Mengenal Sifat Kibr (sombong)
  • Judul: Mengenal Sifat Kibr (sombong)
  • sang penulis: ust. Syamsunar
  • Sumber: bagendaali.com
  • Tanggal Rilis: 10:7:59 2-10-1403

Tuhan berfirman: Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi degan angkuh. Sungguh, Allah tdk menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (Qs: Luqman, ayat 18).

Rasulullah Saw bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang terdapat kibr (kesombongan dan keangkuhan) di hatinya meskipun sebesar biji bayam (Wasail Syiah, jld 11, hal 307).

Pengertian dan Derajat Kibr

Kibr adalah suatu kondisi kejiwaan dimana sipemiliknya merasa tinggi, besar, dan superior dalam berhadapan orang lain. Dan tindakan serta perbuatan yang keluar dari sifat kibr disebut takabbur (Imam Khomeni, Syarh-e Chel hadits, hal 79). Ghalibnya sifat rendah ini lahir dari sifat ujub, dimana seseorang mengira dirinya mempunyai kelebihan, keutamaan, dan kesempurnaan sehingga muncul perasaan bangga dan puas terhadap dirinya, yang mana kondisi kejiwaan internal ini dinamakan ujub. Berangkat dari kondisi inilah kemudian dia melihat orang lain serba memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga muncullah perasaan tinggi hati dan superior dalam berhadapan orang lain yang dinamakan dengan kibr (Ibid).

Manusia yang mempunyai sifat kibr boleh jadi bertingkat-tingkat, dari yg paling tinggi hingga derajat yang rendah. Kibr yang tertinggi adalah ketika seorang hamba sombong dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa zhalim, menyusul kemudian kibr dalam berhadapan para Nabi as utusan Tuhan, para Imam Maksum as, dan para wali Tuhan lainnya. Derajat berikutnya adalah kibr dalam berhadapan perintah dan larangan Tuhan, selanjutnya kibr dalam berhadapan hamba-hamba Tuhan dimana dalam derajat ini juga bertingkat-tingkat sejauh kemuliaan yang dimiliki hamba-hamba tersebut disisi Tuhan, seperti ulama, guru, orangtua, dan lainnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang sahabat Imam Jakfar as bertanya kepada beliau tentang paling rendahnya ilhad (berpaling dari Tuhan, mulhid artinya ateis), beliau berkata: Sesungguhnya kibr adalah paling rendahnya ilhad (Ushul Kafi, jld 2, hal 309).

Penyakit Kibr dalam Kelompok Masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat beragama terdapat kelompok-kelompok masyarakat sesuai degan disiplin ilmu dan profesinya, diantaranya terdapat kelompok ulama irfan atau tasauf, filosof, ahli fiqh dan hadits, serta profesi-profesi kerja sepeti dokter, insinyur, ekonom, budayawan, seniman, dan lainnya. Masing-masing diantara kelompok masyarakat tersebut terkadang terdapat semacam kibr dalam memandang lainnya, seperti sebagian ulama irfan memiliki pandangan bahwa diri merekalah pemilik syuhud dan mukasyafah serta makrifat tinggi sehingga paling layak dimuliakan dan diagungkan, degan kaca mata tersebut mereka memandang yang lainnya rendah.

Mereka memandang filosof dan teolog hanya mempunyai makrifat dalam batas kulit, ulama fiqh dan ahli hadits hanya sibuk dalam masalah lahiriah agama dan lalai dari masalah batin, serta memandang masyarakat pada umumnya layaknya binatang ternak yang hanya sibuk degan makan, minum, dan berketurunan.

Tentu model pandangan demikian tidak lahir dari ahli irfan hakiki, karena jika mereka benar-benar pemilik makrifat Ilahiah maka syuhud mereka terhadap ciptaan Tuhan adalah dalam bentuk manifestasi-manifestasi Ilahiah, dan ini malah akan memberikan sebentuk pandangan pada mereka untuk tidak sombong dan angkuh dalam berhadapan mazhar-mazhar Tuhan, sebab meremehkan ciptaan Tuhan akan berimplikasi tentunya pada peremehan sang pencipta.

Demikian juga dikalangan filosof, terkadang terdapat diantara mereka yang melihat bahwa hanya kalangan mereka pemilik makrifat yaqin degan burhan dan argumentasi logikal dan rasional, hanya mereka yang punya pengetahuan tentang Tuhan, malaikat, kenabian, dan alam akhirat yang benar, sedangkan yang lainnya tidak mempunyai makrifat yang cukup tentang masalah-masalah tersebut. Mereka mengobral kesombongan ilmu kepada yang lainnya dan menilai mereka tidak ubahnya anak kecil yang tidak memahami masalah-masalah pelik orang dewasa. Mereka lalai sekiranya benar-benar memahami mabda dan maad maka mereka mestilah memandang sama diri mereka dengan yg lainnya, sebab selain Al-Wajib Ta’ala semuanya hanyalah imkan faqri, yakni ketidakberpunyaan dan kebergantungan itu sendiri pada yg Mahakaya, bukan sesuatu pemilik sesuatu dan tidak memiliki lainya. Tetapi identitasnya sendiri itulah yang identik dan sama degan kefakiran dan ketidakberpunyaan, sebagamana firman Tuhan: Wahai manusia, kamu semua  adalah fuqaraa kepada Allah, dan hanya Allah yg Mahakaya dan Mahaterpuji.

