Suatu saat, Imam Ja’fas As-Shodiq (Guru dari Imam Madzhab Maliki dan Hanafi) pernah ditanya oleh salah seorang muridnya, “Apa batasan zuhud di dunia itu?”
As-Shodiq menjawab, “Allah telah memberikan batasannya dalam Al-Qur’an, Allah berfirman
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang Diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al-Hadiid:23)
Imam Ali bin Abi tholib juga pernah berkata mengenai hal ini dalam Nahjul Balaghah :
“Keseluruhan zuhud ada pada dua kata dari Al-Qur’an, yaitu ketika Allah berfirman
– Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang Diberikan-Nya kepadamu.-
Maka barangsiapa yang tidak menyesal atas apa yang hilang darinya dan tidak terlalu gembira dengan apa yang telah didapatkannya maka dia telah menguasai kezuhudan dari kedua sisinya.”
Dari pesan-pesan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa orang zuhud adalah orang yang hatinya tidak gelisah oleh urusan dunia. Ia tidak bersedih dan menyesali apa yang hilang darinya.
Di sisi lain, ia juga tidak terlalu senang dan bangga dengan apa yang telah ia dapatkan. Jika seperti ini makna zuhud yang sebenarnya, maka si miskin ataupun si kaya bisa menjadi orang zuhud. Karena jiwa yang zuhud tidak melazimkan dirinya menjadi orang miskin dan tidak memiliki apa-apa.