Wanita, Tradisi dan Konsep Keadilan Gender (1)
Oleh: Euis Daryati
Masalah wanita merupakan masalah yang begitu pelik dan kompleks. Berbagai artikel memperbincangkan wanita, belum lagi forum-forum diskusi sudah banyak dilakukan. Namun demikian, wanita dan kewanitaan selalu menjadi topik yang selalu hangat dan tetap banyak digemari. Sebetulnya, siapakah “wanita”? bagaimana keberadaannya? bukankah substansi wanita dimulai sejak munculnya kehidupan manusia? Sebagaimana Tuhan menciptakan lelaki, maka Dia pun menciptakan perempuan sebagai pasangan hidupnya. Akan tetapi di sepanjang sejarah, kenapa wanita selalu diperlakukan secara tidak adil?
Keterhinaan, ketertindasan dan ketersiksaan merupakan fenomena yang sering kita lihat dalam sejarah hidup wanita, terlebih sebelum munculnya agama Islam. mungkin saja fenomena semacam itu masih bisa didapati setelah munculnya Islam, meskipun tidak separah sebelum kemunculannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengulas masalah wanita menurut pandangan Islam; agama yang selalu mengajarkan keseimbangan dalam segala hal, agama yang tidak mengajarkan seseorang untuk berada pada dua titik ekstrim, sebagaimana Rasul SAWW bersabda: ”Sebaik-baiknya perkara adalah titik tengah”. Tak terkecuali dalam masalah wanita. Sebab, Islam memandang wanita secara komprehensif. Dari satu sisi, wanita itu sama dengan lelaki, namun dari sisi lain ia berbeda dengannya.
Sebaiknya, sebelum membahas permasalahan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam, marilah kita mengulas terlebih dahulu secara eksplisit kedudukan perempuan dalam pandangan berbagai kaum dan agama sebelum kemuncul Islam, sehingga kita dapat melihat dan membandingkan dari sekian pendapat yang ada. Berdasarkan prolog di atas, terlebih dahulu kita menguraikan beberapa tradisi non-Islam:
Perempuan dalam Tradisi Kesukuan
Dalam kehidupan masyarakat primitif yang berasaskan kesukuan, dimana tatanan kehidupan hanya berlandaskan adat serta kebiasaan, perempuan tidak dianggap sebagai manusia, apalagi anggota masyarakat. Bagi mereka, ia diperlakukan sebagai hewan piaraan yang berfungsi sekedar untuk memenuhi desakan biologis lelaki. Lebih dari itu, ketika pada musim sulit seperti musim kemarau, daging perempuan malah dijadikan santapan. Keadaan seperti ini berlangsung ketika mereka hidup bersama ayahnya sampai mereka berumah tangga. Pemilik rumah dapat menjual perempuan ataupun memberikannya kepada orang lain sekedar untuk pesta pora. Begitu pula, dia dapat menyewakannya ataupun meminjamkan kepada orang lain, dan kalau perempuan tersebut tidak mematuhi perintahnya, maka dia berhak menyiksanya ataupun membunuhnya.[1]
Perempuan dalam Tradisi Kerajaan
Dalam masyarakat kerajaan (kekaisaran) seperti yang pernah terjadi di India, Persia (Iran) dan Cina dan masyarakat maju pada abad seperti Yunani dan Romawi, dimana tatanan kehidupan mereka berdasarkan aturan dan undang-undang, kendati nasib perempuan sedikit lebih baik, akan tetapi mereka belum mendapatkan hak-hak yang sepenuhnya.
Dalam pandangan peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan puncak keemasan dan pusat kemajuan bagi peradaban barat. Di mata mereka, perempuan adalah mahluk yang sangat hina, tugasnya hanyalah kerja di rumah dan hanya untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai penjelmaan setan. Andaikan ia melahirkan anak yang cacat, maka ia akan dibunuh. Dan, seorang suami dapat meminjamkan dan memberikan istrinya kepada seseorang yang ia kehendaki. Begitu pula pernikahan dan perceraian biasa dilakukan oleh seorang wali wanita tanpa sepengetahuannya.
Masih Di era puncak peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan masa keemasan dan kemajuan bagi masyarakat Barat, keberadaan perempuan tidak dihormati dan tidak mempunyai hak untuk belajar kecuali wanita bangsawan saja.[2] Singkat kata, dalam pandangan mereka perempuan tidak mempunyai hak-hak individu maupun sosial.
Pun, nasib perempuan di Romawi Kuno tak jauh beda dengan yang lainnya. Dalam pandangan mereka, perempuan tidak mempunyai ruh manusiawi, oleh karena itu pada hari kiamat kelak para perempuan tidak akan dibangkitkan, karena yang akan dibangkitkan pada hari itu ialah yang memiliki ruh manusiawi saja. mereka menganggap perempuan tidak lebi dari sebagai barang. Selain itu mereka memandang perempuan sebagai penjelmaam setan dan berbagai macam arwah pengganggu dengan tipu dayanya selalu berusaha untuk menutup akal dan hati. oleh karena itu mereka melarang perempuan dari tertawa dan berbicara.