Kibr yang terjadi dikalangan fuqaha biasanya berbentuk pandangan bahwa hanya kelompok mereka yang mendalami dan memahami agama, karena itu mereka merasa hanya golongan mereka yang benar menjalankan agama Tuhan, adapun ilmu-ilmu yang lain semuanya diluar ilmu agama; ilmu irfan sesat, ilmu kalam dan filsafat batil, dan lainnya. Mereka merasa memiliki otoritas tertinggi agama sehingga mereka tidak ditanya dalam perbuatannya dan hanya yang lain mesti dipertanyakan amalan dan perbuatannya. Terkadang mereka dengan pandangannya mempersempit surga untuk kelompok mereka, padahal bukankah mestinya surga sebagai rahmat Tuhan pintunya terbuka lebar bagi seluruh hamba-Nya dan sangatlah luas, sebagaimana dalam riwayat dan doa didapatkan ungkapan, Rahmat-Nya mendahului Murka-Nya, Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.

Berbeda lagi di luar lingkungan kelompok agama, kibr yang terdapat dalam kelompok masyarakat dikarenakan profesi, status sosial, banyaknya kekayaan, popularitas, dan lainnya. Mereka semua berbangga-bangga dan menyombongkan diri degan atribut-atribut iktibari yang mereka peroleh lewat kontrak sosial, padahal semuanya itu bukanlah perkara hakiki, setiap waktu bisa kehilangan dari diri mereka. Betapa banyak orang yang tadinya dieluk-elukkan karena jabatannya atau kekayaannya, tapi karena suatu sebab mereka tercampakkan dan bahkan jadi sampah masyarakat. Coba kita renungkan bersama untuk apa kita kibr dan sombong kepada orang lain, bukankah kita semuanya sama pemikul kotoran, sebagaimana sabda Imam Ali as: Saya heran terhadap anak keturunan Adam, awalnya adalah nutfah dan akhirnya adalah bangkai, serta diantara keduanya (nutfah dan bangkai) dia hanyalah wadah kotoran tai, lantas mengapa dia takabbur (Biharul Anwar, jld 73, hal 234).

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa mereka yang di dunia ini kibr dan bersikap takabbur terhadap orang lain kelak akan merasakan kerendahan dan kehinaan, sebagaimana perkataan Imam Shadiq as: Sesungguhnya orang-orang takabbur akan dijadikan dalam bentuk semut lemah dan manusia akan menginjak-injaknya sampai Tuhan selesai dari perhitungan (Ushul Kafi, jld 2, hal 11, kitab iman dan kufur, bab kibr, hadits 11).

Terapi Amali Menjauhkan dan Menghilangkan Kibr

Mengerjakan pekerjaan sehari-hari seperti menyapu halaman, belanja dipasar rakyat, memberi salam pada orang, mengantar anak-anak kesekolah, membersihkan selokan rumah, antrian, dan lainnya dapat menjauhkan manusia dari kibr dan mengobati penyakit kibr. Pekerjaan-pekerjaan yang dari sudut pandang masyarakat tidak sesuai dengan kedudukannya serta kibr tidak mengizinkannya untuk mengerjakan pekerjaan seperti itu, mestilah ia lakukannya supaya ia terlepas dari penyakit qalbu yang sangat berbahaya ini. Rasulullah Saw bersabda: Niscaya menyenangkanku bahwasanya seseorang mengambil dan membawa sesuatu di tangannya (demi menjauhkan kibr darinya) untuk menggembirakan keluarganya.

Sebagai contoh teladan dalam masalah ini, Rasulullah Saw sendiri sangatlah tawadhu dalam kehidupannya dan sangatlah jauh dari sifat kibr. Ibnu Abbas ra berkata: Rasulullah Saw duduk diatas tanah dan makan diatas tanah serta mengikat domba dan memenuhi undangan hamba sahaya. Rasulullah Saw sendiri berkata tentang dirinya dalam sabdanya: Saya adalah seorang hamba dan saya makan sebagaimana seorang hamba makan dan saya duduk sebagaimana seorang hamba duduk (Makrimul Akhlak, hal 12).

Tidak ada jalan lain, untuk selamat dari murka Tuhan haruslah menjauhkan diri dari sifat kibr, dan jika terlanjur sudah terkena virus berbahayanya maka segeralah mengobatinya, demi untuk terhindar dari bencana besar yang akan menimpa, sebagaimana nasihat Imam Shadiq as pada sahabatnya: Takut dan jauhilah kibr, sebab kibr  jubah khusus Tuhan, dan barang siapa yang menentang Tuhan dalam masalah itu maka Allah akan membinasakannya dan menghinakannya pada hari kiamat (Wasail Syiah, jld 11, hal 300).

Semoga kita terhindar dan terjauhkan dari sifat dan penyakit rendah dan radzilah ini.