KOSMOLOGI ISLAM : CINTA DAN SPIRITUALITAS PEREMPUAN DALAM KELUARGA
  • Judul: KOSMOLOGI ISLAM : CINTA DAN SPIRITUALITAS PEREMPUAN DALAM KELUARGA
  • sang penulis: Fardiana Fikria Qurany
  • Sumber: ikmalonline.com
  • Tanggal Rilis: 21:52:2 1-9-1403

“Perempuan adalah Jiwa dari keluarga, dan keluarga adalah spritualitas dari masyarakat”. (AM. Safwan).

Dalam filsafat, tema kosmologi adalah bagian dari pembahasan ontologi. Para filsuf klasik seperti: al-Farabi, Ibn Sina hingga Ikhwan al-Shafa, mendefinisikan kosmologi sebagai kajian tentang alam semesta, khususnya tentang penciptaan alam semesta, untuk menjawab pertanyaan tentang hubungan yang-satu dengan yang-banyak. Teori penciptaan itu, menurut para filsuf, dikenal dengan emanasi.

Namun, bagaimanapun kosmologi-emanasi ini adalah salah satu bentuk kosmologi yang muncul dalam tradisi intelektual Islam. Lantas, kosmologi Islam manakah yang akan kita jadikan sebagai kacamata untuk melihat cinta dan spiritualitas perempuan dalam keluarga?

Kosmologi Islam di sini merujuk pada kosmologi Islam-nya William Chittick. Dalam karyanya, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World, Chittick memberikan satu formulasi baru dalam kosmologi, yaitu titik temu antara yang-saintifik dan yang-filosofis, yang-empirik dan yang-metafisik.

Pada prinsipnya, kosmologi Islam William Chittick ingin menjelaskan tentang hubungan antara Alam – Jiwa – Tuhan. Kalau di Barat hanya ada hubungan antara Alam dan manusia (antroposentris), sementara dalam kosmologi Islam terjadi hubungan antara alam, jiwa dan Tuhan (antropokosmik). Hubungan ini senantiasa berkesinambungan, senantiasa berlangsung tanpa terputus sesaat, baik di dalam pikiran manusia maupun dalam realitas kehidupan.

Terdapat dua arah dalam hubungan antara alam, jiwa dan Tuhan. Arah pertama ialah arah dari Tuhan ke alam. Pada arah ini, jiwa mengalami kehadiran Tuhan pada dirinya. Inilah yang disebut dengan transendensi. Sementara arah yang lain ialah dari alam ke Tuhan, maka fungsi jiwa di sini memaknai Tuhan (imanensi).

Arah pertama bisa juga dikatakan sebagai proses emanasi atau pancaran dimana Tuhan hadir pada jiwa manusia. Pada proses ini, kehadiran Tuhan sama bagi setiap manusia apa pun agama, warna kulit, atau kebangsaannya. Sementara pada arah kedua, jiwa kita mencari pemaknaan tentang Tuhan dari alam semesta. Tentunya, pemaknaan yang dimaksud dalam kosmologi Islam ini, sebagaimana konstruksinya di awal, adalah menyingkap realitas metafisik di balik hal-hal yang empirik ini.

Perempuan sebagai Entitas Fisik dan Kualitas Alam

Sachiko Murata dalam karyanya, The Tao of Islam, menjelaskan bahwa perempuan dikaitkan dengan dua hal: sebagai entitas fisik dengan jenis kelamin tertentu, dan sebagai alam–sebuah kualitas intrinsik yang disebut kualitas feminin dengan sifat pengasih dan kelembutannya.

Kualitas intrinsik alam ini dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kualitas ini berada pada jiwa manusia. Kosmologi menegaskan bahwa manusia bukan sekedar sebuah entitas fisik belaka, melainkan makhluk spiritual.

