“Aku Kristen...”
“Benarkah kamu Kristen ?”
“Iya, aku Kristen...”
“Setahuku Kristen itu adalah pengikut Yesus. Pertanyaannya, benarkah kamu mengikuti Kristus ? Benarkah kamu pengasih ? Maukah kamu mengorbankan dirimu untuk orang lain seperti yang dilakukan Yesus ?”
Temanku terdiam. Lama. Pertanyaan ini tampaknya berat untuknya. Sederhana, tapi dalam maknanya.
Aku mengaduk kopi dicangkirku. Lalu menuangkan pikiran yang selama terpendam dalam benakku.
“Aku sendiri malu mengaku diriku sebagai muslim. Karena muslim itu bermakna pasrah total kepada Tuhan dengan mengikuti petunjuk Nabiku. Benarkah aku pasrah total kepada Tuhan ? Mampukah aku mengikuti petunjuk Nabiku yang mengajarkan kesederhanaan total, kebaikan yang tak terukur dan kasih sayang kepada semua alam semesta, bukan hanya kepada sesama manusia ?”
Aku tersenyum sendiri sambil bermain dengan pikiranku.
“Ketika hartaku dirampas saja aku nangis menjadi-jadi, memaki, menyalahkan semua situasi. Bukannya berfikir bahwa inilah yang terbaik yang seharusnya terjadi.
Jadi benarkah sebenarnya aku Muslim dan kamu Kristen? Jangan-jangan kita hanya membanggakan diri dengan kepala tanpa isi. Lebih mudah berucap daripada menjalani..”
Temanku menunduk. Rasanya malu memang ketika baju kebanggaan kita dirobek dan tercabik oleh kenyataan. Bahwa sesungguhnya kita ini hanyalah manusia yang tidak berarti.
“Jadi kita ini apa ?” Tanya temanku.
“Kita hanya berusaha mencapai apa yang kita yakini. Kita bahkan belum melangkah seperti apa yang kita kehendaki. Karena kita selalu kalah, kita lalu membanggakan diri. Kita seperti padi yang tegak karena tak berisi...” Jawabku.
Secangkir kopi sejatinya adalah filosofi. Bagaimana ia begitu pahit seperti sebuah kenyataan, dan kita menambahkan pemanis supaya lidah mendapat keseimbangan..
Ah, perjalanan hanya untuk menjadi manusia saja sungguh sangat panjang...
“Mereka yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat..” Imam Ali as.