Wara’ Dan Takwa (4)
  • Judul: Wara’ Dan Takwa (4)
  • sang penulis:
  • Sumber: safinah-online.com
  • Tanggal Rilis: 11:48:3 2-10-1403

Karunia dan kemuliaan berupa pakaian dan ketertutupan tubuh itu terlucut dari Nabi Adam as dan Hawa as ketika keduanya memetik dan memakan buah terlarang lalu tersingkap aurat keduanya sehingga keduanya terpaksa bersusah payah untuk menutupinya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ.

“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.”[1]

Allah SWT kemudian berfirman dengan menegaskan bahwa pakaian yang terbaik adalah ketakwaan kepadaNya, dan mengingatkan kepada manusia agar jangan sampai terpedaya oleh godaan syaitan.

Sejauh ini karunia dan kemuliaan berupa pakaian fisik tidak tercabut dari kita. Namun kemuliaan yang sejati dengan kedudukan yang jauh di atas pakaian fisik adalah pakaian takwa, dan pakaian inilah yang diincar oleh iblis agar tercampak dari anak keturunan Adam as dengan cara membujuk mereka agar bermaksiat kepada Allah SWT.

Tentang ini terdapat sebuah riwayat menarik bahwa Imam Muhammad al-Baqir as berkata;

لمّا دعا نوح ربّه ـ عزّوجلّ ـ على قومه أتاه إبليس لعنه الله فقال : يا نوح إنّ لك عندي يداً ! أُريد أن أُكافيك عليها.  فقال نوح : إنّه ليبغض إليّ أن يكون لك عندي يد فما هي ؟  قال : بلى دعوت الله على قومك فأغرقتهم، فلم يبقَ أحد أُغويه، فأنا مستريح حتّى ينسق قرن آخر وأُغويهم.  فقال له نوح : ما الذي تريد أن تكافيني به ؟  قال : اذكرني في ثلاث مواطن فإنّي أقرب ما أكون إلى العبد إذا كان في إحداهنّ :  اذكرني إذا غضبت.  واذكرني إذا حكمت بين اثنين.  واذكرني إذا كنت مع امرأة خالياً ليس معكما أحد .

“Ketika Nuh as berdoa kepada Allah Azza wa Jalla atas kaumnya, tiba-tiba Iblis – semoga Allah melaknatnya- berseru, ‘Wahai Nuh, kamu memiliki hak atasku dan aku akan menunaikannya.’ Nuh as berkata, ‘Sungguh paling tidak aku suka jika aku memiliki hak atasmu, tapi hak apakah itu? Iblis menjawab, ‘Ya, kamu telah berdoa kepada Allah atas kaummu sehingga kamu telah menenggelamkan mereka hingga tak  tersisa seorangpun untuk aku sesatkan, maka aku santai sampai datang abad lain dan akan aku sesatkan mereka.’

“Nuh (yang telah berusaha maksimal memberi petunjuk kepada umatnya namun kecewa kepada hasilnya) kepada Iblis berkata, ‘Lantas apa yang hendak kamu tunaikan untukku?’ Iblis menjawab, ‘Ingatlah aku dalam tiga keadaan karena aku paling dekat dengan hamba-hamba Allah pada tiga keadaan ini. Pertama, ingatlah aku ketika kamu sedang marah. Kedua, ingatlah aku ketika hendak menghakimi dua orang (yang berperkara). Ketiga, ketika kamu sedang berdua dengan seorang perempuan tanpa ada orang lain lagi.”[2]

Demikianlah keutamaan takwa sehingga menjadi satu tolok ukur keutamaan seperti yang terungkap dalam ayat suci yang mengawali artikel ini, yaitu firman Allah SWT ;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]

Ayat ini menjadikan takwa sebagai satu-satunya tolok ukur keutamaan sehingga menegasikan segala tolok ukur lain berbasis materi yang tak ada kaitannya dengan fondasi akhlak seperti yang dianut oleh berbagai umat manusia yang terdidik bukan dengan didikan agama samawi. Tolok ukur berbasis materi terlihat dalam bentangan sejarah antara lain berupa keturunan, kabilah, suku, dan bangsa.

Akal sehat menolak validitas nilai dan tolok ukur demikian karena keterhubungan seseorang dengan suatu suku, misalnya, tak lain hanyalah keterhubungannya dengan cairan hina yang bernama sperma semata. Logika tidak bisa menerima keterhubungan ini sebagai pangkal kemuliaan seseorang, sementara semua nasab dan keturunan terhubung dengan Adam as, dan beliau hanyalah makhluk yang diciptakan dari tanah.

(Bersambung)

[1] QS. Al-A’raf [7]: 22.

[2] Bihar al-Anwar, jilid 11, hal. 318.

[3] QS. AL-Hujurat [49]: 13.