Cinta dan Hasrat dalam Perspektif Kosmologi Perempuan

Ada beberapa tema pembahasan dalam kosmologi perempuan seperti: perkawinan makrokosmos dan mikrokosmos, ayah dan ibu, pena dan lembaran, cinta timbal-balik, rindu timbal-balik. Namun, ada salah satu pembahasan yang penting dalam kajian kosmologi perempuan, yaitu tentang Cinta dan Hasrat.

Sebagaimana pembahasan di atas, ada dua arah hubungan antara alam, jiwa dan Tuhan: vertikal dan horizontal. Sambil menggunakan analogi Adam dan Hawa, cinta dari sisi vertikal berasal dari Tuhan kemudian turun ke jiwa menjadi hasrat-Nya (rasa suka dalam diri Adam) dan hasrat itu mencari cinta ke alam (dalam hal ini Hawa).

Dengan demikian, eksistensi hasrat Adam secara vertikal adalah hasrat-Nya. Namun, hasratnya tidak bisa begitu saja menemukan cinta, melainkan dia harus turun pada wilayah horizontal ke fisik. Karena cinta dan hasrat adalah dua hal yang berbeda. Adam harus turun ke Hawa karena hasratnya ingin mencari cinta.

Pada sisi horizontal, cinta timbal-balik bagi laki-laki maupun perempuan itu tidaklah niscaya, karena bisa saja terjadi timbal-balik atau bertepuk sebelah tangan. Karena di alam horizontal ini, baik adam maupun hawa memiliki hasrat dan cinta.

Jika kita lihat bahwa sumber hasrat dalam diri Adam ialah hasrat Tuhan yang turun dari cinta-Nya, maka sifat hasrat itu mesti suci. Dengan demikian, hasrat seksualitas pada diri manusia itu, pada hakikatnya, juga suci. Namun, bagaimana dia tetap menjadi suci pada aktualitasnya, tentu ia membutuhkan pengelolaan yang baik, misalnya, dengan melakukan pernikahan, yakni melakukan hubungan seksual dalam bingkai pernikahan yang sesungguhnya.

Di alam, hasrat ini memiliki berbagai bentuk, berupa hasrat pengetahuan, kekuasaan, material atau seksual. Namun hasrat tidak boleh berhenti pada hasrat, dia harus melampaui hasrat dan mencari cinta yang hakiki. Dalam kosmologi perempuan, hasrat seksualitas itu suci, tetapi ia harus melampaui seksualitas itu sendiri hingga ia menemui cintanya pada diri perempuan.

 Cinta dan Spiritualitas Perempuan dalam Keluarga

Seperti yang sudah disinggung di atas, perempuan merupakan IBU RUMAH CINTA dalam setiap keluarga. Dengan segala kualitas jiwanya, ibu menjadikan dirinya sentral dalam terbentuknya sebuah kerja peradaban di rumah. Peran seorang ibu di rumah melebihi peran sebagai seorang ‘Asisten Rumah Tangga’ yang hanya mengurusi urusan dapur, kasur dan sumur. Dalam fiqh Islam pun, tidak ada ketentuan wajib mengurusi pekerjaan rumah bagi satu jenis kelamin.

Sebuah keluarga tercipta dari bangunan cinta awal laki-laki dan perempuan. Ketika perempuan mengucapkan “Zawajtuka Nafsi”, itu artinya perempuan sedang memberikan segenap cintanya kepada laki-laki. Dan ketika laki-laki menjawab “Qabiltu”, ia siap menerima cinta perempuan serta segala konsekuensi tanggung jawabnya yang merupakan bukti dari bagaimana laki-laki merawat cinta tersebut. Namun, jika hasrat sepasang manusia tersebut tidak bisa terkelola dengan baik, maka hasratnya tidak akan menemukan kembali cintanya.

Dengan pijakan cinta dua insan dalam keluarga inilah rumah tangga berangkat bersama-sama menapaki jalan spiritual. Dengan kata lain, keluarga adalah suluk terpanjang di mana laki-laki harus terus menjaga dan merawat cinta perempuan sehingga perempuan dapat menyingkapkan dirinya pada laki-laki untuk kemudian bersama-sama menapaki jalan spiritual menuju Tuhan.