Bagaimana Tasawuf Memandang Perempuan?
  • Judul: Bagaimana Tasawuf Memandang Perempuan?
  • sang penulis: Nur Hasan
  • Sumber: alif.id
  • Tanggal Rilis: 22:33:39 1-9-1403

Dalam perspektif tasawuf atau spiritualitas Islam, relasi antara laki-laki dan perempuan tampak adil dan setara. Hal ini dikarenakan ajaran utama dalam tasawuf adalah kebersihan hati dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan.
Akan tetapi, persoalannya ialah bagaimana mencapai kedekatan dengan Tuhan sedekat-dekatnya, dan semakin dirindukan serta dicintai. Dalam tasawuf, untuk mencapai hal tersebut tidak ada syarat harus laki-laki atau perempuan. Karena masing-masing di antara mereka mempunyai kesempatan yang sama.
Gagasan Ibnu ‘Arabi tentang Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) dan Wahdatul Adyan (kesatuan agama), menimbulkan sebuah pertanyaan. Ketika tidak ada bedanya Islam dengan agama lain, bahkan tidak ada jarak antara Tuhan dengan semesta, lalu apa perbedaan laki-laki dan perempuan?
    Lebih lanjut, dalam upaya penyatuan diri dengan Tuhan, Ibn ‘Arabi tidak melihat perempuan sebagai sumber maksiat, melainkan sebagai sarana mencapai Tuhan.
Dalam pemikiran para sufi, salah satunya Ibnu ‘Araby, cinta laki-laki kepada perempuan dan keinginan bersatu dengannya, adalah simbol kecintaan dan kerinduan manusia kepada Tuhan dan sebaliknya. Dalam esensi cinta perempuan terdapat cinta kepada Tuhan, dan esensi cintanya kepada Tuhan. Dalam sebuah hadis juga diriwayatkan, tiga hal yang menjadi kesenangan Nabi: perempuan, parfum, dan salat.
Tidak adanya tingkatan antara laki-laki dan perempuan dalam tasawuf , tidak hanya sebatas dalam sebuah teori saja, akan tetapi juga terjadi dalam praktik sehari-hari. Banyak kisah-kisah sufi yang menjelaskan laki-laki bukan mahram, secara rutin berkunjung kepada perempuan sufi di rumahnya dan berdiskusi seputar tasawuf dan begitu juga sebaliknya.
    Kebersamaan mereka dilakukan secara wajar dan tanpa halangan. Salah satu contoh adalah Fathimah, sufi perempuan dari Naisabur yang dikisahkan sering bertemu dan berdiskusi, tentang spiritualitas dengan Abu Yazid Al-Busthomi, tanpa menggunakan kerudung dan tutup tangan.
Akan tetapi bebasnya pergaulan laki-laki dan perempuan sufi tersebut telah menyebabkan mereka dituduh melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas. Bahkan banyak para penulis biografi sufi meragukan, apakah pertemuan mereka murni karena persoalan spiritual.
Jika ditelaah, dalam dunia tasawuf tidak dikenal dengan pembagian gender, sebagaimana yang ada dalam fikih. Karena keperempuanan dan kelelakian pada dasarnya adalah potensi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini, karena maskulunitas dan feminitas adalah potensi batin setiap manusia.
Pembahasan tentang perempuan  dalam tasawuf memiliki posisi sentral, karena pembicaraan mengenai topik tersebut mengisyaratkan pembicaraan tentang aspek feminitas Allah SWT.
    Ibnu ‘Arabi pernah mengatakan, “Siapa saja yang ingin menjadi sufi, hendaknya menjadi perempuan dulu. Maksudnya, hatinya harus lembut dan didominasi kasih sayang.”
Bahkan dalam tasawuf ada sebuah anggapan, jika menerima satu perempuan sebagai murid sama dengan menerima seribu laki-laki. Rahim, itulah modal dasar yang hanya dimiliki perempuan dan sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Akan tetapi sebegaimana dijelaskan di atas bahwa dalam tasawuf, tidak bisa lagi kita wakilkan pembicaraan tentang gender, karena tasawuf memang sudah lepas dari persoalan gender. Sehingga dalam tasawuf, relasi laki-laki dan perempuan terlihat adil dan setara.Karena tasawuf adalah tentang Aku, Kamu, Dia, Kita dan, Sang Maha Cinta.
Walaupun tasawuf tidak bisa mewakilkan pembicaraan tentang gender, namun setidaknya adanya sufi-sufi perempuan telah memberikan pengetahuan tentang kita bahwa perempuan juga mempunyai potensi untuk mempunyai peran yang lebih besar. Sebagaimana yang dilakukan oleh para perempuan-perempuan sufi di masa dahulu, yang mempunyai banyak murid laki-laki.