Sedih Karena Allah (2)
  • Judul: Sedih Karena Allah (2)
  • sang penulis:
  • Sumber: safinah-online.com
  • Tanggal Rilis: 9:51:58 2-9-1403

“Seorang mukmin keceriaannya ada di wajahnya, kesedihannya terpendam dalam hatinya,” berkenaan dengan dua sifat yang berseberangan satu sama lain namun dapat saling menunjang sehingga dampak buruk masing-masing dapat teratasi. Kesedihan saja cenderung membawa manusia menjauh dari masyarakat dan aktivitas sosial, sebagaimana keceriaan saja juga dapat menimbulkan kevakuman, kesia-siaan dan kesombongan.
Sedangkan jika kesedihan karena Allah di dalam kalbu dapat bertemu dengan keceriaan yang diperintahkan kepada seorang mukmin di depan masyarakat maka akan terjadi keseimbangan sehingga masing-masing sifat bisa menjadi suatu kelebihan dan kesempurnaan serta bermanfaat bagi masyarakat, agama, dunia dan akhiratnya.
“Dadanya paling lapang, jiwanya paling merendah” juga berkenaan dengan realitas tentang dua sifat yang dapat saling menunjang. Kelapangan dada saja dapat menyebabkan seseorang terjebak pada kesombongan karena dengan kelapangan ini dia dapat mengatasi banyak persoalan. Karena itu harus dikendalikan oleh sifat lain berupa kerendahan diri. Dengan kerendahan diri ini dia akan peka terhadap berbagai kekurangannya. Jiwanya merendah di depan kalbunya, dan mencela berbagai kesalahan yang ada. Dengan demikian dia tidak terjebak pada kecongkakan karena terjadi keseimbangan.
“Kikir dalam menunjukkan kebutuhan (tak suka meminta)”; Kata الخلّة jika dibaca “khallah” berarti kefakiran dan kebutuhan, dengan demikian kalimat ini berarti bahwa seorang mukmin memiliki sifat yang “kikir” dengan arti “tidak gampang” menunjukkan kesusahannya untuk kemudian meminta pertolongan kepada orang lain. Sedangkan jika dibaca “khullah” maka berarti keikhlasan dan ketulusan. Arti inilah yang digunakan oleh Ibnu Abil Hadid tapi kemudian dia menafsirkannya sebagai sifat seorang mukmin yang banyak menyendiri dan jarang bergaul dengan masyarakat. Tafsiran demikian tampaknya tidak tepat karena justru sejalan dengan tradisi kaum sufi gandungan. Sebaliknya, yang lebih relevan ialah bahwa kalimat ini bermakna menjaga ketulusan kepada orang-orang yang dijadikan sebagai kawan dan saudara di jalan Allah. Dan ketulusan ini ditunjukkan antara lain dengan berbagi nasihat dan nikmat.
“Jiwanya paling teguh tapi lebih merendah daripada hamba sahaya”: Kalimat ini juga berkenaan dengan dua sifat yang harus saling menunjang. Keteguhan dan kesolidan, meskipun berkenaan dengan keberanian di jalan Allah dan perlawanan terhadap kebatilan, namun juga dapat menjebak manusia kepada kesombongan, karena bagaimanapun juga keteguhan itu merupakan sebentuk rasa percaya diri. Karena itu, ketika orang yang teguh itu ternyata juga memiliki sifat yang lebih merendah daripada hamba sahaya maka kedua sifat ini menjadi sangat bermanfaat bagi kesempurnaan jiwa.
Demikianlah para imam Ahlul Bait as mendidik setiap Muslim agar menjadi arif sejati, dan melatihnya agar di malam hari menjadi seorang “pertapa” dan di siang hari menjadi seorang “ksatria”. Kesedihan yang mendalam merupakan salah satu menifestasi tangisan, demikian pula “al-khauf” (rasa takut).
Ada berbagai riwayat yang memuji tangisan yang terdorong oleh rasa takut kepada Allah SWT atau kesedihan yang mendalam karenaNya, antara lain sebagai berikut;
Imam Ja’far al-Shadiq as meriwayat dari ayah dan para leluhurnya bahwa Rasulullah saw bersabda;
ومَنْ ذرفت عيناه من خشية الله كان له بكلّ قطرة قطرت من دموعه قصرٌ في الجنّة، مكلّل بالدرّ والجوهر، فيه ما لا عين رأت، ولا أُذن سمعت، ولا خطر على قلب بشر.
“Dan barangsiapa berlinang air mata karena takut kepada Allah maka untuknya satu istana di surga atas setiap tetes air matanya; istana yang penuh kemilau mutiara dan permata, yang di dalamnya terdapat apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terlintas dalam hati manusia.”[1]
Mungkin terasa aneh, mengapa pahala menangis karena takut kepada Allah SWT sedemikian besar. Tapi rasa penasaran ini dapat terjawab oleh dua poin sebagai berikut;
Pertama, tangisan mencerminkan terjadinya perubahan besar dalam diri dan adanya sebentuk interaksi yang istimewa dengan Allah dan segala perintah dan laranganNya. Kemahaagungan Allah SWT hadir dan bermanifestasi dalam kalbu sehingga khusyuk memacari jiwa. Atas dasar ini, tangisan takut kepada Allah memperlihatkan tingginya tingkat penyelesalan atas segala maksiat sehingga mendatangkan ampunan, sebagaimana disebutkan dalam hadis selanjutnya;
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata;
إنّ الرجل ليكون بينه وبين الجنّة أكثر ممّا بين الثرى إلى العرش; لكثرة ذنوبه، فما هو إلاّ أن يبكي من خشية الله ـ عزّ وجلّ ـ ندماً عليها حتّى يصير بينه وبينها أقرب من جفنه إلى مقلته.
“Jarak seseorang dari neraka lebih jauh daripada jarak permukaan bumi dari arasy akibat dosanya, maka dia tak lain harus menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla sebagai penyesalan atasnya agar jarak dia dengan surga menjadi lebih dekat daripada jarak antara mata dan kelopaknya.”[2]
Hal ini tentu saja tidak menegasikan persyaratan taubat lainnya. Sebab, jika tangisan memang terdorong oleh penyesalan yang sesungguhnya maka ini meniscayakan terpenuhi semua persyaratan.
(Bersambung)
CATATAN :
[1] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 223, Bab 15 Jihad al-Nafs, Hadis 1.
[2] Ibid, hal. 226 – 227,Hadis 10.