Mulla Sadra, Puncak Kecemerlangan Filsafat Islam
  • Judul: Mulla Sadra, Puncak Kecemerlangan Filsafat Islam
  • sang penulis:
  • Sumber: parstoday.com
  • Tanggal Rilis: 23:41:51 1-9-1403

Shiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di masa Mulla Sadra, pemerintah Iran berada di bawah kekuasaan imperium Safavi yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.

Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas dan mukmin. Meski kaya dan memiliki kedudukannya terhormat, namun ia tidak memiliki keturunan. Baru setelah berdoa selama bertahun-tahun dia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian diberi gelar mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.

Sadruddin Muhammad (Sadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan religius dan terhormat. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Sadra seorang anak yang cerdas, bersemangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, literatur Persia, Arab, kesenian dan kaligrafi indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, fiqih, logika dan filsafat, namun Sadra yang kala itu belum baligh lebih condong ke filsafat dan khususnya dalam bidang irfan. Hal ini dapat dilihat dari catatannya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.

Pada masa kanak-kanak, Mulla Sadra bersama ayahnya pergi ke kota Qazvin dan di sana dia mempelajari semua ilmu dasar dan menengah. Dia dengan cepat mencapai jenjang lebih tinggi melampaui teman-teman seusianya. Pada masa muda, Mulla Sadra bertemu dengan Syeikh Bahai yang menjadi peletak batu pondasi kepribadian ilmiah dan akhlak Mulla Sadra. Syeihk Bahai bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam khususnya fiqih, hadis, tafsir al-Quran, epistemologi dan irfan, melainkan juga sangat menguasai bidang astronomi, matematika, arsitektur, kedokteran dan teknik.

Penyempurna bangunan spiritual guru besar ini adalah Sayid Amir Mohammad Baqir bin Shamsuddin, atau yang dikenal dengan Mirdamad. Mirdamad adalah salah seorang jenius pada masa itu yang menguasai seluruh ilmu yang berkembang saat itu, akan tetapi lingkup pelajarannya difokuskan pada ilmu fikih, hadis dan filsafat. Mulla Sadra mengambil banyak pelajaran filsafat dan irfan dari gurunya Mirdamad.

Menyusul berpindahnya ibukota Dinasti Safavi dari Qazvin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1598 M, Sheikh Bahauddin dan Mirdamad beserta semua muridnya hijrah ke kota tersebut dan melanjutkan pelajaran mereka di sana. Mulla Sadra juga mengikuti mereka ke Isfahan selama beberapa waktu kemudian dia kembali ke kotanya Shiraz. Akan tetapi para pesaingnya yang di saat sisi merasa posisi sosial mereka terancam atau merasa harus mempertahankan ideologi mereka atau bahkan karena rasa iri, bersikap buruk terhadap Mulla Sadra serta mengolok pandangan baru dan berbagai terobosan baru Mulla Sadra.

Perilaku tersebut tidak sesuai dengan jiwa lembut Mulla Sadra, oleh karen itu dengan kecewa dia meninggalkan Shiraz dan berhijrah menuju kota Qom serta tinggal di sebuah desa bernama Kahak. Selama beberapa waktu dia meninggalkan dunia ilmiah serta menyibukkan diri beribadah, berpuasa dan membersihkan diri. Dalam waktu cepat dia mencapai derajat spiritualitas yang tinggi. Masa itu adalah masa keemasan Mulla Sadra di mana dia telah mencapai derajat kasyaf dan syuhud alam ghaib. Pada masa itu pula dia memahami seluruh hakikat filsafat bukan pada otak melainkan dengan mata hati, dan oleh karena itu dia melakukan penyempurnaan pandangan filsafatnya.

Pada masa itu pula Mulla Sadra menulis berbagai kitab terkenalnya atau menulis artikel untuk menjawab pada filsuf di masanya. Mulla Sadra kemudian mendidik banyak murid besar. Dua dari murid terkenalnya adalah Fayyad Lahiji dan Allamah Feiz Khashani, yang keduanya berperan besar dalam menyebarkan pandangan Mulla Sadra.

