Kedua, menyertai ilmu dengan tahdzib al-nafs atau penggemblengan atau penyucian jiwa. Ilmu tanpa disertai tahdzib tidak akan bermanfaat dan malah bisa berbahaya. Ilmu atau pengetahuan ibarat pedang bermata dua. Sebab, mengetahui sesuatu akan membantu seseorang untuk menempatkannya pada tempatnya ataupun tidak pada tempatnya. Dengan tahdzib al-nafs manusia dapat menggunakan ilmunya untuk keadilan, bukan kezaliman. Sains dab teknologi pembuatan senjata mutakhir, misalnya, dapat digunakan untuk penegakan keadilan dan perang melawan serangan musuh Allah, bukan malah untuk memerangi kaum beriman.
Pengetahuan minus tahdzib al-nafs dapat menyebabkan takabur, sedangkan jika disertai tahdzib al-nafs maka akan membuat pemiliknya tawadhu’ karena betapapun hebatnya pengetahuan yang dimiliki dia tetap akan sadar bahwa di depannya masih terlampau banyak sesuatu yang tak diketahuinya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إلاَّ قَلِيلاً.
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”[1]
Dia juga akan menyadari bahwa pengetahuan yang ada pada dirinya tak lain adalah berkat anugerah dari Allah SWT, bukan datang dengan sendirinya, dan Allah Maha Kuasa untuk sewaktu-waktu menarik ilmu itu darinya. Dia tidaklah lebih hebat dan mulia daripada Rasullullah SAW yang tentang beliau Allah SWT berfirman;
وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ بِهِ عَلَيْنَا وَكِيلاً * إِلاَّ رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّ فَضْلَهُ كَانَ عَلَيْكَ كَبِيراً.
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu adalah besar.”[2]
Orang yang rajin dan tekun beribadah juga rentan terkena penyakit kibir. Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as mengisahkan ada seorang alim yang datang kepada seorang abid (tekun beribadah) lalu terjadi percakapan.
Alim : “Bagaimana shalatmu”
Abid : “Apakah patut orang seperti aku ditanya tentang shalatnya, sedangkan aku beribadah kepada Allah sejak sekian lama.”
Alim : “Lantas bagaimana tangisanmu?”
Abid : “Aku menangis hingga berderai air mata.”
Alim : “Tertawamu dalam keadaan takut lebih baik daripada tangisanmu dalam keadaan berbangga diri. Orang yang berbangga diri amalannya sama sekali tidak akan melambung.”[3]
Ibadah kepada Allah SWT berdasarkan ilmu dan kecerdasan jelas berbeda dengan ibadah yang tak didasari pengetahuan. Ibadah orang mumpuni ilmunya pasti akan ikhlas dan terjauh dari ujub dan kibir. Karena itu tak terbayang betapa agungnya ibadanya para nabi dan rasul.
Tentang ini ada sebuah riwayat berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf AS ketika ditemui oleh ayahandanya, Nabi Ayyub AS, di dalam istana. Diriwayatkan dalam Al-Kafi bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq AS berkata;
إنَّ يوسف (ع) لمَّا قدم عليه الشيخ يعقوب (ع) دخله عزُّ المُلْك، فلم ينزل إليه، فهبط جبرئيل (ع) ، فقال : يا يوسف ابسط راحتك (يعني : باطن الكفّ) فخرج منها نور ساطع فصار في جوّ السماء، فقال يوسف (ع) : يا جبرئيل ما هذا النور الذي خرج من راحتي ؟ فقال : نزعت النبوَّة من عقبك عقوبة لما لم تنزل إلى الشيخ يعقوب، فلا يكون من عقبك نبيّ.
“Sesungguhnya ketika didatangi oleh Ya’kub AS Yusuf AS termasuki oleh keagungan sebagai raja sehingga tidak turun menyambut Syeikh Ya’kub AS. Jibril AS lantas turun dan berkata, ‘Wahai Yusuf, bukalah telapak tanganmu.’ Maka keluarlah cahaya cemerlang (dari telapak tangan Yusuf AS) dan kemudian melayang di angkasa sehingga Yusuf AS bertanya, ‘Wahai Jibril, cahaya apakah yang keluar dari telapak tanganku ini?’ Jibril menjawab, ‘Kenabian tercabut dari keturunanmu karena kamu tidak turun menyambut Syeikh Ya’kub, sehingga tak ada satupun nabi yang berasal dari keturunanmu.”[4]
Allamah Al-Majlisi saat menafsirkan riwayat ini menjelaskan bahwa bahwa apa yang masuk dalam diri Nabi Yusuf AS itu harus diartikan bukan sebagai takabur dan tindakan merendahkan ayahnya, sebab para nabi bersih dari sifat demikian, melainkan semata demi menjaga kemaslahatan dan menjaga kehormatan dan kedudukannya di depan khalayak, namun menjaga adab kepada ayah yang juga seorang nabi dan sangat merindukan Yusuf AS rupanya harus lebih utamakan (awla) daripada menjaga kemaslahatan itu. Dengan demikian, lanjut Al-Majlisi, apa yang terjadi pada Yasuf tergolong tindakan meninggalkan “awla” sehingga meskipun cahaya kenabian keluar dari sulbinya beliau tetap bukan orang yang tercela, dan kalaupun berkekurangan maka kekurangan itu hanya karena dibandingkan dengan tingkatan akhklak yang lebih tinggi dan tak dapat dikaitkan dengan sifat takabur.[5]
Penjelasan Al-Majlisi ini relevan jika memang riwayat itu sahih, sebab bisa jadi riwayat itu tidak sahih.
(Bersambung)
CATATAN :
[1] QS. Al-Isra’ [17]: 85.
[2] QS. Al-Isra’ [17]: 86 – 87.
[3] Al-Kafi, jilid 2, hal. 313.
[4] Ibid, hal. 311 – 312.
[5] Lihat Mir’at Al-Uqul, jilid 10, hal. 215.