Yusuf Sepelekan Amanah
  • Judul: Yusuf Sepelekan Amanah
  • sang penulis:
  • Sumber: islamindonesia.co.id
  • Tanggal Rilis: 15:31:41 2-10-1403

Bagaimana mungkin engkau bisa mengenal-Nya, sementara kau lupa dengan amanahmu?

 

Suatu ketika Yusuf bermimpi telah dikelilingi bidadari nan cantik jelita. Namun, dalam mimpi itu, ia juga diperintah untuk belajar tentang Allah pada seorang ulama besar Mesir bernama Dzun Nun.

Yusuf yang kala itu dipenuhi rasa penasaran pun, segera mencari alamat Dzun Nun. Tak berlangsung lama, akhirnya rumah Dzun Nun ditemukan.

Sesampainya di kediaman, Yusuf mengucap salam lalu duduk di samping Dzun Nun. Usai menjawab salam, Dzun Nun kemudian bertanya, “Dari mana asalmu?”

“Dari Rayy,” jawab Yusuf singkat.

“Apa keperluanmu?” tanya Dzun Nun kembali.

“Aku datang untuk memintamu mengajarkanku nama Allah yang teragung,” jawab Yusuf.

Dzun Nun tidak langsung merespon permintaan Yusuf tersebut, hingga setahun pun berlalu.

Pada suatu hari, Dzun Nun menemui Yusuf, dan berkata, “Temuilah seorang kakek di sebrang sungai Nil. Berikan bejana ini padanya, dan ingatlah apa saja yang ia berikan padamu.”

Yusuf pun menurut. Dengan wajah sumringah, ia segera bergegas meninggalkan rumah Dzun Nun dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud—dengan membawa bejana. Namun, hatinya penuh tanya, ‘Apa isi bejana ini, mengapa seperti ada yang bergerak-gerak?’

Karena perjalanan yang cukup jauh, dan ia semakin penasaran dengan isi bejana itu, Yusuf akhirnya memutuskan untuk membukanya.

Di luar dugaan, seekor tikus melompat keluar dari bejana dan melarikan diri. Terang saja, peristiwa ini sontak membuat Yusuf kebingungan.

“Ke mana aku harus pergi? Meneruskan perjalanan dan menemui tetua itu, atau kembali ke Dzun Nun dan melaporkan kejadian yang sebenarnya?” Gumam Yusuf.

Tak mau disalahkan dan mendapat penolakan kesekian kalinya untuk mendapatkan ilmu tentang Tuhan, akhirnya Yusuf memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di tempat sang kakek, kebingungan Yusuf semakin bertambah. Antara takut, sedih, rasa bersalah, kecewa, semua itu bercampur menjadi satu. Tapi, tekadnya sudah bulat. Ia ingin mengenal Tuhan, juga ingin segera tahu apa hubungannya dengan para bidadari yang hadir dalam mimpinya itu.

Yusuf mengetuk pintu, mengucap salam dan kemudian duduk di beranda rumah sang kakek. Tak lama kemudian, muncullah orang yang dicari. Sang kakek membuka pintu dan menyapanya dengan senyum sembari membalas salam.

Tak sabar menunggu, Yusuf akhirnya mengawali pembicaraan dengan menceritakan peristiwa yang terjadi padanya. Dari mulai mimpinya—yang dianggap aneh, juga tentang Dzun Nun yang menyuruhnya membawakan bejana berisi seekor tikus.

Mendengar penjelasan Yusuf, tetua itu berkata, “Anak Muda, Dzun Nun melihat ketidaksabaranmu. Makanya dia memberimu seekor tikus,”

“Maha besar Allah yang telah mengujimu hanya dengan seekor tikus kecil. Sayangnya, hanya dengan seekor tikus saja, engkau tak dapat menjaga amanah-Nya. Lantas, bagaimana mungkin engkau bisa mengenal-Nya yang Maha Agung itu?” lanjut sang kakek.

Yusuf menundukkan kepala, ia merasa malu mendengar apa yang barusan diungkapkan sang kakek.

“Tuhanmu begitu mulia, kau akan mengenal-Nya, ketika kau dapat menjaga amanah-amanah-Nya. Beruntunglah saat Dzun Nun hanya memberimu amanah kecil berupa tikus itu, bagaimana jika ia mengujimu dengan amanah yang lebih besar dari itu?”

---

Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Ya’qub Yusuf ibnu Al Husein ar Radhi. Seorang pemuda yang begitu digandrungi para perempuan karena ketampanannya.

Konon, awalnya Yusuf begitu menyukai ketika para perempuan memuji dirinya. Namun, sejak malam itu, tatkala ia mendapatkan mimpi tentang bidadari dan Dzun Nun, ia pun merasa malu, dan mengabdikan hidupnya untuk belajar tentang Islam pada ulama besar Mesir kala itu.

Ya, bukankah apa pun yang diberikan Tuhan pada manusia, sekecil dan semegah apapun tidak lain merupakan amanah-Nya?—yang bisa jadi dapat mengantarkan kita untuk mengenal-Nya lebih dalam.

Yusuf akhirnya kembali ke Rayy dan berkhothbah atas perintah Dzun Nun. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Rayy pada 304 H/916 M.