Perempuan sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan, di hadapan suami dan ayah tidak mempunyai hak milik, hak bergaul, hak bepergian, bahkan lebih parah dari itu tidak mempunyai hak hidup. Kapan saja si ayah merasa perlu, ia dapat menjualnya, disewakan bahkan dibunuh. Begitupun perempuan tidak mempunyai hak dalam memilih calon suaminya. Apapun yang diputuskan walinya, maka perempuan harus menerimanya.[3]
Tak jauh beda dengan yang lainnya keadaan perempuan dalam peradaban Persia pun terhina dan tertindas serta tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana halnya manusia. Di mata mereka, perempuan hanyalah sebagai budak dan tawanan dimana dapat diperlakukan dan diperjualbelikan sesuka hati. jual beli wanita sudah menjadi kebiasaan masyarakat Persia dan India waktu itu. Setiap tahunnya, kurang lebih dua belas ribu wanita yang diperjualbelikan. Disebutkan dalam sejarah bahwa Hhosru Parwiz, raja dinasti Sasanian ke-23, mempunyai dua puluh tiga ribu istri di istana pribadinya, belum lagi simpanan penyanyi dan penari khusus.
Begitupula pada beberapa masa sebelum kedatangan Islam, tatkala tatanan masyarakat Persia berdasarkan struktur sosial -yang membagi masyarakat pada beberapa golongan yaitu golongan bangsawan dan masyarakat biasa- kedudukan perempuan bangsawan dibedakan dengan perempuan masyarakat biasa. Meski begitu, perempuan dari golongan bangsawan belum mendapatkan hak-hak yang semestinya. Misalkan, mereka tidak mempunyai hak pilih dan hak berpendapat. Kalaupun perempuan itu dari golongan bangsawan, tapi jika dibandingkan dengan laki-laki dari golongan bangsawan juga, tetap saja kedudukannya -dalam pandangan mereka- lebih rendah dan lebih hina.[4]
Perempuan dalam Tradisi masyarakat beragama
Di bawah ini sekilas tentang pandangan beberapa agama selain Islam mengenai perempuan, antara lain;
Pandangan Hinduisme; Dalam litelatur agama Hindu, senjata paling efektif yang digunakan oleh para dewa untuk menyelewengkan kebaikan adalah seorang perempuan. Biasanya terkadang sosok peri angkasa atau perempuan yang tidak senonoh merupakan sumber segala kejahatan dalam pandangan Hindu Ortodoks. (Baldick, Radice, dan jones:36). Dalam Kitab Mahabrata disebutkan: ”Aku akan mengatakan kepadamu, anakku, bagaimana Dewa Brahma menciptakan perempuan amoral…,tiada yang jahat ketimbang perempuan…Tuhan kakek yang mengajarkan apa yang ada di hati para dewa, menciptakan perempuan jahat melalui ritual magis untuk memperdayai manusia…”(13.40.3-10).
Praktek Sati merupakan gambaran ketundukan para istri kepada suami dalam adat Hindu, dimana istri membakar tubuh mereka sendiri hidup-hidup diatas tumpukan kayu yang membakar jasad suaminya. Pada tahun 1780 ketika raja Mawar mangkat di India, 64 istri membakar tubuh mereka di atas tumpukan kayu yang membakar jasad suami mereka. Meskipun pemerintah melarangnya, namun mereka tetap melakukannya dengan cara ilegal dengan dalih agama.
Pandangan keagamaan Cina; Dalam teori mistis mereka, perihal bagaimana alam semesta bergerak, para filosof Cina menemukan konsep Yin dan Yang. Mereka mengatakan bahwa alam semesta diketahui berdasarkan keseimbangan Yin (keburukan atau sisi negatif) dan Yang (kebaikan atau sisi positif). Penjelasannya adalah Yin merupakan kekuatan negatif di alam semesta, dimana ini tampak dan terjelma pada kegelapan, kesejukan, “jiwa perempuan”, cairan,…dan bayang-bayang. Sedangkan Yang adalah kekuatan positif di alam semesta, ini terlihat dalam cahaya, kehangatan, “jiwa lelaki”,…dan matahari.(Hopfe:207)
Pandangan Yahudi; Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam pandangan Yahudi, maka kita dapat merujuk ke dalam kitab suci mereka, seperti Taurat atupun Talmud (kitab suci kedua setelah Taurat). Dalam Taurat yang beredar sekarang ini di sebutkan: ”perempuan lebih pahit dari kematian, dia tidak akan dapat sampai pada kesempurnaan, dan dia tercipta dari tulang rusuk nabi Adam”. (Safar takwin,fasal:1,ayat:1-13/bab:2,ayat 2-23). Begitu dalam Talmud disebutkan: ”Seorang suami dapat mencerai istrinya dikarenakan tidak mampu mengatur rumah tangga ataupun dikarenakan ada perempuan lain yang lebih cantik”. (sastra Ibrani hal :7).
