Teologi Islam di era kontemporer memiliki fokus yang berbeda dengan teologi di masa klasik. Perbedaan itu dapat dilihat melalui karya-karya pemikiran tokoh muslim yang menuliskan isu-isu teologis dalam karya-karyanya. Ciri khas dari teologi Islam Kontemporer ialah, mencari keterhubungan tauhid dengan konteks kehidupan sosial. Dengan kata lain, teologi dituntut untuk memberikan solusi atas problematika umat manusia di atas muka bumi ini. Tauhid harus memiliki dampak pada kehidupan manusia itu sendiri, karena membahas teologi bukan saja diskursus wacana tapi dia berhubungan dengan sisi primordial manusia sendiri, jiwa itu sendiri.
Salah satu isu pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat modern hingga kontemporer adalah isu kesetaraan gender. Isu ini hadir dikarenakan di beberapa negara terjadi ketertindasan terhadap perempuan dan gerakan feminisme hadir untuk menjawab kegelisahan perempuan atas nasib ketertindasan itu baik di rumah maupun di ranah publik.
Islam sebagai agama yang dikenal sifat komprehensifnya harus merespon isu tersebut dengan pendekatan teologis. Dalam artikel ini, kita coba mendudukkan konsepsi teologi feminisme menurut Islam agar kita tahu apakah Islam punya perhatian khusus pada perempuan dan peran-perannya.
Feminisme dan Islam
Feminisme adalah susunan kata yang terdiri dari arti paham (isme) dan feminin (feminitas), kemudian jika disatukan ia menghasilkan satu makna baru bahkan menjadi sesuatu isu di era modern yaitu, paham yang mendasari sebuah gerakan untuk merespon ketertindsan kaum perempuan. Dalam sejarahnya, feminisme memiliki varian yang cukup banyak dengan misi yang sama namun penekanan pada apa yang diperjuangkannya berbeda-beda. Ada paham feminis yang memperjuangkan hak di wilayah domestik dan ada di wilayah publik. Ada paham feminisme yang hanya memperjuangkan kesetaraan hingga memperjuangkan kesamaan.
Feminisme jika diartikan sebagai paham untuk memperjuangkan kaum perempuan, maka Islam sejak awal sudah memiliki paham ini. Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang menentang tindakan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Selain itu, banyak ajaran Islam yang mengoreksi aturan-aturan di masa Arab Jahiliyah seperti mengembalikan kemuliaan perempuan dengan tidak menyamakannya dengan barang dan budak, memberikannya waris bukan diwarisi, memiliki hak sebagai saksi dan dibolehkan untuk menggugat cerai suami.
Jika kita melihat feminisme sebagai semangat memperjuangkan hak-hak perempuan, sebelum gerakan feminisme Barat, Islam sudah lebih dulu melakukan reformasi atas hak-hak perempuan sejak awal diutusnya Muhammad SAW di atas muka bumi. Akan tetapi semangat memperjuangkan hak-hak perempuan di dalam Islam memiliki pijakan dan dasar kepada tauhid. Nilai kemanusiaan tidak dibebaskan begitu saja, tapi memiliki landasan tauhid dan tidak boleh bertentangan dengan keimanan kita sebagai penganut agama Islam.
Oleh karena itu, secara spirit Islam juga memiliki hal yang sama dengan gerakan feminisme di Barat namun memiliki sandaran dan pijakan gerak yang berbeda.
Problem Kesetaraan Gender dalam Islam
Islam dengan visi dan misi yang dimilikinya tidak serta merta menghasilkan satu masyarakat ideal yang selalu mengindahkan kesetaraan gender. Harus dipahami sejak awal yang dimaksud gender adalah peran sosial masyarakat laki-laki maupun perempuan, bukan mengacu kepada jenis kelamin (sex). Faktanya, sampai hari ini masih banyak perempuan yang mendapatkan perilaku diskriminatif dalam peran sosialnya dari orang-orang dengan mengatasnamakan agama (Islam). Kita perlu melacak akar dari masih langgengnya ketertindasan kaum perempuan di kalangan umat Islam.
