Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur
  • Judul: Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur
  • sang penulis: ust. Ismail Amin
  • Sumber: bagendaali.com
  • Tanggal Rilis: 1:23:56 2-9-1403

Tradisi menyambut Ramadhan dengan berziarah kubur, telah menjadi tradisi tahunan masyarakat muslim diberbagai belahan dunia. Tidak terkecuali masyarakat muslim Indonesia, tiga atau dua hari sebelum bulan Sya’ban berakhir, masyarakat muslim berjubelan di tempat pemakaman diberbagai kota di negeri ini. Bahkan terkadang ramainya melebihi suasana berziarah kubur di hari lebaran. Sebenarnya tidak ditemukan riwayat satupun dari Nabi saww yang mengkhususkan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan.

Mengenai ziarah kubur. Rasulullah saww lebih memilih menganjurkannya secara umum dan terbuka dan tidak menetapkan batasan tertentu. Beliau saww bersabda, “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim). Diantara hikmahnya kata Rasul, “Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat dan menambah kebaikan pada diri kalian.” (HR. Ahmad).

Karena tidak ada ketentuan khusus dari Nabi saww, maka berziarah kubur bisa dilakukan kapan saja. Setiap muslim bisa membuat agenda tersendiri, apakah menetapkan baginya ziarah kubur setiap hari Senin dan Kamis perpekan, setiap hari Jum’at, sebulan sekali, atau hanya pada hari-hari tertentu, termasuk mentradisikan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan atau bahkan tidak membuat agenda khusus, kapan merasa perlu saja. Hanya saja, karena tidak adanya petunjuk khusus dari Nabi saww mengenai waktu-waktu tertentu untuk berziarah, maka kita tidak boleh memberi penetapan bahwa misalnya ziarah pada hari Kamis lebih afdhal dibanding pada hari lain, ataupun menganggap telah berdosa mereka yang lalai dari ziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan.

Nabi saww lebih memilih fleksibel dalam anjurannya kepada kaum muslimin untuk menziarahi kuburan, karena ziarah kubur dapat memberikan manfaat positif yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan dan kesehatan jiwa, menambah keimanan, memberi berbagai pelajaran hidup dan menanamkan sifat kesederhanaan, zuhud dan dapat mengikis rasa tamak dan loba terhadap dunia. Kita bisa melakukannya kapan saja, setiap kita merasa palung hati kita ditimbuni gumpalan noda dendam dan dosa, berziarahlah. Setiap palung hati kita terkuburi oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis, maka berziarah kuburlah, kata Nabi, “Itu akan mengingatkanmu pada akhirat.”

Adanya tradisi ziarah kubur menjelang Ramadhan, bisa jadi terbentuk dari anjuran Nabi saww sendiri. Beliau saww menganjurkan kepada setiap muslim untuk memasuki Ramadhan dengan jiwa yang bersih, terlepas dari kebencian dan permusuhan apapun terhadap sesama muslim, saling mendo’akan, saling memaafkan, saling mengunjungi dan menyambung silaturahmi. Kematian seseorang, tidak serta merta memutuskannya dengan kehidupan di dunia ini, sehingga dengan meninggalnya seseorang telah berarti tamatlah riwayatnya dan tidak ada lagi sangkut pautnya dengan apapun yang masih berada di dunia ini.

