Keutamaan Ikhlas(1)
  • Judul: Keutamaan Ikhlas(1)
  • sang penulis:
  • Sumber: safinah-online.com
  • Tanggal Rilis: 20:50:8 2-10-1403

Allah SWT berfirman;

تَنزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ * إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ * أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ.

“Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”[1]

Ikhlas dalam bahasa agama artinya pemurnian perbuatan dari segala tujuan dan motivasi selain karena Allah SWT (li Allahi Ta’ala), dan hamba pelakunyapun disebut “mukhlish”. Ada pula istilah “mukhlash” yang berarti keterjernihan atau ketersucian hamba dari segala perbuatan nista. “Mukhlis” (orang yang memurnikan) merupakan pendahuluan untuk menjadi “mukhlash” (orang yang dimurnikan). Dengan kata lain, “mukhlas” adalah hasil dari “mukhlish”. Istilah “mukhlash” juga disebutkan dalam al-Quran pada firman Allah SWT;

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ.

“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang dimurnikan (terpilih).”[2]

..لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ.

“… pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang dimurnikan di antara mereka.”[3]

Sederhananya, perbedaan antara “mukhlis” dan “mukhlash” ialah bahwa yang pertama adalah untuk menyebut hamba di tahap-tahap perilakunya, sedangkan kedua di tahap-tahap akhir perilakunya.

Keihlasan yang ditandai dengan besarnya pengorbanan sangatlah utama. Bobot dan nilai setiap perbuatan oleh masyarakat umumnya diukur dengan kuantitas hasil kongkretnya. Pelayan, misalnya, akan sangat dihargai oleh majikannya jika maksimal dalam memberikan pelayanan. Prajurit yang paling banyak berjasa dalam membela negara akan sangat dihargai oleh pemimpinnya. Orang yang banyak bekerja dan dapat pula menggerakkan banyak tenaga untuk layanan kepada masyarakat akan lebih dihargai oleh masyarakat daripada orang yang hanya berbicara dan pandai beretorika

Lantas bagaimana nilai amal dan perbuatan hamba di sisi Allah SWT? Apakah juga diukur dengan kuantitas perbuatannya? Ukurannya ternyata tidak demikian, melainkan dengan kualitas keikhlasan batinnya di satu sisi, dan dengan kualitas pengorbanannya di sisi lain. Contohnya ialah bisa jadi seorang prajurit lebih lemah secara fisik dan tak banyak berjasa dibanding prajurit yang lebih kuat dalam perjuangan tapi prajurit pertama lebih mulia di sisi Allah karena dia ternyata lebih ikhlas dan lebih banyak berkorban daripada prajurit yang kedua.

Allah SWT firman;

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً.

“Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.”[4]

Dalam menafsir ayat ini Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;

ليس يعني أكثر عملاً، ولكن أصوبكم عملاً. وإنّما الإصابة خشية الله، والنيّة الصادقة.

“Yakni bukan yang paling banyak amalannya, melainkan yang paling benar amalannya, sedangkan yang benar ialah takut kepada Allah dan niat yang tulus.”

Beliau kemudian berkata lagi;

الإبقاء على العمل حتّى يخلص أشدّ من العمل، والعمل الخالص الذي لا تريد أن يحمدك عليه أحد إلاّ الله عزّوجلّ.

“Menjaga amalan hingga murni lebih sulit daripada amalan itu sendiri, dan amalan yang murni ialah engkau tidak menginginkan siapapun memujimu kecuali Allah Azza wa Jalla.”[5]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] QS. Al-Zumar [39]; 1 – 3.

[2] QS. Yusuf [12]; 24.

[3] QS. Al-Hijr  [15]:  40, dan Shad [38]: 82 – 83.

[4] QS. Hud [11]: 7, dan al-Mulk [67]: 2.

[5] Tafsir al-Burhan, jilid 2, hal. 207, dan al-Kafi jilid 2, hal. 16.