Uang Vs Kebahagiaan
  • Judul: Uang Vs Kebahagiaan
  • sang penulis: haidar bagir
  • Sumber: ww.haidarbagir.com
  • Tanggal Rilis: 10:35:52 2-10-1403

Belakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita

didominasi oleh uang dan harta-benda. Betapa nafsu

materialistik mendorong kita untuk terus mengejar

benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk

hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya

pemahaman tentang tujuan hidup dan penciptaan kita,

serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara

meraih kebahagiaan hidup kita.

Akibatnya, banyak di antara kita -manusia-manusia

modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar-

tidak lagi hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat

disebut sebagai “zombie”. Zombie adalah manusia yang

sebetulnya sudah mati, tapi dapat bergerak ke segala

penjuru, namun tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik

mengejar uang, untuk membeli benda-benda, bergegas

pergi ke sana ke mari, lupa waktu, lupa keluarga, dan

manusia lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang

tujuan kita mengejarnya. Padahal, kita tahu, esensi

kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan

fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita.

Kesadaran bahwa kita diciptakan Allah Swt. di muka Bumi

ini bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan yang serius;

beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin

silaturrahim—hubungan penuh kasih-sayang—, beramal

saleh kepada orang lain sebanyak-banyaknya, dan

menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar lebih baik.

Sayangnya yang terjadi adalah sebaiknya. Lewat berbagai

media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita

diiming-imingi dengan kebutuhan-kebutuhan artifisial.

Yakni ”kebutuhan” yang sebenarnya tak memiliki fungsi

untuk menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu,

sebelum datang dan berkuasanya modernisme dan era

industri, orang bekerja untuk tujuan yang jelas; meraih

kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan uang

dipahami sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri.

Dengan cara itu, sesungguhnya, pada masa-masa terdahulu

manusia lebih hidup “sebagai manusia”. Meski ilmu

pengetahuan dan teknologi telah berkembang luar biasa

pesat di masa-masa sekarang ini, manusia masa lampau

tampak lebih terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga

perspektifnya dalam bekerja dan berusaha. Dengan kata

lain, mereka lebih terampil dalam berupaya mencapai

kebahagiaan ketimbang manusia-manusia sekarang.

Sekarang, banyak di antara kita yang justru

mengorbankan  kebahagiaan demi mengejar uang. Tidak

jelas lagi perbedaan antara “tujuan” dan “sarana”

hidup.  Sebagai bukti, tak jarang kita melihat

seseorang justru mengalami kehampaan makna hidup

setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang

yang berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna

hidup.

Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang

dengan tepat?

Pertama, Agama tidak anti kepada orang yang mencari

uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia

Allah Swt. Bahkan dalam Al-Quran disebutkan, Yang

penting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap

memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan

kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi,

adalah sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan

perspektif yang lurus seperti ini, tak ada orang yang

mau mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi

mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya

mendapatkan kebahagiaan hidup.

Kedua, Kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa

tugas hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan

menebarkan rahmat bagi alam semesta. Bahkan,

sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia

telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta.

Kebahagiaan dan kepuasan hidup tak akan pernah bisa

diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan

fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang

lain. Uang atau harta benda yang kita miliki hanyalah

sarana pendukung untuk kita menyelenggarakan upaya-

upaya seperti ini.

Ketiga, Kita perlu membangun dan memelihara kesadaran

bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada

banyaknya uang dan harta benda, melainkan pada

bagaimana kita memandang fungsi dan cara

menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan

untuk hal-hal yang halal dan baik, menghindarkan diri

dari gaya hidup berlebihan, serta menggunakan kelebihan

rizki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang

lain. Hanya dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan,

termasuk kebahagiaan di dunia ini, dan pada saat kita

dibangkitkan kelak.

Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles dalam

mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh

musuh dalam peperangan, ia bergerak sendiri dan menusuk

pemiliknya. Jangan sampai uang, yang seharusnya

membantu kita dalam mendapatkan kebahgiaan, malah

menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan

orang lain, merusak kedamaian keluarga, memutuskan

silaturrahim, dan berbagai ekses merusak lainnya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.