Berbicara masalah kesalehan sosial jelas tidak terlepas dari definisi kesalehan Individual.
Budaya yang trading semenjak aplikasi Whatsup sampai ke tangan netizen adalah quick share, apa yang baru di kirim ke Wa-nya dan terlihat judulnya menarik, maka langsung di share ke kontak-kontak WA yang ia miliki, ke group-group yang dia buat atau dia ikuti. Tanpa sama sekali meluangkan waktu untuk membaca barang sebentar tulisan atau video yang sampai ketangan itu. Dalam batin dia merasa sedang melakukan da’wah, ammar ma’ruf nahi munkar dan siap menantikan segepok pahala. Ini semua adalah satu efek dari kadar kesalehan individual seseorang.
Diatas adalah kasuistik yang menjadi salah satu penyebab maraknya penyebaran hoaks ditengah-tengah masyarakat. Info tanpa sanad yang melaju sangat cepat dari satu gadget ke gadget yang lain dalam hitungan kurang dari satu detik, dengan syarat ada charger dan ada kuota memadai. Info tekstual atau gambar langsung menyebar ke berbagai arah.
Manusia dalam lingkup koneksi sosialnya berhubungan dengan pihak-pihak lain setiap saat. Dalam ilmu sosial yang fokus membahas hubungan manusia, lingkungan, bumi dan semesta ini secara detail terus menerus diurai, bahwa perkembangan yang ada dari kerugian-kerugian yang muncul ditengah-tengah masyarakat dalam skup kecil maupun besar. Membuat beberapa pihak berpikir ulang bahwa sebenarnya siapa yang harusnya menjadi parameter. Menjadi central sebagai tolok ukur semua kegiatan yang dilakukan dipermukaan bumi, kegiatan yang ternyata merupakan hasil kesepakatan pihak-pihak yang memiliki kewenangan. Terlepas apakah keuntungan itu kembali kepada manusia secara umum atau hanya kepada segelintir orang saja. atau kembali kepada manusia secara umum tapi dengan jumlah yang tidak adil, ada yang mendapat sangat banyak tak terhitung, ada yang hanya cukup untuk menyambung hidup.
Beberapa berpikir bahwa manusia sebagai khalifah Allah, maka manusia harus dijadikan sebagai parameter. Semua kegiatan harus ditujukan demi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi manusia dan jin. Wamaa khalaqtuljinna wal insa illa liya’budun. Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia melainkan agar menyembah (kepada Allah SWT). Segala ciptaan lain, selain jin dan manusia adalah media agar manusia dan jin tuntas dalam prosesi penyembahan mereka. Semua pihak sebagai pelayan agara jin dan manusia sempurna dalam prosesi penyembahan kepada yang Hakiki.
Apakah hal ini lantas bermakna bahwa semua selain dua ciptaan ini layak menjadi korban dan musnah demi kepentingan keduanya. Terlepas apakah selain jin dan manusia ini di alam kasar yang ditinggali manusia atau alam yang ditinggali oleh bangsa jin secara terpisah.[1]
Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,[2]
Ayat ini memberi berita kepada kita bahwa, suara alquran juga menjadi konsumsi mereka (bangsa jin), suara yang dibacakan oleh seorang manusia, dengan khas suara manusia, bukan suara yang khusus untuk bangsa jin. Mereka pun memberikan respon sebagaimana halnya manusia, mereka merasa takjub kepada Quran, terlepas apakah ketakjuban disini karena irama, tata bahasa quran, atau karena isi kandungan yang ada didalamnya, menurut penulis respon ini sangat duniawi sekali. Menggambarkan bahwa sebenarnya mereka juga dekat, dan juga berada di bumi ini.
Dari sini penulis meyakini bahwa kesalehan sosial tidak hanya berkaitan dengan alam dan manusia semata di bumi ini, tapi juga berhubungan dengan jin dan alam khasnya. Baik ketika diartikan bahwa bumi adalah juga tempat tinggal bangsa jin hanya saja mereka berada di dimensi lain atau jika diartikan bahwa alam yang ditinggali bangsa jin adalah alam lain, disebut dengan alam jin.
Dari penjelasan orang-orang yang bisa melihat jin, atau pernah diajak jalan oleh jin. Posisi jin dengan karakteristik yang sama ternyata ditemukan ditempat yang sama, oleh orang-orang yang berbeda dan diwaktu yang berbeda-beda juga.
Orang yang memiliki pandangan kasyaf tentu juga bisa melihat semua ini namun mereka tidak ketakutan, logikanya demikian, orang yang sudah terbuka kasyaf matanya bisa melihat rupa manusia sesuai dengan amal dan tindak tanduknya, jadi jika seseorang berprilaku seperti babi, kalajengking, macan, dan beberapa hewan yang lain, maka rupa ruhnya merupakan perpaduan dari hewan-hewan ini, jelas rupa dari kombinasi beberapa binantang ini walau dalam keadaan tersenyum ramah juga akan terlihat sangar dan membuat bulu kuduk bergidik. Tapi para pemiliki basyirah tentu mereka adalah orang yang menempatkan rasa takut hanya kepada Allah, jadi mereka tidak menjadi heran atau apalagi ketakutan melihat hal itu didepan mereka setiap hari.
Kesimpulannya adalah bahwa kesalehan sosial oleh manusia maupun oleh jin itu berdampak kepada manusia maupun jin dan juga alam semesta. Jadi segala prilaku walau secara lahiriah adalah individual sekalipun itu tetap berhubungan dan memberikan efek kepada pihak lain, baik bangsa jin, manusia lain, atau alam semesta pada umumnya.
CATATAN:
[1] Ada yang menilai bahwa jin sebenarnya juga tinggal di bumi ini, hanya saja mereka berada di dimensi lain, dimata bangsa jin juga sama, manusia adalah makhluk yang nyata keberadaannya tapi hidup di dimensi lain. Sama-sama berada di bumi namun frekuensi keberadaannya berbeda, kalau di ibaratkan seperti menyalakan radio, ketika kita putar frekuensi 102 MHz, dan 90 MHz, maka yang muncul adalah stasiun radio yang berbeda. Padalah kita berada di tempat yang sama. Tapi suara yang kita terima berbeda. Dari dua stasiun yang berbeda yang sama sekali tidak terhubung satu dengan yang lain, tidak saling bergantung untuk menjadi ada. Begitu juga dengan alam jin, sama sama di bumi hanya saja dimensi keberadaan mereka berbeda frekuensi dengan yang ditinggali manusia. Hal juga bisa berkembang bahwa malaikat juga tinggal dibumi namun frekuensi mereka berbeda sama halnya dengan bangsa jin, alam malaikat adalah alam dengan frekuensi yang berbeda keberadaannya. Mungki sekali mereka tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Sebagaimana manusia ketika di alam mimpi, manusia juga tidak terbatasi oleh ruang dan waktu.
[2] Qs Jin: 01.