Hampir setiap hari, jika kita simak di media massa, berita yang melibatkan pemuda selalu menghiasi pemberitaan disamping berita politik. Yang membuat kita miris dan sedih adalah pemberitaan tentang anak muda yang mayoritas berisi aktivitas yang bernilai negatif seperti penganiayaan, perampokan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Kasus yang masih hangat di Jakarta International School (JIS) misalnya. Pelaku kejahatan seksual (pedofilia) dilakukan oleh anak muda. Seperti dilansir berita di media yang bersumber dari keterangan polda metro Jaya, para pelaku terdiri dari 5 tersangka yang relatif masih muda, yakni Awan (20), Agun (25), Afriska (24), Zainal (28), dan Syahrial (20), serta satu lagi tersangka, Azwar, 27 tahun, ditemukan tewas bunuh diri. Belum lama, kita juga dikejutkan dengan peristiwa pembunuhan Ade Sarah Angelina Mahasiswi Universitas Budi Mulia oleh mantan pacarnya yang bersengkongkol dengan pacar barunya.
Menanggapi kasus seperti disebutkan diatas, sejumlah ahli sepakat dan menganjurkan dengan pendekatan keluarga. Keluarga sebagai intrumen awal pembentukan kepribadian seorang manusia dinilai merupakan upaya yang cukup efektif. Selain kelurga, institusi pendidikan pun tidak kalah penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak.
Pakar dan ahli dibidang pendidikan, Prof Arief Rahman, mengatakan bahwa para pendidik, haruslah melakukan peranan yang lengkap antara sebagai pendidik dan pengajar. Menurutnya, mengajar adalah proses mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan mendidik adalah membentuk watak, sikap, moral, dan pola pikir. Dengan demikian, mengajar belum tentu mendidik. Ditambahkan, yang dihasilkan dari pengajaran hanyalah bersifat kecerdasan, tetapi belum tentu menjamin terbentuknya budi pekerti. Karena budi pekerti ini nantinya akan melahirkan sebuah karakter dari generasi yang dibina.
Menurut Prof Arief, ada lima syarat pendidikan karakter. Pertama adalah pendidikan karakter kepada Tuhan. Nilai-nilai religius harus ada pada seorang pemimpin.“Jadi bukan hanya wawasan umum dan intelektual, tapi ada nilai-nilai religi juga harus dimiliki,"ungkapnya. Yang kedua, kata dia, pendidikan karakter kepada diri sendiri. Sadar akan tanggungjawab diri sendiri dan mengerti apa yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri.”Ini lebih kepada introspeksi diri, jadi setiap individu sadar akan dirinya sendiri.”bebernya.
Sedangkan yang ketiga, lanjut Arief, pendidikan karakter kepada keluarga. Bagaimana kita menghormati orangtua, meski kadang orangtua itu salah.”Disadari atau tidak, seringkali sebagai anak kita lupa ntuk selalu menghormati kedua orang tua.”paparnya. Keempat, menurut guru besar Universitas Negeri Jakarta, pendidikan karakter kepada masyarakat. Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan orang lain, tentu harus saling bekerjasama, saling menghormati, tenggang rasa. Dan yang kelima, pendidikan karakter kepada alam di sekitanya. Menurut Arief, manusia itu hidup di antara alam. Karena itu manusia harus memelihara dan menjaga kelestarian alam.”Kita harus pelajari alam itu. Kita manfaatkan, tetapi jaga kelestarianya, jangan hanya memanfaatkan alam tapi malah merusak,”ungkapnya.
Arief menambahkan, pendidikan karakter yang baik tidak dapat dilakukan dengan cara mengajar, tetapi mendidik. Karena pendidikan karakter bukan ilmu, namun proses membangun watak terhadap kebiasaan.”Kebiasaan itu harus dialami. Setiap jenjang harus diberi pengalaman-pengalaman yang baik. Pendidikan karakter harus ada teladan. Karakter itu harus teruji saat dilematis,”katanya.
Dikatakan Arief, kedisiplinan itu baik dalam pendidikan anak. Namun demikian, menurutnya, jangan sampai menerapkan sanksi-sanksi yang sifatnya menjadi dendam kepada anak-anak itu sendiri.”Untuk menjadi baik, terkadang manusia itu awalnya harus dipaksa dengan aturan. Tapi harus tetap seimbang, ada kalanya membutuhkan intermezo yang bernilai, tidak hampa,”pungkasnya.
Selain pendidikan dan pengajaran dari keluarga dan lembaga pendidikan, orang tua diharuskan untuk lebih memantau kegiatan dan aktivitas anak terkait dengan makin bebasnya akses informasi. Komunikasi dua arah antara anak dan orang tua haruslah dilakukan dengan intents. Orang tua diharapkan untuk bisa dan mau menjadi "teman" curhat atau diskusi anak tentang banyak hal, termasuk dalam hal pribadi yang dialami anak. Untuk itu orang tua harus bisa menyediakan waktu yang cukup untuk melakukan komunikasi dengan anak. Dan, untungnya, dijaman teknologi yang sudah makin canggih ini, dimana dan kapanpun jika kita ingin berkomunikasi bisa dilakukan. Namun, yang terpenting kedekatan (approximity) dengan anak secara langsung sangat diperlukan. Dengan demikian, peran keluarga dan lembaga pendidikan merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya diupayakan untuk selalu saling men-support.