Wuquf di padang Arafah merupakan rukun haji. Artinya, bagi orang yang melaksanakan manasik haji, tidaklah sah hajinya dengan meninggalkan rukun ini.
Pada tanggal 9 Dzulhijjah yang disebut dengan hari Arafah, tak hanya bagi jemaah haji, terdapat amalan-amalan yang dianjurkan bagi kita, di antaranya membaca doa malam Arafah dan siangnya. Dapat dirujuk kitab Mafatihul Jinan karya Almarhum Syaikh Abbas al-Qummi, misalnya. Di bagian amalan bulan Dzulhijjah diterangkan tentang keutamaan-keutamaan hari Arafah beserta amalan, bacaan dan doanya.
Syaik Abbas Qommi menerangkan: “Meskipun tidak disebut sebagai hari raya, tetapi merupakan hari besar, di dalamnya Allah menyeru hamba-hamba-Nya agar melakukan amal ibadah dalam ketaatan kepada-Nya. Pada hari ini, syaitan merasa dirinya hina dan marah lebih daripada hari-hari lainnya..”
Selain mandi, ziarah kepada Imam Husein cucu Rasulullah saw, shalat dua rakaat ba’da asar, dianjurkan bagi kita membaca doa Arafah. Dalam sejarahnya, doa ini disampaikan oleh Imam Husein pada waktu sore di hari Arafah.
Sebagai seorang hamba di dalam doanya, ia memanggil Tuhannya. Dengan penuh rasa berharap memohon kepada-Nya. Apa yang ia harapkan? Pahala, rahmat dan keridhaan dari Allah. Hanya kepada Allah lah ia meminta. Karena hanya Dia lah yang ia percaya.
Hal itu sebagaimana dalam kisah nabi Ibrahim as, ketika dipersekusi oleh kaum musyrik dengan membakarnya hidup-hidup, Jibril datang kepadanya dan berkata: “Hai Ibrahim, apakah kamu perlu bantuan?”
Ia berkata, “Tidak kepadamu! Tetapi aku memerlukan bantuan hanya kepada Allah!”.
Dengan demikian, karena ia berlindung kepada Allah di saat kesulitan, api yang membakar tidak berefek bagi Sang Anggota Ulul’azmi ini. Allah Yang Mahakuasa telah mengeluarkan perintah kepada api: “” (QS: al-Anbiya` 69)
Kembali ke Fitrah, Manusia Menyeru: “Tuhanku..”
Ya, hanya Allah Rabbul ‘alamin Yang Ibrahim seru. Rasulullah saw bersabda:”Siapa memanggil Allah swt, menyeru Dia sampai tujuhkali; “Yâ Allâh yâ Rabbi..”, niscaya Allah mengabulkan semua hajat yang dia mohon baginya.” (ad-Da’awat/ar-Rawandi, 44; al-Mahasin/al-Barqi, 35-36).
Dalam riwayat-riwayat lainnya disampaikan, “Rabbanâ” limakali; atau “Rabbi” atau ”yâ Rabbi” tigakali. Maka Allah berfirman, “Labbaika ‘abdi, sal tu’tha.. (Aku datang wahai hamba-Ku menyambut panggilanmu. Mintalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan bagimu!)” (Kanzul ‘Ummal 2/64, dan lainnya).
Sebuah riwayat dari Imam Shadiq, beliau ditanya tentang nama teragung Allah yang mesti diseru dalam memohon kepada-Nya. Saat itu musim dingin, ada sebuah kolam milik beliau. Imam berkata kepada si penanya: “Masuklah ke dalam kolam ini, dan berendamlah sampai aku beritahu soal itu kepadamu!”
Ketika dia melakukan hal itu, Imam Shadiq menyuruh sahabat-sahabatnya yang hadir menahan orang itu, sehingga dia berdiam di dalam air. Saat dingin memuncak baginya, dia berucap: “Rabbi aghitznî..” (Tuhan, tolonglah aku!)
Imam berkata, “Itulah (jawabannya) yang dia tanyakan tadi kepadaku.” (Raudhul Jinan wa Rauhul Janan fi Tafsir al-Qur`an 1/69)
Pensyarah Doa Arafah, Mulla Muhammad Ali Fadhil (Haji Fadhil Khurasani; 1260-1342 H) menjelaskan: Maksud Imam Shadiq dari penerapan tersebut ialah menggugah dan mengembalikan orang itu kepada fitrahnya, bahwa manusia dalam tarbiyah Tuhannya akan memohon pertolongan kepada-Nya. Dialah yang membimbing dan mendidik hamba-Nya dalam berbagai musibah, kesulitan dan penderitaan.
Sesungguhnya Adam dan Hawa dalam kembali kepada Allah, mengungkapkan: “Rabbanâ zhalamnâ anfusanâ..”, dan Allah menerima taubat keduanya.
Ketika nabi Nuh as teraniaya oleh kaumnya yang ingkar, memohon kepada Allah: “Rabbi (Ya Tuhan-ku), janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS: Nuh 26).
Nabi Ibrahim as pun berdoa dengan Nama Allah ini: “Rabbi (Ya Tuhan-ku), berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” (QS: asy-Syu’ara 82).
Nabi Musa as dalam kisahnya, setelah membunuh seorang Qibthi, memohon ampunan kepada Allah: “Rabbi (ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.” (QS: al-Qashash 16).
Nabi Sulaiman as dalam memohon karunia kerajaan baginya: “Rabbi (Ya Tuhan-ku), ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak berhak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku..” (QS: Shad 35)
Nabi Zakaria ketika memohon karunia seorang anak: ““Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri..” (QS: al-Anbiya 89)
Rasulullah Sang Nabi Penutup saw dalam berdoa juga diperintah agar menyebut Nama ini: “Dan katakanlah, “Rabbi (Ya Tuhanku), berilah ampun dan anugerahkanlah rahmat (kepadaku), dan Engkau adalah penganugerah rahmat yang paling baik.” (QS: al-Mu`minun 118)
Dengan menyebut “Rabbi”, Allah mengabulkan doa-doa mereka.
Referensi:
1-Syarh Du’a ‘Arafah/Mulla Muhammad Ali Fadhil.
2-Ushul al-Ma’rifah fi Syarhi Du’a ‘Arafah (1)/Abbas Ahmad Rais Darazi al-Bahrani.