Allah SWT berfirman;
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَد جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْء قَدْراً.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”[1]
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Wahab bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
من أعطي ثلاثاً لم يمنع ثلاثاً : من أُعطي الدعاء أعطي الإجابة، ومن أُعطي الشكر أُعطي الزيادة، ومن أُعطي التوكّل أُعطي الكفاية. ثُمّ قال : أتلوت كتاب الله عزّوجلّ : ﴿وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ … ﴾ وقال : ﴿… لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ …﴾ وقال : ﴿ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ …﴾
“Barang siapa diberi tiga perkara maka dia tidak akan terhalang dari tiga perkara. Barangsiapa dianugerahi doa maka dia akan dianugerahi ijabah. Barangsiapa dianugera syukur maka dia akan dinugerahi tambahan (nikmat). Barangsiapa dianugerahi tawakkal maka dia akan dianugerahi kecukupan. Tidakkah kamu membaca dalam kitab Allah firman-firmanNya; ‘Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.’[2] ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.’[3] ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.’[4]”[5]
Tawakkal Menurut Kalangan Sufi
Pada kalangan sufi yang berada di luar jalur Ahlul Bait as terdapat keterangan bahwa tawakkal ialah pemasrahan segala sesuatu kepada pemiliknya sendiri dan pelimpahan perkara kepada pihak yang menjadi wakilnya. Menurut mereka, tawakkal demikian merupakan jenjang tersulit bagi kalangan umum mereka, namun paling mudah bagi kalangan khusus mereka.
Tersulit bagi kalangan umum karena kebanyakan orang terbawa dalam keyakinan pada kausalitas atau hukum sebab akibat secara fisik dan materi. Mereka abai terhadap sebab hakiki yang tunggal sehingga sulit bagi mereka bertawakkal kepada Allah SWT dan tidak mengandalkan diri atau bertumpu pada sebab akibat yang mereka rasakan.
Dan termudah bagi kalangan khusus karena berilmu dan mengetahui bahwa Allah SWT telah melimpahkan segala perkara kepada Dzat-Nya sehingga orang yang berilmu itu tak berharap lagi untuk dapat memiliki sedikitpun di antaranya. Manusia yang paling mulia dan sempurna adalah Rasulullah SAW yang telah mendapatkan firman Allah SWT;
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ …
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.”[6]
Jadi, lanjut mereka, jika urusan bukan di tangan mereka dan semua kerajaan semesta ini adalah milik Allah semata maka apa yang dapat dilimpahkan dan dipasrahkan kepadaNya? Dalam hal apa manusia dapat menjadikanNya sebagai wakil? Dengan demikian tawakkal merupakan peringkat yang termudah dan terendah bagi kalangan khusus tersebut.
Mereka kemudian menyebutkan bahwa tawakkal memiliki tiga jenjang sebagai berikut;
Pertama, tawakkal disertai pencaharian dan upaya melalui hukum sebab akibat. Meskipun tawakkal pada dasarnya menuntut pengabaian terhadap sebab akibat, tapi pelakunya menghibur diri dengan proses sebab akibat materi berupa aktivitas semisal perniagaan agar berada di jalur yang bermanfaat dan baik bagi masyarakat. Dia kuatir bahwa jika bertakkal semata tanpa menempuh jalur kausalitas maka masyarakat bisa jadi akan berprasangka baik kepadanya, lalu dia akan terjebak pada sifat ujub (berbangga diri). Karena itu dia lantas berbuat laiknya masyarakat umum agar terhindar dari penyakit demikian.
Kedua, tawakkal yang dibuktikan dengan pengabaian terhadap sebab akibat sehingga tidak bekerja. Dia berijtihad demikian demi meluruskan tawakkalnya, karena orang yang masih menempuh jalur sebab akibat maka bisa jadi dia hanya akan berilusi mencapai maqam tawakkal, padahal tidak mencapainya.
Orang yang sudah memutus diri dari sebab akibat kemudian menderita kefakiran dan kepapaan maka bisa jadi hal ini akan memperjelas hakikat bahwa dia belum mencapai maqam tawakkal, apalagi jika dia sampai menderita kelaparan. Karena itu dia harus memperbaiki tawakkalnya dengan benar-benar memutus diri dari faktor sebab akibat.
Kemudian, keterkaitan dengan faktor sebab akibat seperti perdagangan dan keterampilan menimbulkan resiko keinginan diri untuk mencari kemuliaan dan kedudukan sosial darinya. Padahal seandainya dia mengabaikan faktor sebab akibat maka dia akan dapat meniadakan resiko tersebut.
(Bersambung)
CATATAN :
[1] QS. Al-Thalaq [65]: 2 – 3.
[2] Ibid
[3] QS. Ibrahim [14]: 7.
[4] QS. Al-Mukmin [40]: 60.
[5] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 65, Bab al-Tafwidh ila Allah wa al-Tawakkul Alaihi, hadis 6.
[6] QS. Ali Imran [3]: 128.