Pandangan Kristen; Kristen merupakan agama besar yang membentuk pemikiran Barat, menampilkan perempuan lebih rendah dari lelaki. Menurur keterangan Injil, kaum pria pemilik perempuan, sebagaimana hewan dimiliki. Keluaran 20:17 yang menyatakan sepuluh perintah terkenal, mengumpulkan seorang istri dengan para budak, hewan piaraan dan rumahnya. Ketundukan perempuan kepada kaum lelaki ini ada ada di Injil yang membentuk pemikiran Barat tentang isu tersebut, dijelaskan dalam Leviticus 12:1-18; Setelah kelahiran anak lelaki, secara ritual perempuan tersebut dalam keadaan kotor selama empat belas hari menurut hukum Injil, Timotius 2:11-14 dari Perjanjian Baru Injil menyatakan: ”Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan seorang perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkanya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, barulah Hawa. Lagi pula bukan Adam yang tergoda melainkan perempuan itulah yang tergoda”.
Perempuan dalam Tradisi Arab Jahiliyah
Sumber otentik yang bisa kita jadikan rujukan untuk mengetahui keadaan wanita pada masa Jahiliyah adalah Al-Quran, yang dengan gamblang menyebutkan pembunuhan bayi perempuan sebagai sebuah praktek yang umum di kalangan Arab pada masa Nabi Muhammad SAWW. Bahkan, Al-Quran akan mengambil pertanggungjawaban pada Hari Pengadilan, sebagaimana yang dapat kita sinyalir dari firman Allah SWT: “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dibunuh”. (QS.Al-Takwir:8-9)
Begitupula Nabi Muhamad diutus, saat kerusakan moral terjadi dimana-mana dan menguasai semua aspek kehidupan, salah satu bentuk dekadensi moral yang terjadi pada waktu itu adalah wa’d, yaitu pembunuhan anak perempuan. Mereka merasa terhina disaat mempunyai anak perempuan, karena perempuan merupakan sumber kehinaan dan kelemahan bagi kaumnya. Kalau disampaikan kepada mereka perihal kelahiran anak perempuannya, maka memerahlah muka mereka karena marah, serperti yang digambarkan dalam ayat: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah”. (QS.Al-Nahl:58)
Seorang ibu harus berusaha membunuh naluri keibuannya dengan menyerahkan anaknya kepada ayahnya untuk dikubur hidup-hidup demi terlepas dari keterhinaan dan cemoohan kaumnya, atau tetap menjaganya (tidak membunuhnya) tapi hidup dengan rasa keterhinaan. Karena tidak semua mereka membunuh anak perempuannya, melainkan harus memilih salah satu di antara dua pilihan, yakni antara membiarkan hidup dan terhina atau membunuhnya tapi tidak terhina di mata kaumnya. “Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)”. (QS.Al-Nahl:59)
Memang sungguh ironis sekali, menurut keyakinan Arab Jahiliyah bahwa malaikat itu dianggap sebagai anak perempuan Tuhan, tetapi ketika mempunyai anak perempuan mereka merasa terhina. Padahal kalau mereka yakin bahwa malaikat itu anak perempuan-nya Tuhan, mestinya mereka bangga punya anak perempuan, yakni antara konsep dan praktek terjadi kontradiksi. Al-Quran secara eksplisit menjelaskan perihal tersebut: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak perempuan”. (QS.Al-Nahl:57)
Dari kumpulan ayat di atas, kita dapat memahami bagaimana Islam muncul pada situasi dan kondisi seperti ini, dimana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan[5], padahal kita ketahui mempunyai anak perempuan pada masa itu adalah keterhinaan. Kalau kita kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia dibalik semua itu, yakni untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur Jahiliyah menjadi kultur Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Kemudian Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan keselarasan di antara keduanya.
Diakui bahwa dalam makalah sederhana ini tidak mungkin menyebutkan semua analisa berkenaan dengan sejarah ketertindasan wanita seperti nasib wanita di benua Afrika atau benua Australia.
Dari uraian sejarah diatas kita dapat mengambil beberapa poin sebagai berikut:
1. Keberadaan wanita pernag disamakan dengan hewan dan dianggap manusia lemah serta hina, dimana jika perempuan tersebut hidup bebas dan terlepas dari ikatan maka yang lain tidak akan aman dari kejahatan dan kerusakannya.
2. Wanita tidak dianggap sebagai anggota masyarakat kecuali kalau diperlukan oleh masyarakat, atau ia dianggap sebagai tawanan yang tertangkap yang harus dipekerjakan dan harus diwaspadai tipu dayanya.
3. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak kecuali hak-hak tersebut bermanfaat untuk laki-laki yang menguasainya.
4. Perlakuan lelaki atas perempuan berasaskan prilaku orang kuat terhadap orang lemah, yakni perempuan hanya sebagai pelayan dan tidak mempunyai hak apapun.
Bersambung…