Salah satu amalan yang diajarkan pemuka agama di hari-
hari terakhir bulan Ramadhan adalah itikaf. Itikaf pada
mulanya berarti menahan diri dan untuk waktu yang lama
di samping sesuatu yang lain. Menurut syar’i, itikaf
berarti menetap di masjid untuk beribadah. Oleh karena
itu, Ahlul Bait mewasiatkan kepada umat manusia untuk
beritikaf di bulan Ramadhan dan mereka sendiri
mempraktekannya dengan beritikaf di masjid. Imam Sadiq
as berkata, “Bukan termasuk itikaf kecuali berdiam diri
selama 10 hari di akhir bulan Ramadhan.” (al-
Istibsar/jilid 4)
Rasulullah Swt di bulan Ramadhan juga melakukan ritual
itikaf. Itikaf di bulan Ramadhan sangat penting di mana
jika itikaf di bulan Ramadhan dapat diqadha (diganti di
waktu lain) maka Nabi akan melakukannya. Hal ini pernah
terjadi ketika beliau tidak dapat menunaikan ibadah
itikaf karena bertepatan dengan perang Badr. Beliau
senantiasa beritikaf di akhir bulan Ramadhan selama dua
dekade, namun satu dekadenya beliau niatkan untuk
mengganti itikaf yang telah lewat. Diriwayatkan dari
Imam Sadiq as bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Itikaf
selama sepuluh hari di bulan Ramadhan sama halnya
dengan pahala dua kali haji dan umrah.” (Man Laa
Yahduruhul Faqih/ jilid 2)
Itikaf merupakan peluang tepat bagi manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melepas sekat-
sekat hawa nafsu dan menjauhi hal-hal yang melupakan
pada sang Pencipta. Melalu itikaf, manusia membersihkan
hati-hati mereka dan berkhalwat (menyendiri) dengan
Tuhan. Di khalwat ini, orang yang beritikaf menjadi
tamu dan Tuhan sebagai tuan rumah. Sang tamu meyakini
bahwa jika dirinya tidak menjadi tamu yang baik, maka
tuan rumah tidak akan ramah terhadap dirinya. Di
itikaf, orang yang itikaf telah lepas dari sekat-sekat
ibadah dan mencapai kedalaman sisi ibadah.
Oleh karena itu, Allah Swt menyeru hamba-Nya untuk
berkhalwat, sehingga mencapai derajat keakraban dengan
Tuhan. Seperti yang disabdakan oleh Imam Sadiq as, “Di
Taurat, dinukil bahwa Allah berkata kepada manusia,
Wahai manusia! Luangkanlah waktumu untuk beribadah
kepada-Ku, supaya Aku menutupi kebutuhanmu dan tanpa
kamu meminta, Aku akan memenuhi segala keperluanmu
serta Aku penuhi hati kalian dengan rasa takut kepada-
Ku. Namun jika kalian tidak memberi waktu luang kepada
hamba-Ku, maka Aku akan menjadikan kalian sibuk dengan
dunia dan Aku tidak akan memenuhi kebutuhan kalian. Aku
akan tinggalkan kalian dengan usaha kalian sendiri.”
(Al-Kafi/ jilid 2)
Perhatian terhadap waktu dan disiplin di setiap
pekerjaan, termasuk manifestasi peradaban Islam dan
faktor penting kemajuan. Agama Islam sebagai agama
global dan paling sempurna, sangat mementingkan
manajemen waktu di dalam kehidupan dan menyeru
pengikutnya untuk memperhitungkan seluruh pekerjaannya
dan mengerjakannya dengan disiplin. Islam meminta
pengikutnya untuk menghindari kehidupan yang tidak
terprogram.
Syariat Islam yang meliputi kewajiban, hal-hal sunnah,
haram dan makruh (hal yang harus
dihindari)...diturunkan untuk membuat kehidupan manusia
terprogram dan disiplin. Agama Islam memandang disiplin
terhadap waktu dan hidup sangat penting. Hal ini dapat
kita saksikan di wasiat Imam Ali bin Abi Thalib yang
ditujukan kepada semuan umat mukmin. Beliau berkata,
“Kalian dan seluruh anak-anak serta kerabat dan siapa
saja yang membaca wasiatku ini, aku wasiatkan supaya
bertakwa dan disiplin di setiap pekerjaan.”
Imam Ali as kepada Malik al-Ashtar, gubernur Mesir
ketika memintanya untuk menjaga disiplin berkata,
“Berhati-hatilah terhadap ketergesa-gesaan pekerjaan
yang kamu tidak cukup waktu untuk mengerjakannya, atau
lemah dalam pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan,
keras kepala dalam hal-hal yang tak jelas atau lemah
dalam pekerjaan yang nyata. Lakukan pekerjaan sesuai
dengan tempatnya dan lakukan pekerjaan di waktunya.”
Mencermati kewajiban di agama Islam, akan ditemukan
perhatian besar agama samawi ini terhadap disiplin.
Mengerjakan shalat lima waktu di waktu-waktu khususnya,
memiliki keutamaan khusus. Pembagian waktu shalat,
keteraturan shaf shalat jamaah, keteraturan dalam
sujud, berdiri maupun ruku’, dilarang mengerjakan
shalat di luar waktunya, seluruhnya menunjukkan
kedisiplinan.
