Ali bin abi Thalib mengatakan, “Benturkan pandangan kalian satu sama lain, niscaya kalian temukan kebenaran”. Kata benturkan sengaja dipilih untuk menerjemahkan kata idhribu yang beliau gunakan.bentuk sederhana kata arab itu ialah doroba. Bagi siapa saja yang pernah belajar sdikit saja bahasa arab tentu tahu artinya, yaitu memukul. Maka arti hariah idhribu ialah pukullah atau pukulkanlah.
Ada semangat besar dalam mencari kebenaran yang terkandung dalam kata mutiara itu. Bukan hanya sekedar berdiskusi, berdialog dan berdebatm berbagi dan bertukar pikiran, tetapi juga harus bersiap berpukul-pukulan pandangan sekeras dan sealot mungkin; bukan lagi membenturkan kalau perlu mungkin menghantamkan. Dan kritik selalu menjadi semen perekat yang tak tertinggalkan.
Biasanya kritik berkonotasi protes dan sanggahan. Ada semacam serangan yang mesti diwaspadai atau malah membuat kita jadi putus asa. Barangkali salah satu alasannya kritik acapkali liar membabi buta bak teror yang mengganggu jaminan keamanan intelektualitasdan merusak martabat pribadi serta kehormatan sosial seseorang. Alasan lainnya, bisa jadi karena kritik berkekuatan menjungkirbalikkan kemapanan, kebulatan, kepuasan dan mengguncang keamanan emosionalitas. Kritik terasa begitu nyelekit, mulai dari caranya yang kasar sampe yang halus.
Padahal asal kata kritik itu sendiri dari bahsa latin yaitu cretia yang berarti memilah dan menerangkan. Yakni kritik lebih merupakan sebuah usaha bagaimana seseorang dapat menunjukkan; mengurai dan memilah mana yang positif dan mana yang negatif sekaligus. Maka itu, suatu kritik menjadi proporsional dan benar-benar wajar tatkala disampaikan untuk mencari titik-titik itu sehingga tidak terkesan cerewet dan sewot. Serta menimbang bobotnya masing-masing sehingga tidak mesti selalunya berakhir pada penjungkirbalikkan. Disini kritik menemukan nilainya yang berkeadilan. Jadi, apa yang lebih asosiatif dari kata itu, adalah distorsi yang tidak kecil.
Lebih menarik lagi, masih menurut bahasa latin, cretia ini dekat sekali dengan creatio (mewujudkan). Dekat karena di dalam usaha kritik ternyata ada semacam kreasi, yakni terobosan yang membangun, mewujudkan sesuatu yang baru. maka kritik benar-benar sebuah amanat yang mesti ditunaikan oleh pelaku kritik, sekaligus janji yang semestinya dinantikan oleh objek kritik. Pada titik ini kritik jadi madzhlum kalau harus diwaspadai saja. Tampak sekali misalnya kita yang dikritik ada diantara cemas dan ouas dan kita yang mengkritik pun ada diantara puas dan cemas pula. Sekali lagi, kritik sungguh menampakkan nilainya yang berkeadilan. Posisi kita sebagai objek kritikan sebenarnya, kalau tidak lebih nyaman, sama dengan kita sebagai subjek.
Arti kritik demikian ini juga bisa kita temukan dalam bahasa arab tepatnya pada kata naqd, bahkan secara lebih teliti dan kaurat. Selain sbagai kata benda yang berarti yuang tunai, naqd biasa dipakai sebagai kata kerja. Dari kata itu dibetot kata naqid atau naqqad. Yaitu seorang tulang yang memeriksa kepingan-kepingan logam donar dan dirham, mempelajari campuran emas dan peraknya, serta mengukur kadar dan karatnya.
Dalam wacana ilmiah maupun ranah praktis, tampak bagaimana seorang kritikus tidak kurang dari profesionalisme si tukang logam itu. Jika saja ia tidak waspada, tidak tegasm tidak jujur, si tukang pun akan cepat gulung tikar. Maka itu kritik perlu dipandang secara lebih istimewa. Disamping sebagai tanggung jawab mulia yang tidak kecil, ia menuntut ketajaman, ketekunan , kesabaran dan tentunya keberanian.
Yakni keberanian dalam memihak atau mengambil sikap berbeda, keberanian mempertahankan sikap, setebal keberanian merubah sikap untuk menjadi ragu atau menerima kesimpulan yang benarkualitas kritik dan profesionalisme pelakunya amat bergantung pada tuntutatn tuntutan itu.
Apa jadinya kalo kritik itu identik dengan dekonstruksi semata-mata, kita bakal jadi skeptis atau nihilis. Pada hemat skeptis sejati, minimal yang bisa dilakukan adalah mendekonstruksi skeptikanya sendiri secara terus menerus dan proaktif. Atau membangun skeptikanya secara kokoh dan tak tergoyahkan lagi. Kemungkinan kedua ini justru melazimkan kritik siapapun agar memberikan solusi.
Denganbegitu kaan menjadi lebih akurat lagi bila seorang kritikus di samping aktif sebagai penghancur, juga produktif sebagai pencipta gagasan. Kritik tidak lagi sebagai sikap reaksioner, bahkan sebuah kativitas yang benar-benar kreatif. Bahkan seringkali kita lihat sebuah protes tajam dan gugatan benar menjadi sebuah retorika tatkala tidak mampu menunjukan alternatif dan solusi yang lebih baik. Barangkali masing-masing kita pun pernah berkata, “Jangan sekedar ngritik, berikan jalan keluarnya”. Sebuah tuntutan yang santun.
Tentunya, bila kritik dipandang sebagai amanat dan tanggung jawab kolektif, kita akan menemukan sebuah masyarakat kritis yang tanggap dan sadar, saling berbagi pikiran da berbagi tugas, maka itu, boleh jadi penawaran solusi dan usaha rekonstruksi bisa dikerjakan oleh selain kritikus penghancur. Dalam konteks ini, siapapun objek kritikan yang terlibat dalam memikirkan dan memberikan jalan keluar selama memungkinkan. Hanya karena kritik itu tidak memberikan jalan keluar bukanlah alasan satu-satunya kita enggan, setidak-tidaknya, mempertimbangkan kembali pendirian kita kalau tidak ingin mengubahnya. Kiranya ini sebuah tuntutan yang lebih santun.
Bagi seorang muslim, kritik adalah lahan pengejawantahan nilai-nilai moral dan hukum-hukum islam; keadilan kejujuran, kesabaran, kepekaan terhadap benar-salah objektivitas, komitmen, dan konsekuensi, berbaik sangka, hak dan tanggung jawab, saling mengakui kehormatan, keterbukaan, lapang dada, saling percaya, dan percaya diri, menajamkan daya pilih, dan masih banyak lagi. Sebaliknya pula, kritik adalah kesempatan seorang muslim menguji kemusliman dirinya pada uda dimensi; individu dan sosial. Dimensi individual berarti musyaratah, muqarabah dan muhasabah. Ada pun dimensi sosial kritik yakni berusaha mengoptimalkan amar makruf nahi munkar beserta syarat-syaratnya dengan sebaik-baiknya.