Dengan mereka yang lebih dahulu meninggal dunia pun, kita tetap wajib untuk tetap saling menyambung silaturahmi. Allah SWT berfirman, “…dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Qs. Ar-Ra’d: 21). Para mufassir mengatakan, yang dimaksud oleh Allah SWT menghubungkan apa-apa yang telah Allah perintahkan supaya dihubungkan adalah, silaturahmi dan persaudaraan. Dalam kitab Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim al Jautziyah menuliskan, Rasulullah saww senantiasa menziarahi kubur para sahabatnya, mendo’akan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Bahkan Rasulullah saww mengajarkan setiap berziarah, kita mengucapkan salam kepada ahli kubur, “Assalamu ‘alaa ahliddiyaari minal mu’minina wal muslimina, antum lana farathun wa nahnu insya Allahu bikum laahiquuna, Salam sejahtera atas (kalian wahai) para penghuni tempat-tempat ini, baik kaum mukmin maupun muslim, kalian telah mendahului kami dan atas kehendak Allah kami pun akan menyusul kalian.” Dari sini bisa dikatakan, kita diperintahkan oleh syariat ini untuk tetap menyambungkan silaturahmi hatta kepada saudara-saudara kita yang lebih dahulu meninggal dunia.

Perintah Nabi, untuk mengucapkan salam kepada mereka setiap berziarah, meniscayakan salam-salam kita mereka dengar bahkan membalasnya. Adalah kesia-siaan, jika Nabi memerintahkan kita mengucapkan salam dengan mukhatib (pendengar/teman bicara) para ahli kubur, namun mereka tidak diberikan kemampuan oleh Allah SWT untuk mendengar dan menjawab salam-salam kita.

Adanya diantara saudara kita yang menghukumi ziarah kubur menjelang Ramadhan yang selama ini ditradisikan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia sebagai praktik bid’ah dan tidak ada landasan dalilnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita katakan, ziarah kubur adalah diantara sunnah Rasul yang hukumnya sunnah sebagaimana dalil yang telah dituliskan di atas, dan Rasulullah saww fleksibel dalam hal penetapan waktu berziarah, sebagaimana halnya shalat-shalat yang hukumnya sunnah yang tidak ada penentuan dari Nabi saww mengenai batasan jumlah raka’atnya, maka kita boleh melakukan berapa raka’at yang kita mampu. Seperti shalat malam misalnya, kita bisa menetapkan bagi diri kita sendiri, melakukan dua raka’at setiap malam, delapan raka’at atau bahkan menetapkan diri sendiri melakukannya hanya sekali dalam sebulan, sebab paling minimal adalah melakukannya sekali dalam seumur hidup. Kecuali jika ada hadist dari Nabi yang memberikan batasan dan menentukan waktu-waktu yang makruh bahkan haram untuk berziarah kubur.

Sama halnya dengan masyarakat muslim di Indonesia, masyarakat Iranpun kental dengan tradisi ziarah kubur sehari sebelum memasuki Ramadhan. Kalau dinegeri kita, yang menjadi tempat ziarah adalah makam sanak saudara yang lebih dulu meninggal dunia. Di Iran sedikit berbeda, para peziarah berdatangan ke makam-makam orang-orang yang mereka agungkan, yakni makam keluarga Nabi, para ulama dan taman makam pahlawan mereka.

Masyarakat Iran yang mayoritas Syiah memang dikenal sangat mengagungkan makam para imam dan ulama-ulama mereka. Makam-makam mereka dibangun dengan hiasan yang indah dan megah, dibangun dengan cita rasa estetika yang tinggi, penuh dengan ornamen-ornamen dengan warna-warna yang menyejukkan mata. Bagi mereka Nabi dan para wali adalah tanda teragung dan terbesar dari agama Allah SWT. Maka pengagungan yang harus dipersembahkan terhadap mereka adalah pengagungan dan penghormatan yang paling utama. Merekalah yang telah menyampaikan agama Allah kepada umat manusia.

Menjaga baik-baik makam-makam, peninggalan-peninggalan para nabi dan ulama agar tidak hilang musnah adalah penghormatan dan pengagungan sebaik-baiknya terhadap mereka. Menurut mereka, dengan terpeliharanya makam para shalihin, maka ajaran merekapun akan selalu terkenang dalam hati dan tentu saja akan malu jika mengagungkan makam para shalihin namun mengabaikan ajaran mereka.

Wallahu ‘alam Bishshawwab