Berpikir Lebih Utama dari Belajar (2)
  • Judul: Berpikir Lebih Utama dari Belajar (2)
  • sang penulis:
  • Sumber: ikmalonline.com
  • Tanggal Rilis: 20:57:30 2-10-1403

daya analisa dan memotivasi murid untuk berkreasi. Poin penting lainnya sebagai mukadimah makalah ini ialah bahwa banyak guru dan masa yang lama dalam belajar, bukan parameter tarbiyah.

Syahid Mutahari mengungkapkan: “Sebagian guru generasi belakangan tak belajar banyak kepada Syaikh Anshari, dan tak banyak hadir (di kelas) para guru mereka ketimbang yang lain.

Syaikh Anshari di masa beliau belajar, sedikit sekali baginya dalam menimba ilmu. Beliau pergi ke Najaf dan belajar tak banyak kepada Asatidzah di sana, kemudian menimba ilmu kepada sejumlah guru di berbagai wilayah lainnya, lalu ke Masyhad. Tetapi beliau tak mengagumi hal menuntut ilmu. Kemudian pergi ke Tehran. Tak lama kemudian ke Isfahan dan menetap lebih lama di sana, belajar ilmu rijal kepada Sayed Muhammad Baqir. Kemudian pergi ke Kasyan, dan tinggal di sana selama tiga tahun, dan belajar kepada Naraqi.

Jika dihitung masa waktu menuntut ilmu bagi Syakh Anshari, tak lebih dari sepuluh tahun, dibanding yang lain belajar sampai duapuluh lima atau tigapuluh tahun lamanya.

Sayed Borujurdi pun demikian, belajar selama sepuluh sampai limabelas tahun kepada para guru level teratas. Tujuh atau delapan tahun belajar di Najaf dan tiga atau empat tahun di Isfahan. Para pelajar Najaf menolak beliau sebagai orang alim, dengan alasan tidak banyak belajar. Menurut mereka harus belajar selama tigapuluh tahun. Akan tetapi, meskipun sedikit belajarnya kepada para guru, temuannya dalam permasalahan ilmiah lebih banyak dari yang lain semasanya. Artinya bahwa beliau berpikir dalam permasalahan yang memerlukan berfikir.

Bagaimanapun tujuan pengajaran dan pendidikan ialah membina pelajar secara pikiran. Terhadap masyarakat pun demikian, bahwa seorang pendidik, guru atau penceramah atau penasihat harus berusaha mengarahkan daya pikir, bukan memenuhi informasi-informasi di dalam otak mereka dan kemudian tak membawa kesimpulan. Berpikir merupakan proses pikir, dan daya pikir lah yang membuat kesimpulan.

 

Belajar dan Berpikir Dua Hal yang Berbeda

Menarik perkataan dari Almarhum Syaikh Hujjat, bahwa ijtihad yang sejati ialah seseorang menghadapi masalah baru yang tak dia ketahui sebelumnya dan tak disebutkan di dalam kitab-kitab. Lalu ia mencapai kesimpulan yang baru dari penerapan ushul yang ada. Jika tidak demikian, orang yang belajar hukum melalui kitab al-Jawahir, lalu mengatakan: “Saya mengetahui, sang penulis al-Jawahir punya pandangan terkait masalah ini dan Saya mengikuti pandangannya.” Ini bukanlah ijtihad..

Ijtihad merupakan kreasi, mengembalikan cabang ke dasarnya. Banyak mujtahid, yang pada kenyataannya mereka itu muqallid (yang mengikuti pandangan orang lain). Dalam tiap sekian abad muncul seseorang mengubah prinsip-prinsip ushul dan membawakan ushul yang lain dan kaidah-kaidah baru, kemudian diikuti oleh mujtahid-mujtahid lainya. Jadi, orang itulah yang mujtahid sebenarnya. Ia membawa pemikiran baru dan diterima dalam arti diikuti oleh yang lain dalam fikih.

Namun demikian proses berpikir tak terwujud tanpa pengajaran sebagai modal perenungan. Islam mengatakan bahwa tafakur (berpikir) adalah ibadah, merupakan masalah yang bukan masalah belajar yang juga adalah ibadah. Jadi, di sini ada dua masalah, yaitu tentang pengajaran bahwa belajar adalah ibadah, dan tentang tafakur bahwa berpikir adalah ibadah. Dengan keutamaan tafakur bahwa pertama, riwayatnya lebih banyak daripada riwayat tentang belajar (dan banyak ayat Alquran tentang tafakur dan berpikir). Kedua, di dalam tafakur seseorang mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dari pikirannya. Jadi, pikiran bisa bertambah kuat dan matang.

Islam menyerukan pengajaran ilmu dari sejak awal wahyu yang turun (QS: al-‘Alaq 1-5) kepada Rasulullah saw, dan membedakan orang yang berilmu dari orang yang tak berilmu (QS: az-Zumar 9).

Rasulullah saw bersabda: بالتعليم ارسلت; (“Aku diutus dengan pengajaran.”) Beliau mengungkapkannya ketika masuk masjid melihat sekelompok orang sibuk beribadah, sementara kelompok lain dalam pencarian ilmu. Lalu berkata, “Keduanya dalam kebaikan. Tetapi aku diutus dengan pengajaran.” Kemudian beliau menghampiri kelompok yang kedua dan duduk bersama mereka.

Dalam QS: al-Jumuah 2, kata “yuzakkîhim” dalam ayat ini berkaitan dengan tarbiyah. Lalu apakah “hikmah” yang dimaksud ayat? Hikmah ialah hakikat yang seseorang dapati, dan Allah swt berfirman:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS: al-Baqarah 269)

 

Referensi:

At-Ta’lim wa at-Tarbiyah fi al-Islam/Syahid Mutahari