apa itu nafsu amarah dan kapankah amarah itu diperbolehkan?
  • Judul: apa itu nafsu amarah dan kapankah amarah itu diperbolehkan?
  • sang penulis:
  • Sumber: islammenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 20:38:9 2-10-1403

Nafsu amarah dan kegusaran merupakan dari bagian sifat manusia. Sifat-sifat tersebut merupakan insting dasar setiap orang. Fenomena ini muncul dari jiwa dan fikiran seorang individu. Lalu, ia mengambil nyala api dan menyelimuti seluruh tubuhnya, sehingga mengakibatkan mata dan raut wajahnya memerah, anggota tubuhnya bergetar, dan buih keluar dari mulutnya.  Akal sehat umumnya lepas dari kendali orang yang sedang diliputi rasa amarah. Kecerdasannya juga hilang sementara waktu.

Dalam keadaan demikian, akan sulit menemukan perbedaan antara dirinya dengan orang gila. Dalam kondisi mabuk semacam ini, ia mungkin akan melakukan tindakan-tindakan yang akan membuatnya menyesal seumur hidup.

Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib berkata : “Jauhilah amarah, karena ia akan mulai dengan kegusaran dan akan berakhir dengan penyesalan mendalam.”

Kemarahan juga sangat berbahaya bagi kebajikan dan keimanan seseorang. Ia dapat menghapuskan segenap amal solehnya dan menjadikannya seorang pendosa. Rasulullah Saww berkata: “Kemarahan menghancurkan kebajikan seseorang sebagaimana cuka menghancurkan madu yang baik.”

Dalam keadaan marah seseorang dapat melontarkan kata-kata yang tidak senonoh dan tindakan sedemikian rupa sehingga menjadikan martabatnya jatuh dimata orang lain.

Ali bin Abi Thalib as berkata : “Nafsu amarah merupakan teman buruk yang membuka aib seseorang. Ia mendekatkannya pada kejahatan dan mencerabutnya dari kebajikan.”

Kemarahan terus menerus dapat mempengaruhi jiwa dan urat syaraf seseorang serta membuatnya lemah dan tak bertenaga. Karena itu, orang yang berupaya menjaga nama baik, kesehatan, dan kesalehannya harus menundukkan amarahnya yang buruk dengan sekuat tenaga, kalau tidak, ia (amarah) akan merusak urat syaraf, nama baik, dan keimanannya.

Namun demikian, harus pula dicamkan bahwa rasa amarah bukan tak ada gunanya dan selalu berbahaya dalam semua keadaan. Pada saa-saat tertentu ia dapat diumbar dan dapat membuahkan keuntungan. Ia harus digunakan secara bijaksana ketika situasinya memang menuntut. Naluri ini tidak hanya membantu seseorang untuk melindungi kehidupan dan hartanya dari para perusak dan unsur-unsur kejahatan. Ketika seseorang harus melindungi keimanannya, negaranya, atau membela kemanusiaan secara umum, naluri kemarahan akan menjadi bagian dari semangat kepahlawanannya. Tanpa kemunculan naluri semacam ini, seseorang akan berada dalam kedudukan pengecut yang menundukkan kepalanya dihadapan berbagai penghinaan atau perlakuan buruk dari selainnya. Bila naluri kemarahan tetap berada dalam kendali naluri kebijaksanaan, niscaya ia dapat menjadi modal yang berharga bagi seseorang.

Rasa amarah menjadikan seseorang mampu ikut ambil bagian dalam tugas-tugas yang sulit, seperti berjuang mempertahankan negara, menghidupkan keimanan (amar makruf nahi mungkar), serta melindungi keluarga.

Seorang muslim yang saleh dan bertanggung jawab tak akan tinggal diam sewaktu menyaksikan kezaliman, ketidak adilan, kediktatoran, dosa-dosa yang terus dilakukan, imperialisme, kolonialisme, dan sebagainya. Islam mengizinkan umatnya untuk berdiri tegak dan melawan kekuatan-kekuatan tersebut dengan gagah berani dan penuh ketenangan hati. Dalam situasi semacam itu, bagaimana pun juga, kemarahan seyogianya tidak sampai mengalahkan nasihat yang bijak.

Amirul mu’minin Ali bin Abi  Thalib as mengatakan,

“Bila engkau menjadi pengikut nafsu amarah, ia akan membawamu pada kebinasaan. “

Tidaklah dibenarkan sama sekali untuk menekan naluri kemarahan, karena bisa saja menjadikan manusia tidak peka, tak punya keprihatinan, dan tak punya rasa malu. Apa yang dituntut adalah kebutuhan untuk menghindari ungkapan kemarahan yang serba berlebihan. Ini dimungkinkan dengan mendidik dan mengasuh anak-anak muda dengan cara cepat.