam dua jilid, tapi sangat disayangkan meski buku ini termasuk salah satu tafsir terbaik Syiah, tapi sampai saat ini belum dicetak. Metode tafsir ini adalah tafsir dengan riwayat atau hadis dari para imam maksum as, dan jarang dibawakan pendapat dari yang lain. Selain itu, tafsir kabir juga membahas masalah fikih dan teologi sesuai dengan ayat dan tentunya pembahasannya juga sangat teliti dan detail. Tafsir ini seperti namanya, adalah pilihan dari tafsir-tafsir sebelum dirinya.
Al-Jauhar al-Tsamin atau Tafsir Wasit adalah tafsir lain Sayid Abullah Shubbar dan ditulis dalam enam jilid. Di tafsir wasit, penulis pertama-tama membahas asbab al-nuzul surat dan kemudian menukil pahala membaca surat tersebut dan bersandar pada riwayat dan sejumlah pendapat mufasir, mulai menjelaskan ayat-ayatnya. Poin penting di tafsir ini adalah perhatian penulis terhadap pendapat seluruh mufasir Syiah dan Sunni, yang terkadang disertai dengan kritikan dan analisa penulis. Poin penting dari tafsir ini adalah pembahasannya yang sederhana dan mudah dicerna.
Para ahli percaya bahwa tafsir al-Jauhar al-Tsamin menempati urutan kedua setelah Majma' al-Bayan karya Tabarsi. Tafsir ini juga memberhatikan sisi pembahasan rasional, dan memilih penjelasan yang mudah yang dapat membantu pembaca mencerna isinya.
Buku tafsir ketiga Allamah Shubbar yang ditulis secara ringkas namun ekspresif, adalah tafsir wajiz. Penulisan singkat dalam tafsir adalah metode yang telah digunakan oleh banyak tetua dunia Islam, dan tujuannya adalah untuk membiasakan siswa dengan konsep-konsep Al-Qur'an pada tahap pertama pendidikan, dan di dalamnya, mereka telah mencoba menyajikan interpretasi yang paling penting dalam buku-buku tafsir, istilah terpendek dan paling ekspresif untuk para pelajar, menempatkan Al-Qur'an dan tulisan-tulisan para ulama ini sangat berharga dan selalu disambut baik oleh masyarakat. Salah satu yang terbaik dan paling fasih dari mereka adalah tafsir wajiz dari Allamah Sayid Abdullah Shubbar, yang dengan tepat mencuri perhatian dari semua orang di bidang ini.
Sayid Mohammad Ma'sum, salah satu ulama dan ahli fikih abad-13 di pendahuluan (mukadimah) Tafsir Subbar menulis, "Imam Shubbar adalah sosok penuh kebaikan dan berkah, di mana sejarah hidupnya akan kekal. Ia memiliki kedalaman ilmu, ingatan yang tak ada bandingannya dan ilmu yang luas. Kami hanya dapat tunduk di hadapan sosok besar beliau."
Akhirnya marja besar Syiah ini, Sayid Abdullah Shubbar setelah 54 tahun hidup penuh berkah meninggal dunia di salah satu hari bulan Rajab 1242 H. Anaknya, Sayid Hasan yang juga ulama fikih, menshalati jenazah ayahnya bersama masyarakat Syiah saat itu, dan jenazah ulama besar ini dimakamkan di Haram Suci Imam Musa Kadhim as. Kami akhiri program kami kali ini dengan sebuah hadis dari Imam Ali as, "Ulama tetap hidup, meski ia telah mati, dan orang bodoh mati meski ia hidup."