Allah SWT berfirman;
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا لَوْلاَ نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ مُّحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ * طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الاْمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ.
“Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan celakalah bagi mereka.
“Ta’at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”[1]
Kejujuran (al-sidq) setidaknya memiliki tiga arti;
Pertama, jujur sebagai lawan (antonim) dusta, yakni jujur dalam berkata, atau tidak berbicara kecuali apa yang diyakini sesuai dengan kenyataan, karena berdusta hukumnya haram.
Tentang ini terdapat beberapa hadis sebagai berikut.
Riwayat pertama, dari Imam Jakfar Al-Shadiq AS dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;
ثلاث من كنَّ فيه كان منافقاً وإن صام وصلَّى وزعم أنَّه مسلم : من إذا ائتمن خان، وإذا حدَّث كذب، وإذا وعد أخلف. قال الله ـ عزَّوجلَّ ـ في كتابه : ﴿إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الخَائِنِينَ﴾ وقال : ﴿أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ﴾ وفي قوله : ﴿وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً.
“Ada tiga perkara yang jika terjadi pada seseorang maka dia menjadi munafik meskipun dia berpuasa, shalat, dan merasa sebagai Muslim, yaitu; berkhianat jika dipercaya; berdusta jika berbicara; dan ingkar jika berjanji. Allah Azza wa Jalla dalam kitab suciNya berfirman; ‘Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS. Al-Anfal [8]: 88).’ Dia juga berfirman; ‘Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta (QS. Al-Nur [24]; 7).’ Dia juga berfirman; ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi (QS. Maryam [19]: 54 ).’”[2]
Riwayat kedua, dari Muhammad bin Muslim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Muhammad Al-Baqir as berkata;
إنَّ الله ـ عزَّ وجلَّ ـ جعل للشرِّ أقفالاً، وجعل مفاتيح تلك الأقفال الشراب، والكذب شرُّ من الشراب.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membuatkan gembok-gembok untuk keburukan, dan menjadikan minuman keras sebagai kunci untuk gembok-gembok itu, namun kedustaan lebih buruk daripada minuman keras.”[3]
Maksudnya kemungkinan ialah bahwa orang yang menenggak minuman keras akan kehilangan akalnya, dan ketika kehilangan akalnya maka dia berpotensi melakukan kejahatan. Tapi dusta ternyata lebih keji daripada minuman, karena orang yang konsisten pada kejujuran akan cenderung meninggalkan kejahatan.
Sebab, manusia acapkali bergantung kepada dusta dan penipuan dalam berbuat jahat, atau bergantung pada dusta untuk menutupi keburukan dan kejahatannya. Dengan demikian maka kedustaan menjadi kunci untuk membuka kejahatan. Orang yang mabuk berbuat jahat cenderung di luar kesadarannya, sedangkan pendusta berbuat jahat dengan sengaja, disadari, dan bahkan akan cenderung berbuat jahat sebanyak mungkin selagi dia mampu dan berkesempatan demi kepentingannya sendiri. Atas dasar ini, dusta lebih buruk daripada minuman keras.
Riwayat ketiga, dari Husain bin Abi Ala’ dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
إنّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ لم يبعث نبيّاً إلاّ بصدق الحديث وأداء الأمانة إلى البرِّ والفاجر.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jallah tidak mengutus nabi kecuali dengan kejujuran dalam berbicara dan menyampaikan amanat kepada orang baik maupun orang yang keji.”[4]
Riwayat keempat, dari Ishak bin Ammar dan lain-lain dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
لا تغترُّوا بصلاتهم ولا بصيامهم; فإنَّ الرجل ربَّما لهج بالصلاة والصوم حتّى لو تركه استوحش، ولكن اختبروهم عند صدق الحديث وأداء الأمانة.
“Janganlah tertipu oleh shalat maupun puasa mereka, karena bisa saja seseorang menjaga shalat dan puasa sehingga bahkan cemas jika meninggalkannya, tapi ujilah dulu mereka dengan kejujuran dalam berbicara dan menyampaikan amanat.”[5]
(Bersambung)
CATATAN :
[1] QS. Muhammad [47]: 20 – 21
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 340, Bab Jihad Al-Nafs, hadis 45.
[3] Ibid, jilid 12, hal. 244, Bab 138, Ahkam Al-Asyrah, hadis 3.
[4] Bihal Al-Anwar, jilid 71, hal. 2.
[5] Ibid.