sebuah hadis dari Imam ke-5 tersebut tentang fananya dunia.
يا جابِرُ! الدُّنيا عِندَ ذَوِی الاَلبابِ کَفَیءِ الظِّلالِ، لا اِلهَ اِلَّا اللَّهُ اِعزازٌ لِاَهلِ دَعوَتِهِ، الصَّلاةُ تَثبيتٌ لِلاِخلاصِ وَ تَنزيهٌ عَنِ الکِبر
“Wahai Jabir! Dunia bagi orang-orang yang berakal ibarat bayangan setelah zawal (tergelincirnya matahari), (kalimat Tauhid) La ilah illallah memuliakan para penyerunya, shalat mengokohkan keikhlasan dan menjauhkan rasa sombong.”[1]
Usia kita ibarat bayangan. “فَیء” adalah bayangan yang muncul setelah matahari tergelincir. Bayangan ini menjadi tanda akan berakhirnya siang hari dan setiap kali bayangan ini tampak memanjang menunjukkan bahwa hari akan segera berakhir. Usia kita juga demikian adanya. “الدُّنيا” di sini yakni usia kita semua yang sama seperti bayangan ini. Setiapkali bayangan ini memanjang, artinya bahwa kita semakin dekat dengan garis finis. Sebagian orang merasa gembira ketika berada di penghujung tahun dan memasuki tahun baru. Hal itu tidak menjadi masalah karena merayakan tahun baru dan bergembira juga tidak ada salahnya, namun perlu juga diperhatikan bahwa saat tahun berakhir artinya usia kita juga akan berakhir. Usia kitalah yang sejatinya saat ini mendekati titik finis, tidak peduli tua atau muda; tentunya kemungkinan ajal orang tua lebih besar, namun yang muda-muda juga ada (yang dijemput ajal). Sebagian pemuda yang jauh lebih muda usianya dari kita dan berada di tengah-tengah kita telah meninggal dunia. Hal ini harus diperhatikan bahwa ketika waktu terus berlalu, sesungguhnya semakin mendekatkan kepada garis finis (ajal).
لا اِلهَ اِلَّا اللَّهُ اِعزازٌ لِاَهلِ دَعوَتِهِ
Bahwa kalimat “La Ilah Illallah” (Tiada Tuhan selain Allah) yaitu kalimat Tauhid memuliakan para penyeru atau pengucapnya. Kenapa demikian? Karena ketika Anda mengucapkan La Ilaha Illallah, Anda menafikan penghambaan selain Allah. Problem utama masyarakat dalam sepanjang sejarah adalah penghambaan kepada selain Allah, misalnya penghambaan kepada para Fir’aun. Saat ini pun terjadi yang demikian; orang menjadi hamba harta, hamba jabatan, hamba syahwat (nafsu), hamba kekuasaan.
Ketika Anda mengucapkan La Ilaha Illallah artinya aku hanya memiliki satu sesembahan; aku tidak menyembah harta, tidak pula kedudukan, tidak juga kekuasaan atau Fir’aun. Penghambaan (ibadah) tidak berarti seseorang harus menyembah-nyembah; bahkan mungkin saja ia tidak meyakini dalam hatinya, namun menyembah dan mengagungkannya. Ibadah artinya memberikan ketaatan sepenuh hati dan jiwa. Maka ketika kita mengucapkan La Ilaha Illallah, sesungguhnya kita sedang mempersiapkan modal kemuliaan untuk diri kita sendiri, artinya kita sedang melepaskan diri dari belenggu itu “وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ” (Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka).[2]
الصَّلاةُ تَثبيتٌ لِلاِخلاصِ
Di antara kekhususan shalat adalah mengokohkan keikhlasan (ketulusan kepada Allah), yaitu berbuat semata-mata hanya karena Allah; karena shalat adalah dzikir murni kepada Allah dan tidak bercampur dengan sesuatu pun. Sejak pertama seseorang mengucapkan takbiratul ihram, ia akan sibuk dengan dzikir (bila benar-benar khusyu’). Orang yang benar-benar hatinya khusyu’ dan merasa berada di hadapan Tuhan, keseluruhan shalatnya adalah dzikir; baik ucapan atau gerakannya. Saat berdiri, rukuk, sujud, mengangkat tangan di hadapan Tuhan, dzikirnya murni (untuk Tuhan) dan akan menambahkan (mengokohkan) ketulusan.
وَ تَنزيهٌ عَنِ الکِبر
Dan menjauhkan manusia dari kesombongan; karena ia akan bersujud dan tersungkur di hadapan-Nya. Tentunya harus diperhatikan bahwa dalam beberapa shalat yang kita lakukan, terutama sebagian kita misalnya menjadi imam shalat berjamaah yang dihadiri oleh banyak orang, hal ini akan menimbulkan rasa sombong, angkuh dan ujub terhadap diri sendiri. Di saat-saat seperti itulah terkadang muncul pikiran bahwa shalat ini karena aku, sementara ratusan, ribuan dan puluhan ribu orang makmum yang berdiri di belakang tidak berarti apa-apa. Jika terlintas pikiran seperti itu, maka itulah kesombongan dan ujub. Namun bila tidak ada pikiran yang demikian, kesombongan atau ujub dapat ditakhlukkan dan yang ada hanya takzim, takrim, dan sujud bersungkur (di hadapan Ilahi).
===============================
CATATAN:
CATATAN:
[1] Amali Thusi, Majlis ke-11, halaman 296.
[2] QS. Al-A’raf [7]: 157