Seorang alim (ulama) memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah swt. Satu di antara sekian keutamaan yang diterangkan dalam hadis-hadis mengenai dirinya, ialah sebagai pewaris para nabi as. Apa yang dia warisi dari mereka? Jelas bukan materi, tetapi immateri berupa ilmu, akhlak dan sirah mereka. Ia berjalan di atas sirah mereka, mengemban tugas dan membawa peran mereka di tengah umat Nabi saw.
Menjadi pewaris para nabi as dalam arti tersebut adalah sebuah penghargaan khusus yang sangat tinggi dan mulia baginya. Kemuliaan ini diraih, pertama yang terlintas dari apa yang terdapat pada dirinya, adalah keilmuannya. Dari sini bisa dikatakan bahwa, hal memiliki ilmu para nabi as merupakan dasar yang utama untuk menjadi seorang pewaris mereka. Namun ia tak hanya pakar di dalam ilmu, tetapi juga ahli di dalam amal. Oleh karena itu, nilai, kemuliaan dan keutamaannya tak sebatas pada ilmunya, tetapi juga terletak pada sifat-sifat utama lainnya, seperti ketakwaan dan akhlak mulia yang harus dia miliki.
Jika tidak demikian itu, banyak nash dari Al-Qur’an maupun hadis yang melontarkan celaan terhadap orang-orang yang berilmu tapi tidak memiliki sifat-sifat keutamaan, sehingga ilmu yang mereka miliki tidak membawa manfaat, bahkan membawa petaka bagi diri mereka. Sebagaimana dalam sebuah hadis: “Ilmu menjadi bumerang bagi si pemiliknya.”
Penyalahgunaan Klaim Sebagai Ulama
Dalam Alquran diterangkan:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim dan rahib-rahib (ahli kitab) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah..” (QS: At-Taubah 34)
Sebagian orang yang diklaim sebagai “ulama”, menyalahgunakan (klaim) keulamaannya untuk dapat memanfaatkan harta benda yang diamanatkan kepada mereka. Demi memperoleh harta benda, mereka menjauhkan umat dari jalan kebenaran, atau ulah buruk mereka membuat orang-orang tidak menyukai agama. Katakanlah mereka itu di dalam keilmuan memenuhi syarat untuk mendapat gelar “ulama”. Akan tetapi, ketakwaan dan akhlak juga merupakan syarat yang harus mereka miliki.
Ketika ilmu keagamaan yang mereka miliki dikatakan sebagai “nur” (cahaya), yang dapat menerangi dirinya dan orang lain, dengan berlaku tidak amanat dan tingkah laku yang tidak mencerminkan sebagai pewaris para nabi as, bahkan tidak mencerminkan sebagai muslim yang baik, ilmu yang bercahaya itu, berubah menjadi bumerang yang mencelakai diri mereka sendiri.
Ilmu yang dikatakan merupakan cahaya, pada esensinya adalah cahaya. Berarti ia menerangi. Di satu sisi, dalam kausalitas, posisinya sebagai sebab bagi hal menerangi, seperti api dan hal membakar. Namun, di sisi lain ia merupakan sarana untuk menerangi jalan, dan sebagai sarana tidak menutup kemungkinan disalahgunakan untuk menerangi hal lain yang menyimpang. Alhasil, persoalannya bukan pada ilmunya, tetapi pada si pemiliknya.
Nahi Munkar Demi Kepentingan
Di dalam Alquran, Allah swt berfirman:
“Mengapa orang-orang alim Nasrani dan para ulama Yahudi tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan harta haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS: al-Maidah 63)
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim, terlebih bagi ulama. Mereka tidak boleh diam dan masa bodoh terhadap penyebaran kerusakan dan kemaksiatan. Syaikh Muhsin Qara`ati membawakan sebuah riwayat terkait ayat tersebut, bahwa Imam Husein ra berkata: “Bukti sikap diam ulama dan mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar ialah tamak akan kepentingan penguasa atau takut kepadanya.”
Dalam pelaksanaannya, memerlukan pengetahuan masalah-masalah yang terkait seperti tahap-tahapnya, antara lain: dengan tangan atau dengan lisan atau dengan hati. Dengan memperhatikan hadis tersebut, dan fenomena banyak kebaikan yang ditinggalkan dan kemungkaran yang dilakukan di tengah masyarakat, terkadang seseorang angkat bicara soal kemungkaran yang satu, tetapi diam soal kemungkaran yang lain. Misalnya, menyerukan perlawanan terhadap penistaan agama, tetapi tidak terhadap terorisme. Atau menyerukan penentangan terhadap miras, tetapi tidak terhadap korupsi.
Terkadang pula ia angkat bicara soal kemungkaran yang dilakukan oleh si fulan, tetapi diam ketika dilakukan oleh fulan yang lain. Semua itu menuntut sikap adil, bijak dan konsistensi seorang ulama di dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Atau demi kepentingan, ia menjadi kehilangan sifat bijaknya.