Allah SWT Berfirman:
بِسْمِ الله الرَحْمن الرَحِيم يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ * قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً * نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً * أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً * إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً * إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْأً وَأَقْوَمُ قِيلاً * إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحاً طَوِيلاً * وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلاً.
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.[1]
Kata “tabattul” di bagian akhir firman suci ilahi tersebut ditafsirkan sebagai “inqitha ila Allah’” yang berarti “ketersendirian” atau konsentrasi dalam kesadaran akan ketidak bergantungan kepada apa dan siapapun kecuali kepada Allah SWT.
Inqitha’ kepada Allah memiliki juga memiliki pengertian atau beberapa jenjang sebagai berikut;
Pertama, inqitha’ kepada Allah dalam keadaan takut atau kuatir maupun dalam keadaan bercita-cita dan optimis sehingga tidak takut kecuali kepadaNya dan tidak pula berharap kecuali kepadaNya.
Hal demikian wajar dan beralasan baik secara rasional (aqli) maupun tekstual (naqli). Wajar secara rasional karena kita mengetahui bahwa di alam wujud ini tidak ada kausa prima kecuali Allah SWT, bahwa alam semesta semesta ini tak lain adalah bagian dari cermin wujud dan kemaha kuasaaNya, dan bahwa semua rangkaian sebab akibat, hukum alam, dan kuasalitas yang kita lihat seolah bekerja dengan sendirinya itu sebenarnya berjalan sesuai rencana, kuasa dan kehendakNya semata.
Karena itu, seandainya kita melihat pohon tumbuh besar secara tiba-tiba di lahan yang kering secara ajaib lalu di lain saat kita melihat kebun yang rindang penuh buah dan bunga karena dirawat dengan baik oleh penjaga kebun maka bisa jadi kita takjub pada pemandangan yang pertama dan tidak takjub pada pemandangan yang kedua.
Padahal, jika direnungkan dalam-dalam maka kita akan melihat betapa kedua pemandangan sama terhubungnya dengan Sang Pencipta dan bahwa pohon yang pertama dan pepohonan yang kedua sama-sama menjadi tanda adanya Allah SWT tanpa ada perbedaan sama sekali antara keduanya.
Mempertimbangkan dan mengaplikasikan hukum sebab akibat lahiriah tentu saja tidak tercela di mata syariat. Syariat bahkan menganjurkannya. Hanya saja, dalam aplikasi hukum ini beda antara kebergantungan kepada hukum ini dan tawakkal kepada Sang Penciptanya.
Dalam hal ini banyak orang terjebak pada dua keadaan yang sama-sama keliru. Satu pihak mengabaikan kausalitas lahirah sehingga enggan atau malas bekerja, misalnya, dengan dalih bahwa rizki di tangan Allah, atau jika sakit enggan berobat dengan dalih bahwa kesembuhanpun juga di tanganNya. Di pihak lain malah terlampau bergantung kepada kausalitas lahiriah sehingga cenderung mengabaikan kedudukan Allah SWT sebagai sebab dari segala sebab.
Dua paradigma ini sama-sama menyimpang, sedang paradigma yang lurus ialah bahwa manusia tetap harus mempertimbangkan faktor sebab akibat lahiriyah namun dengan tetap bertawakkal dan memusatkan harapan kepada Allah SWT yang merupakan kausa prima atau sebab segala sebab akibat. Dan tawakkal demikian bukanlah perkara yang sederhana dan mudah.
Kedua, bertujuan semata-mata berjumpa dengan Allah SWT dan mendapatkan keridhaanNya, bukan dunia maupun surga. Orang yang mengharapkan dunia dengan sendirinya ber-inqitha’ kepada dunia, bukan kepada Allah, sedangkan orang yang berharap surga dalam pengertiannya secara fisik maka diapun ber-inqitha’ kepada surga, bukan kepada Allah SWT.
Ketiga, mengingat Allah semata dan melupakan segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya maupun selainnya, sehingga dia melebur dan fana pada Allah dan melihat yang wujud yang tunggal semata dan tak melihat yang wujud jamak. Keadaan demikian tentu saja terjadi pada keadaan-keadaan tertentu seperti saat menjalankan ibadah semisal shalat malam, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT di awal artikel ini; “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”
Sebab, seorang salik yang mencapai maqam tinggi di sisi Allah SWT tidak lantas berarti dia senantiasa fana hingga tak melihat yang jamak, melainkan mudah baginya untuk kembali fana kepadaNya di tengah wujud-wujud yang jamak, walaupun dia memandang yang jamak itu sebagai tajalli Allah SWT.
Ketiga, berkemampuan kembali kepada alam tabattul atau inqitha’ pada segala momen sesuai kehendaknya, dan mengerti pula jalan untuk kembali kepada yang jamak pula dalam segala keadaan. Dengan kata lain, dia tetap dapat bersama Yang Esa di tengah wujud jamak, atau dapat eksis di dua alam sekaligus, alam tauhid dan alam jamak. Keadaan fana dapat dikendalikan sesuatu keinginannya.
Manusia seperti kita pada umumnya tentu tidak mengalami keadaan demikian, tapi paling tidak kita harus dapat mengalami keadaan demikian di saat menjalankan ibadah, terutama di saat menunaikan shalat tahajjud.
CATATAN :
[1] QS. Al-Muzzammil [73]: 1 – 8.