EMPATI : JALAN MEMUHAMMADKAN DIRI
  • Judul: EMPATI : JALAN MEMUHAMMADKAN DIRI
  • sang penulis: Arif Mulyadi
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 16:1:20 2-10-1403


Oleh: Arif Mulyadi

Rabiul Awwal adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad Saww. Mengenai tanggal kelahirannya yang persis terdapat dua pendapat : pertama, pendapat dari Ahlussunnah yang meyakini bahwa Nabi Saww lahir pada 12 Rabiul Awal; kedua, pendapat dari Ahlul Bait Nabi yang menyatakan Nabi Saww lahir pada 17 Rabiul Awwal. Di Iran, untuk menyatukan kedua pendapat tersebut diadakan Pekan Persatuan yang dimulai dari 12-17 Rabiul Awwal di mana selama kurun waktu tersebut kaum Muslimin di sana mengadakan perayaan Maulid Nabi Saww tercinta.

Memperingati kelahiran Nabi Saww – ataupun Para Imam Ahlul Bait as – tentu saja merupakan suatu tindakan kebajikan. Akan tetapi, peringatan demi peringatan itu sendiri tak pelak lagi merupakan pengingkaran terhadap tujuan dari peringatan Maulid itu sendiri. Memang, terdapat suatu kesulitan untuk mengukur seberapa jauh efektivitas serta pengaruh dari pelaksanaan Maulid Nabi terhadap amal perbuatan kita sebagai kaum Muslimin. Karena untuk bisa meneladani secara total akhlak Nabi Saww jelaslah bukan suatu gerakan dan perubahan sehari-dua hari.

Tapi, marilah kita coba memandang peristiwa Maulid Nabi Saww dari salah satu aspeknya yakni : kemampuan empatik. Salah satu akhlak Nabi Suci Saww adalah kemampuan tersebut. Dalam psikologi, kemampuan empatik adalah kemampuan untuk menempatkan perasaan sendiri terhadap perasaan yang dialami oleh orang lain. Lebih dari sekadar sikap simpatik.

Dalam sikap empatik, ego seseorang sudah melebur dan bersenyawa dengan perasaan orang lain. Apa yang dirasakan oleh orang lain akan ia coba masukkan ke dalam hatinya sehingga dengan sikap serta kemampuan empatik tersebut orang yang menjadi sasaran empati kita semakin mencintai kita.

Salah satu contohnya adalah sebuah riwayat yang disampaikan oleh Anas bin Malik : "Rasulullah Saww pernah mendengar tangisan seorang bayi, sementara beliau sedang melakukan shalat (berjamaah). Beliau pun sengaja membaca surat pendek dan ringan.

"Selesai shalat, beliau ditanya : ‘Wahai Rasulullah, kenapa Tuan meringankan shalat pada hari ini ?’

"Beliau menjawab : ‘Sesungguhnya aku mendengar suara tangisan seorang bayi, dan aku khawatir ibunya gelisah.’ (Para Pemuka Ahlul Bait Nabi, jilid 1, hal. 75-76).

Atau, simaklah pembicaraan antara Akhnaf bin Qais dengan Mu’awiyah – seterunya Imam Ali as – perihal sikap dan perilaku empatik dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Akhnaf bin Qais bertutur kepada kita : "Saya menemui Mu’awiyah, dan disuguhkan kepadaku manisan dan makanan-makanan lezat yang belum pernah aku lihat selama ini. Kemudian Mu’awiyah berkata pula kepada pembantunya, ‘Ambilkan makanan anu.’ Mereka kemudian menyuguhkan sejenis makanan yang aku tidak tahu apa namanya. Karena itu, aku bertanya, ‘Apa ini ?’

"Mu’awiyah menjawab, ‘Ini adalah paha itik dan otak yang dibumbui fistaq dicampur anggur.’

Melihat itu, aku pun menangis. Mu’awiyah bertanya kepadaku, ‘Apa yang membuatmu menangis ?’

‘Apa itu ?’ tanya Mu’awiyah.

‘Suatu malam, ‘ kata Akhnaf, ‘ aku berada di rumah Ali bin Abi Thalib ketika mereka sedang makan. Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, ‘Ayo makanlah bersama Al-Hasan dan Al-Husain.’ Lalu beliau berdiri beranjak untuk shalat. Dan ketika selesai shalat, beliau minta diambilkan wadahnya yang tertutup rapat. Dari dalamnya beliau mengambil sepotong tepung kering, lalu menutupnya kembali.

"Aku bertanya, ‘Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda demikian ‘bakhil’ dengan cara menyimpan makanan seperti ini ?’

"Aku menyimpannya rapat-rapat bukan karena bakhil, tapi takut kalau-kalau Al-Hasan dan Al-Husain mencampurinya dengan minyak atau lauk pauk mereka, ‘ jawab beliau.

‘Apakah minyak itu haram ?’ tanyaku pula.

‘Tidak, tapi adalah kewajiban bagi para pemimpin umat untuk hidup dengan makan makanan dan mengenakan pakaian seperti rakyatnya yang paling melarat. Dengan itu orang-orang miskin melihat dirinya tidak berbeda dari mereka [pemimpin], sehingga mereka ikhlas menerima apa yang diberikan Allah. Sedangkan orang-orang yang kaya bisa melihatnya pula, dan mereka akan menjadi lebih bersyukur dan tawadhu’ terhadap kekayaan yang mereka miliki.’" (Para Pemuka Ahlul Bait Nabi, jilid 2, hal. 36-37.)