Mulla Sadra seorang filsuf yang sederajat dengan filsuf Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Sheikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rushd, Ibnu Miskawai dan lain-lain. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan dia sederajat dengan para tokoh seperti Ibnu Arabi.

Sheikh Muhammad Husain Garawi Isfahani berkata tentang Mulla Sadra, "Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina."

Sadr al-Mutaallihin adalah penulis handal di bidang filsafat Islam. Banyak karya tulisannya yang dinilai sangat lembut serta sempurna dalam kefasihan dan balaghah. Karya-karya Mulla Sadra tercatat mencapai lebih dari 40 judul buku dan beberapa surat, semuanya berbahasa Arab (yang menjadi bahasa resmi pusat-pusat ilmiah kala itu). Semua karya peninggalannya memiliki susunan yang jelas, fasih dan berirama yang sangat memudahkan siapapun untuk mempelajari filsafat dan irfan. Di antara karya filsafat Mulla Sadra, sebagian memiliki karakteristik irfan yang lebih kental sementara di sebagian lainnya memiliki aspek argumentatif yang lebih kuat. Meski demikian, cita rasa irfan tetap dapat dirasakan di setiap sudut karyanya.

Termasuk di antara kriteria sangat penting dalam karya-karya Mulla Sadra adalah keberhasilannya dalam menyesuaikan berbagai teori, penjelasan syariat serta argumentasi filosofis, sehingga dia tidak akan mengemukakan pendapatnya secara pasti sebelum bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran atau hadis dari pada imam maksum as. Dia selalu berbangga bahwa tidak ada orang yang dapat mengungkap rahasia-rahasia al-Quran dan Sunnah Maksumin seperti yang dilakukannya. Seluruh karya filsafat Mulla Sadra dipenuhi dengan ayat-ayat al-Quran dan riwayat sementara tafsirnya penuh dengan perspektif irfan dan logis.

Sadr al-Mutaallihin memiliki kemahiran tinggi dalam memahami lahiriyah dan rahasia al-Quran dan hadis. Dia juga meninggalkan banyak karya di bidang tafsir al-Quran dan hadis. Mulla Sadra menafsirkan sejumlah surat dalam al-Quran yang hingga kini dinilai sebagai penafsiran al-Quran terbaik dari sudut pandang filosofis.

Sebagian bukunya adalah buku pelajaran dan sesuai untuk memberikan bimbingan filsafat tahap mukaddimah, serta penyempurnaan jenjang filsafat dan irfan yang lebih tinggi yang diberi nama Hikmah Mutaaliyah. Sebagian lainnya juga sangat istimewa untuk menjelaskan dan membuktikan pandangannya.

Ada pula beberapa buku Mulla Sadra di bidang akhlak dan hubungan manusia. Mulla Sadra juga memperkenalkan diri sebagai muhaddits atau pakar hadis dan riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksumin, yaitu buku penjelasan dari kitab hadis terkenal al-Kaafi, karya Kulaini.

Al-Hikmah al-Mutaaliyah fi al-Asfar al-Arba'ah al-Aqliyah, adalah karya paling tersohor Mulla Sadra. Sebuah terobosan yang hanya terdapat dan digunakan di buku penting ini yaitu seluruh pembahasan buku tersebut dibagi menjadi empat tahap perjalanan spiritual irfani di mana setiap tahapnya adalah sebuah perjalanan. Oleh karena itu disebutkan bahwa perjalanan seorang arif pada tahap awal adalah perjalan dari dirinya dan masyarakat menuju Tuhan, pada tahap kedua dan ketiga dari Tuhan menuju Tuhan yang berarti dari Dzat-Nya menuju sifat dan perilaku-Nya, kemudian pada perjalanan tahap terakhir adalah dari Tuhan menuju umat.

Buku tersebut pada hakikatnya adalah ensiklopedia filsafat dan kumpulan berbagai masalah penting filsafat Islam yang mengutip berbagai pendapat para filsuf terdahulu hingga masa Mulla Sadra.

Mulla Sadra telah berkunjung ke Mekkah selama tujuh kali berjalan kaki, dan pada perjalanan ketujuhnya, dia sakit di kota Basrah dan akhirnya meninggal dunia.