Siapa pun yang merapat kepada Yang Satu
maka telah dibebaskan dari penindasan
setiap berhala menuju di mana cinta berada
mukmin sejati, dan cinta baginya
cinta membuat segala sesuatu mungkin bagi kita
Akal tak mengenal belas kasihan; Cinta bahkan lebih,
lebih suci, lebih hidup, dan lebih berani
Tersesat dalam labirin sebab dan akibat
Itulah akal; Cinta dengan pasti hadir dalam medan
Aksi. Akal bulus merancang sebuah jebakan;
Cinta menaklukkan mangsa dengan senjata yang tepat dan kuat.
Akal kaya akan ketakutan dan keraguan; tetapi Cinta
telah memantapkan keputusan, keyakinan yang tak terkalahkan.
Akal bangkit untuk menciptakan sebuah keliaran;
Cinta membuang jauh-jauh kesia-siaan, untuk menjadikan segala sesuatu berbeda.
Akal itu murah, berlimpah layaknya udara;
Cinta sangat sedikit ditemukan, dan dengan harga yang mahal.
Akal berlindung di balik fenomena,
Tetapi Cinta telanjang dari jubah-jubah materi.
Akal berkata, “Percayakan dirimu sendiri kepada yang tampak”
Cinta menjawab, Ujilah hatimu, dan buktikan sendiri”
Akal melalui pemerolehan diberi tahu
tentang yang lain; Cinta dilahirkan dengan rahasi kemuliaan
dan menciptakan hubungan dengan Diri. Akal menyatakan
jadilah kaya dan berbahagialah; Cinta menjawab
jadilah seorang hamba, hingga engkau dapat bebas
Kebebasan menghasilkan kebahagiaan paripurna kepada jiwa Cinta
Kebebasan, sang pengarah kekuatan-pengendali Cinta
Apakah engkau tidak mendengar bahwa pada masa perang
Cinta dibenturkan dengan akal yang liar? Aku akan berbicara
tentang pemimpin besar dari segala manusia yang mencintai
Tuhan sejati, dialah pohon cemara yang tegak
di taman Rasul, dialah Anak Ali,[1]
yang ayahnya mengawali pesta pengorbanan
hingga ia dapat mendemonstrasikan sebuah sembelihan yang besar[2]
dan bagi pangeran dari umat terbaik itu
Rasul terakhir menyerahkan punggungnya
Untuk dinaiki, sebuah kafilah unta tengah melaju,[3]
Memerah darahnya karena keberanian Cinta yang cemburu
(tema itu menghiasi bait puisiku dalam keberanian yang indah)
kedudukannya sangat sentral dalam komunitas kami
seperti Katakanlah, Dia-lah Allah puji Kitab suci.[4]
Musa dan Firaun, Shabbir dan Yazid-[5]
dari kehidupan muncullah pontensi-potensi yang bertentangan itu
Kebenaran hidup dalam kekuatan Shabbir; ketidakbenaran adalah
kekejaman itu, penderitaan terakhir dari kematian yang memalukan.
Dan ketika Khilafah pertama kali memutuskan benangnya
dari al-Quran, maka ke dalam kerongkongan kebebasan telah dituangkan
sebuah racun yang mematikan, bak hujan yang menghapus awan
Suatu cahaya terang dari manusia terbaik telah bangkit
bukan dari Barat, untuk menumpahkan darah di Karbala,
dan tanah itu, yang sebelumnya kering kerontang,
ditaburi, saat ia gugur, oleh bunga-bunga tulip dari darah.
Di sana, hingga Hari Kebangkitan, tirani
telah dikalahkan untuk selama-lamanya; sebuah padang rumput
diciptakan ketika sumber hidupnya ditumpahkan.
Karena kebenaran itu sendiri adalah darahnya yang menetes ke tanah,
Mengapa ia menjadi benteng
keimanan kepada Tuhan yang satu. Apakah memang
ambisinya tertuju kepada kekuasaan duniawi,
bukanlah perbekalan seperti itu yang ia rencanakan
pada perjalanan terakhirnya, memiliki musuh-musuh
dalam jumlah yang tak terbatas seperti debu-debu padang pasir,
sementara sahabat-sahabatnya sama dengan jumlah nama-nama Tuhan.
Suatu misteri yang dilambangkan
dalam Ibrahim dan Ismail seluruh hidup
dan matinya tegak sampai akhir dalam pengabdian yang utuh.
Kuat bak sebuah gunung adalah solusinya,
keras, tak tergoyahkan menuju tujuannya
Mengangkat pedang untuk kejayaan agama
dan ia terhunus untuk mempertahankan Hukum (Tuhan)
Seorang Muslim, hanyalah hamba kepada Tuhan
sebelum seorang firaun memenggal kepalanya.
Darahnya memberi tafsir kepada misteri-misteri tersebut,
dan membangunkan umat kita yang tengah terlelap.
Pedangnya menuliskan Tidak ada tuhan selain Allah
dan menumpahkan darah mereka yang mengungkapkan kebohongan;
mengukir di gurun pasir, selamatkan Agama
Dia menetapkan bagi semua untuk membacakan kata-kata pujian
atas pengorbanan kami. Dari Husain kita belajar
rahasia kitab suci, dan dengan sinarnya
menyalakan obor-obor kita. Mungkinkini telah jauh dari pikiran
kejayaan Damaskus, kemuliaan Baghdad,
serta keagungan Granada, semuanya hilang dari ingatan;
namun senar-senar yang ia petik bersama jiwa kita
tetap bergetar, bahkan iman kita tetap segar
berkat seruannya, Allahu Akbar, yang berhembus dengan lembut.
Duhai utusan dari mereka yang jauh,
bawalah air mataku ini kepada debunya yang suci.
Catatan:
Husain bin Ali bin Abi Thalib terbantai bersama 72 pengikutnya oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad di Karbala, Irak, pada tahun 61 Hijriyah / 640 Masehi
QS. Ash-Shaffat: 107
Sebuah hadis Nabi saw
QS. Al-Ikhlash: 112
Shabbir adalah panggilan Rasulullah saw kepada Imam Husain
Muhammad Iqbal adalah filsuf-penyair Muslim kenamaan yang lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, Pakistan. Puisi di atas dikutip dari karyanya Rumuz-i Bekhudi (1918). Secara singkat, puisi Iqbal tentang Imam Husain as ini pernah diulas oleh Islamolog Prof. Anne-marrie Schimmel dalam artikel berjudul Karbala and The Imam Husayn in Persian and Indo-Muslim Literature.