Pertama, budaya patriarkhis adalah budaya yang menganggap bahwa laki-laki superior dan perempuan inferior. Budaya ini berpijak pada asas kuasa satu jenis kelamin kepada yang lain dan melihat perempuan adalah makhluk yang lemah. Problem pertama ini adalah problem pemahaman yang dihasilkan dari satu konstruksi budaya tertentu.
Dalam kajian Hermeneutika, pemahaman dan pengalaman seorang subjek sangat memengaruhi interpretasinya. Ketika membaca teks agama baik al-Qur’an maupun hadis, maka interpretasi atas keduanya akan sangat berpengaruh.
Kedua, teks agama yang cenderung global dan multitafsirpun menjadi salah satu faktor penting. Banyak dari teks agama, khususnya ayat al-Quran yan bersifat mutasyabih, sehingga siapapun dengan perspektif apapun dapat menginterpretasikan teks dengan beragam penafsiran. Sifat terbukanya al-Qur’an di satu sisi adalah positif, karena ia bisa dipahami oleh berbagai tingkatan pemahaman, tetapi di sisi lain adalah negatif yaitu, penafsiran apapun dapat menunggangi kepentingannya pada ayat tersebut.
Sebagai contoh, ayat “arrijalu qawwamuna ala nisa” yang bisa diartikan laki-laki (Suami) itu pelindung bagi perempuan (isterinya) bisa memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Ada yang memahami ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inferior, tetapi ada juga yang menginterpretasikan ayat ini tidak menegasi posisi perempuan sebagai manusia seutuhnya yang sama tercipta seperti laki-laki. Oleh karena itu, setidaknya ada dua faktor mendasar mengapa sampai hari ini masih ada ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan karena faktor konstruksi budaya yang memengaruhi pemahaman seorang pembaca atau penafsir dan teks agama itu sendiri.
Konstruksi Pemahaman atas Teks
Teks-teks agama, khususnya al-Qur’an yang menjadi dalil naqliyah dalam teologi perlu dipahami dengan cara yang tidak tekstualis. Pemahaman atas teks harus didasari dengan objektivitas berpikir yang matang dan tidak berdasarkan subjektivitas semata. Meskipun kita dapat katakan bahwa akan sulit melepas sisi paradigma dan kacamata yang tidak lepas dari sisi subjektif pembaca atau penafsir.
Terkait dengan teologi Islam, isu-isu yang dibahas bukan hanya sekedar pada tataran praktis melainkan berpijak pada tataran teoretis terlebih dahulu yang membangun konstruk berpikir teologis tentang perempuan itu sendiri.
Konstruksi pemahaman harus dibangun dari dimensi ontologi, epistemologis dan aksiologis. Untuk mengetahui tentang pandangan Islam terkait perempuan, maka kita perlu mengetahui bagaimana perempuan sebagai satu entitas yang sama dengan laki-laki sebagai manusia. Dengan kata lain, kita perlu tahu manusia dalam perspektif al-Qur’an, sehingga kita akan memperoleh pengetahuan apakah secara ontologis, hakikat manusia itu berhubungan dengan jenis kelamin tertentu atau tidak.
Secara teologis, Islam harus menjawab hal ini terlebih dahulu sebelum berbicaea tentang peran-peran sosial lainnya. Karena pemahaman tentang manusia inilah yang akan menjadi pijakan kita dalam menilai perempuan dalam Islam dengan beragam kewajibannya baik secara fiqhiyah (hukum Islam) maupun akhlaqiy (moralitas).
Kesimpulannya, kesetaraan gender adalah hal yang sangat mungkin untuk diperjuangkan dalam Islam melalui cara pandang teologisnya dan teologi sebagai basis ilmu tentang ketuhanan akan mampu mengkonstruk pemahaman awal (teoretis) hingga akhir (praktis) untuk menghasilkan satu makna baru relasi laki-laki dengan perempuan.