Dari dua riwayat tadi dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku empati telah dicontohkan oleh pribadi-pribadi suci. Tak perlu kita persoalkan apakah sikap itu dilakukan oleh Nabi Muhammad Saww ataukah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Karena pada hakikatnya dua pribadi itu adalah satu. Bahkan pada para pemimpin sejati selain mereka berdua dari kalangan Ahlul Bait menampilkan sikap serupa.

Sejarah menceritakan kepada kita bagaimana Imam Ali Zainal Abidin senantiasa membawa makanan untuk orang-orang miskin di malam hari. Dan, orang-orang itu tidak tahu siapa pengirim makanan tersebut kepada mereka. Mereka baru tahu kemudian ketika setelah wafatnya Imam Ali Zainal Abidin, mereka tidak mendapatkan bantuan makanan lagi. Ini diperkuat pula dengan adanya bekas-bekas pikulan pada punggung Imam. Di sini kadar empati sudah sangat tinggi sampai pada pemberdayaan pada orang-orang tak mampu.

Dunia modern tampaknya sudah kehilangan figur-figur teladan semacam itu. Bahkan di sebagian kalangan Muslim jangankan untuk meneladani figur-figur semacam itu, baru mengadakan peringatan momen-momen penting dari tokoh-tokoh sejarah tersebut, misalnya peringatan kelahiran dan kematian mereka, vonis bid'ah ataupun kata haram sudah telanjur dikeluarkan. Jelas hal itu bisa beresiko pada krisis identitas. Pada gilirannya umat akan kehilangan tokoh panutan ideal. Dulu tabloid Monitor pernah mengadakan kuis siapa tokoh favorit para pembaca. Ternyata hasil kuis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad hanya berada pada peringkat ke -11. Pro-kontra pun segera bermunculan terhadap hasil kuis yang pada gilirannya pemimpin redaksi tabloid tersebut, Arswendo Atmowiloto, dipenjarakan.

Namun ditilik dari jendela bidik lain, bisa jadi ini menunjukkan bahwa memang betul tokoh-tokoh teladan agama dan kemanusiaan ini sudah jauh dari altar aktivitas sehari-hari masyarakat [Muslim] Nabi Muhammad - ataupun tokoh suci lainnya - telah tergeser kedudukannya dan digantikan oleh pemimpin partai politik, pengusaha ternama, artis dan selebritis, ataupun tokoh-tokoh temporer lainnya yang kerap muncul pada tabung ajaib TV, media cetak, internet dan seterusnya. Kita jarang menemukan seorang Muslim di dunia modern mengatakan Nabi Muhammad adalah tokoh idolanya. Mereka barangkali akan menyebutkan orang-orang yang sering muncul di stasiunTV, surat kabar, dan yang lainnya.

Dalam tulisan lain, penulis pernah menyebutkan bahwa penting bagi seorang Muslim untuk memiliki idola yang bisa diteladani kesempurnaan hidupnya. Karena dengan memiliki idola berarti dia akan berusaha untuk bisa menjadi atau seperti idola yang ia cintai. Meminjam istilah Erich Fromm, Muslim yang ideal bukan sekadar "to have" Muhammad, tapi juga seyogyanya "to be" Muhammad. Sehingga, yang menjadi atasan semestinya berempati kepada bawahannya yang sudah megap-megap menghadapi kesulitan hidup untuk menafkahi keluarganya karena ingat dan ingin menjadi Muhammad; yang berlebih hartanya juga semestinya berempati kepada orang yang membutuhkan atau tidak mampu karena ingat Muhammad yang sering bersedekah kepada fakir miskin sewaktu beliau punya kelebihan harta; seorang miskin juga bersikap sabar dan tidak merendahkan dirinya di hadapan yang lain karena ingat Muhammad yang pernah mengikatkan batu-batu di sekeliling perutnya guna menahan lapar ; yang menjadi kepala keluarga juga semestinya berempati kepada anggota keluarganya karena ingat Muhammad yang senantiasa menunjukkan kasih sayang kepada puterinya, Fathimah serta cucunya Hasan-Husain; yang menjadi pemimpin agama, entah itu kyai, ajengan, ataupun ustadz semestinya cermat dan punya kepekaan sosial terhadap kondisi sekitarnya siapa tahu ada jemaah mereka yang mati kelaparan (baik "lapar biologis" ataupun "lapar meta-biologis") di pesantren mereka sendiri. Bukankah Nabi senantiasa mengiringkan kalimat "berimanlah kalian kepada Allah" dengan kalimat "dan berilah makan kaum miskin" ? Demikian pula para isteri pemimpin agama, kyai, ajengan ataupun ustadz semestinya menampilkan sikap empatik yang sama dengan tidak menampilkan sikap glamour, tabarruj yang bisa menyebabkan kecemburuan sosial pada masyarakat sekitarnya karena ingat Muhammad yang marah besar terhadap Fathimah yang memakai perhiasan di saat kaum Muslimin berkekurangan.

Walhasil, setiap Muslim wajib me-muhammad-kan dirinya dengan memasuki berbagai pintu.. Dan sikap empati berikut implikasi praktisnya merupakan salah satu dari pintu tersebut. Wallahu a’lam bishawwab.[]