Menyakini seluruh sahabat adil dan menyakini sebagian sahabat adil, dalam tinjauan ilmu hadis merupakan dua konsep yang berbeda yang akan berpengaruh dalam menilai setiap riwayat yang sampai pada kita.
Yang pertama akan membuat kita menerima semua riwayat dari para sahabat tanpa perlu memeriksa status keadilannya, sebab hal itu telah dijamin oleh beberapa ayat yang dianggap sebagai dalil konsep tersebut. Sementara yang kedua, sebagaimana kita menerapkan kriteria (penerimaan perkataannya) pada para perawi yang berada di generasi setelah para sahabat, begitu pula kita melakukan itu terhadap mereka (para sahabat). Sehingga dalam hal ini para sahabat tak dibedakan dari para perawi yang lainnya.
Dari beberapa ayat yang digunakan untuk menetapkan keadilan seluruh sahabat salah satunya ialah surat Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..
Pendekatan argumentasi: Para sahabat merupakan objek dari Khitab (pembicaraan) dalam ayat tersebut, melalui lisan nabi saw. Di sini Allah swt menjadikan mereka sebagai orang-orang adil supaya mereka menjadi saksi atas umat-umat lainnya. Jika tidak demikian (mereka tidak adil) maka bagaimana Allah meminta kesaksian dari mereka.
Argumentasi ini bersandar pada beberapa mukadimah sebagai berikut:
Pertama, pada kalimat “جَعَلْنٰكُمْ” bentuk atau jenis “جعل” -nya adalah takwini bukan tasyri’i, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Ja’al takwini adalah menciptakan atau menjadikan sesuatu di luar dengan bentuk tertentu, seperti yang digambarkan dalam beberapa ayat berikut:
وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِۙ
Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.[1]
2. Ja’al tasyri’i adalah membuat hukum syar’i atau pensyariatan, seperti pada ayat berikut:
وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا
Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.[2]
Pada ayat di atas jika yang dimaksud adalah ja’al tasyri’i maka yang dipahami dari ayat itu bahwa mereka (objek khitab) diberikan taklif atau tugas khusus yaitu menjadi adil supaya mereka dapat bersaksi atas manusia. Jika demikian status keadilan disini tak ubahnya seperti taklif atau kewajiban-kewajiban yang lainnya yang dituntut dari setiap mukallaf, maka dalam hal ini tidak menunjukkan pujian sebab jika bentuknya taklif maka mungkin sebagian melakukannya dan sebagian lainnya mengerjakannya.
Namun apabila yang dimaksud adalah Ja’al takwini, maka artinya Allah swt telah menjadikan atau menciptakan mereka dalam bentuk seperti itu yakni adil dan menjadi saksi atas manusia. Jika demikian maka dalam ayat ini bentuknya menjadi sebuah pujian.
Dalam hal ini, penulis melihat adanya unsur berlebihan dimana pernyataan di atas menunjukkan bahwa para sahabat diciptakan dengan khusus berbeda dari manusia biasa. Selain itu anggaplah kita terima demikian dan sejak awal mereka tercipta dengan kekhususan maka bagaimana bisa banyak di antara mereka didahului dengan kesyirikan, kekufuran dan setelah wafat nabi saw pun terjadi keributan dan pertumpahan darah.
Kedua, mukhatab atau yang dikenai khitab (lawan bicara) adalah khusus para sahabat.
Dalam ayat tersebut, Al-Khatib Al-Baghdadi menyebut bahwa meskipun ayat tersebut bentuknya adalah umum, namun makna yang diinginkan adalah khusus dan itu adalah tentang para sahabat, bukan selainnya.[3]
Sementara itu riwayat dalam kitab sahih Bukhari menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah umat nabi muhammad saw[4], yakni kesaksian umat ini atas semua umat terdahulu. Meskipun hal ini memunculkan sebuah pertanyaan; bagaimana bisa umat nabi saw yang tidak sejaman dengan mereka akan memberikan kesaksian, sementara syarat utama untuk menjadi saksi adalah mengetahui tentang kejadian yang bersangkutan. Sehingga dengan hal ini akan meruntuhkan hujjah Allah dalam artian umat-umat terdahulu dapat menolak kesaksian umat ini dengan dalil tadi.
Beda halnya apabila terdapat perhatian khusus dari Allah yang menjadikan mereka mendapat ilmu dan mengetahui ihwal manusia dari mulai yang terdahulu hingga kiamat kelak. Namun apakah hal ini pun dapat mencakup seluruh umat nabi saw? Tentu saja tidak, sebab umat nabi pun tidak semuanya adil dan saleh, melainkan sebagian dari mereka yang saleh dan memiliki keutamaan khusus. Apakah artinya seluruh sahabat? Tentu hal ini pun lagi-lagi berbenturan dengan realita dan fakta sejarah yang ada dalam ayat Al-Quran sendiri ataupun riwayat, seperti yang akan dibahas pada seri-seri berikutnya.
[1] Yasin, 34.
[2] Al-Isra’, 33.
[3] Al-Kifayah Fi Ilmil Riwayah, hal: 180.
[4] Shahih Bukhari, jil: 4, hal: 1632, no: 4217.