Puasa di bulan Ramadhan pun dimulai dengan terlihatnya
hilal dan diakhiri dengan terlihatnya hilal di bulan
Syawal. Sementara waktu puasa pun di mulai dari azan
Subuh hingga azan Maghrib. Jika seseorang terus makan
hingga azan Subuh atau setelahnya dan makan sebelum
azan Maghrib, maka puasanya batal. Disiplin dan
pengaturan waktu yang ditentukan Allah Swt bagi ibadah
manusia mukmin, dengan sendirinya merupakan pelajaran
sehingga umat Islam juga memprogram dan disiplin di
kehidupan mereka.
Bulan Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk melatih
disiplin sepanjang tahun, supaya manusia selain
memiliki rasa disiplin di bidang ibadah, seperti shalat
di awal waktu, juga disiplin di hal-hal yang bersifat
individu dan sosial serta dapat menerima curahan berkah
dan dampaknya. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam
Iran, selama hidupnya senantiasa disiplin dan
memprogram urusan individu dan sosialnya. Orang-orang
yang dekat dengan beliau pun, menyaksikan keteraturan
dan kedisiplinan Imam Khomeini.
Salah satu sahabat Imam Khomeini terkait komitmen
beliau soal kedisplinan berkata, “Di salah satu
perjalanan ke Irak, kami duduk di komplek makam Imam
Ali as dan berbicara dengan sejumlah santri. Ketika
pembicaraan selesai, orang-orang yang hadir ingin
mengundurkan diri. Ketika mereka melihat jam, ternyata
ada perbedaan waktu di antara mereka. Sementara itu,
jam yang ada di komplek makam Imam Ali ternyata juga
berbeda dengan jam kita. Ketika itu, salah satu guru di
kota Najaf yang juga turut hadir berkata, samakan jam
kalian! Kini jam 03:00 dini hari. Dengan perasaan heran
kami berkata kepadanya, Bagaimana kamu mengetahuinya?
Lantas ia berkata, Saudara ini yang tengah berjalan ke
Haram Imam Ali as (Isyarat kepada kedatangan Imam
Khomeini), pasti datang ke tempat suci ini pukul tiga
dini hari.”
Lingkungan hidup kita sejatinya arena perang dan jihad
melawan hawa nafsu dan berulang kali di siang dan
malam, salah satu dari kita menang di peperangan ini.
Kita harus bertawakkal kepada Tuhan untuk mengalahkan
hawa nafsu dan menjadi pahlawan negara kita, seperti
yang disabdakan Imam Ali as, “Yang terkuat di antara
kalian adalah mereka yang menang melawan hawa
nafsunya.”
Kisah mengenai Pourya-ye Vali, pahlawan Iran yang tidak
ada tandingannya disebutkan, “Setelah Pourya-ye Vali
mengalahkan jago-jago dari berbagai wilayah, ia ingin
pergi ke ibukota untuk mengalahkan pahlawannya. Dengan
tekad bulat, ia menuju ibukota. Ketika berita
perjalanan Pourya-ye Vali ke ibukota tersebar dan
sampai ke telinga pahlawan ibukota, muka sang pahlawan
langsung pucat. Ibu pahlawan yang menyaksikan muka
anaknya pucat, kemudian berdoa kepada Tuhan bagi
kemenangan anaknya. Setiap hari ibu yang sudah tua ini
memasak manisan dan bubur serta membagikannya kepada
orang-orang miskin dan orang-orang yang lelah di pintu
masuk kota...
...Ketika Pourya-ye Vali tiba di pintu masuk ibukota,
ia saksikan seorang wanita tua duduk dan didepannya ada
tumpukan manisan dan bubur. Ia kemudian mendekat dan
ingin membelinya. Wanita tersebut berkata, Wahai
lelaki! Bubur dan manisan ini tidak dijual, ini adalah
nazar. Pourya bertanya, untuk apa nazar ini? Perempuan
berkata, “Anakku adalah pahlawan di kota ini, dan kini
ada jagoan yang terkenal ingin menantangnya berkelahi.
Jika anakku kalah, maka harta dan kewibawaan kami akan
musnah.
...Menyaksikan hal ini Pourya berkata kepada dirinya,
jika ia berhasil mengalahkan pemuda tersebut, maka ia
akan menjadi pahlawan ibukota, namun jika ia berhasil
mengalahkan hawa nafsunya maka ia akan menjadi pahlawan
negara. Ia berkata, Aku tidak akan mengecewakan harapan
wanita tua ini karena mengharap keridhaan Tuhan.
Kemudian ia berkata kepada wanita tersebut, Ibu!
Nazarmu telah diterima. Kemudian ia membagi bubur
tersebut kepada pengikutnya dan memasuki kota.
Ketika waktu pertandingan tiba, dan pahlawan ibukota
memasuki arena dengan muka pucat, pengikut Pourya
meminta ijin untuk dimulai pertandingan dan mereka
bersikeras melakukannya. Pourya tidak menerima hal
tersebut dan berkata, Ini adalah pekerjaanku, bukan
orang lain. Ketika pahlawan ibukota memasuki arena,
Pourya telah membulatkan tekadnya untuk mengalahkan
hawa nafsunya. Dengan demikian ia menampakkan dirinya
sangat lemah.
Ketika pahlawan ibukota menyaksikan musuhnya lemah,
maka ia mendapatkan kepercayaan diri dan kekuatan.
Dengan sekali gerakan ia mengangkat Pourya dan
membantingnya ke tanah serta duduk di atas dada lawan.
Ketika kulit pahlawan yang tak terkalahkan ini
menyentuh bumi, ia menyadari anugerah Tuhan dan hakikat
alam semesta. Meski Pourya berhasil dibanting oleh
pemuda ibukota, namun Tuhan menempatkannya di puncak
ketinggian.