Bersama Kafilah Ramadhan (26)
  • Judul: Bersama Kafilah Ramadhan (26)
  • sang penulis:
  • Sumber: irib indonesia
  • Tanggal Rilis: 6:44:59 4-9-1403

Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam yang ganjil di 10 hari

terakhir Ramadhan, tetapi Allah Swt tidak menentukan secara pasti

kapan tepatnya Lailatul Qadar. Suatu ketika Imam Ali as ditanya

tentang kapan datangnya Lailatul Qadar, beliau menjawab, “Aku yakin

bahwa Allah menyembunyikan malam itu dari kalian karena Dia ingin

membantu dan memberi kesempatan kepada kalian, jika malam itu

diberitahu kepada kalian, maka kalian hanya akan beribadah pada malam

itu saja dan meninggalkan ibadah di malam-malam yang lain.”

 

Untuk itu, mungkin salah satu hikmah disembunyikan malam Lailatul

Qadar adalah untuk mendorong kaum Muslim memanfaatkan malam-malam lain

juga serta memperbanyak ibadah dan perbuatan baik dengan harapan bisa

memahami keutamaan malam agung tersebut. Mereka juga diharapkan

meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat serta bersungguh-sungguh dalam

ibadah.

 

Istighfar dan taubat merupakan salah satu amalan khusus yang sangat

ditekankan pada malam Lailatul Qadar. Anjuran untuk memohon ampunan

dan bertaubat – terutama di malam mulia ini – karena dosa dan maksiat

telah menodai dan mengotori hati manusia, seperti wadah yang kotor, ia

tidak bisa menjadi tempat yang suci dan penampung pancaran cahaya

Ilahi. Oleh sebab itu, doa dan munajat orang-orang yang berlumur dosa

tidak akan diterima.

 

Taubat dan istighfar di malam Lailatul Qadar pasti akan diterima.

Dengan bahasa al-Quran, taubat itu harus dilakukan dengan tulus dan

murni. Dalam surat at-Tahrim ayat 8, Allah Swt berfirman, “Hai orang-

orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa

(taubat yang semurni-murninya).”Suatu hari, Muadh bin Jabal meminta

Rasulullah Swt untuk menjelaskan tentang taubat nasuha, beliau

bersabda, “Maksud dari taubat nasuha adalah manusia bertaubat dan

kemudian sama sekali tidak kembali kepada dosa.” Pada dasarnya, taubat

nasuha akan menciptakan sebuah revolusi besar dalam diri manusia, di

mana jalan untuk kembali ke masa lalu benar-benar sudah tertutup

rapat.

 

Setelah istighfar dan taubat, kini tiba saatnya untuk berdoa dan

memohon hajat kepada Allah Swt.Salah satu kondisi terbaik doa adalah

berdoa secara berjamaah dan ramai-ramai. Untuk itu, kita harus

berusaha hadir di masjid-masjid pada peringatan malam Lailatul Qadar

dan tidak kehilangan kesempatan untuk berkumpul bersama jamaah.

Berkenaan dengan perkara ini, Rasulullah Saw bersabda, “Tangan Allah

bersama jamaah.” (Ahkam al-Quran, jilid 3). Hari pada malam jatuhnya

Lailatul Qadar juga memiliki keistimewaan dan berbeda dengan hari-hari

lain. Alangkah baiknya detik-detik pada siang dan malam Lailatul Qadar

dimanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan, membaca al-Quran,

mendirikan shalat, berzikir, dan berdoa.

 

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat, dan

pengampunan. Allah Swt pada bulan ini dengan berbagai pertimbangan

mengampuni dosa-dosa hambanya dan menyediakan surga untuk perbuatan-

perbuatan seperti, menjalani puasa, mendirikan shalat fardhu dan

sunnah, membaca al-Quran, memberi sedekah, menjalin tali silaturahim

dan lain-lain. Oleh karena itu, pintu surga terbuka lebar untuk

orang-orang yang dengan amal ibadahnya memperoleh rahmat Ilahi dan

memenuhi syarat untuk menjadi ahli surga. Namun orang-orang yang lalai

jelas tidak akan mencium aroma surga.

 

Ketika menyaksikan hilal bulan Ramadhan, Rasulullah Saw akan berdiri

menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah Swt, meminta keamanan dan

keselamatan serta memohon agar Dia menemaninya dalam shalat, puasa,

dan membaca al-Quran. Rasul Saw mengangkat kedua tangannya dan berdoa,

“Ya Allah, munculkanlah ia (hilal itu) atas kami dengan (membawa)

keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman, kesehatan yang meliputi

(semua orang), penolakan atas seluruh jenis penyakit, rezekiyang

lapang, dan bantuan demi mengerjakan shalat, puasa, beribadah, dan

membaca al-Quran. Ya Allah, serahkanlah diri kami kepada bulan

Ramadhan, terimalah ia dari kami, dan sehatkanlah kami di dalamnya

sehingga bulan Ramadhan ini berlalu dan Engkau telah memaafkan kami,

mengampuni kami, dan merahmati kami.”

 

Setelah membaca doa tersebut, Rasul Saw kemudian menghadap ke arah

masyarakat dan bersabda, “Wahai kaum Muslim! Ketika hilal bulan

Ramadhan telah muncul, syaitan-syaitan mulai terusir dan mereka

dibelenggu rantai, pintu-pintu langit, surga, dan rahmat telah dibuka,

dan pintu-pintu neraka telah ditutup.”

 

Pada bulan Ramadhan, Allah Swt membatasi kekuatan syaitan dan

membelenggu mereka sehingga tidak bisa memperdaya manusia. Oleh sebab

itu, jiwa dan raga manusia punya kesiapan lebih besar untuk beribadah

dan mengamalkan perintah-perintah Ilahi. Akan tetapi, itu bukan

berarti Allah Swt telah mencabut kekuatan ikhtiyar dan memilih dari

manusia serta menghilangkan segala bentuk ujian dan musibah dari

mereka.

 

Pada dasarnya, bulan Ramadhan merupakan sebuah momentumuntuk mengenal

syaitan dan jalur penyusupan mereka ke dalam diri manusia. Seorang

guru besar akhlak, Ayatullah Abdul Hussain Dastghaib memaparkan sebuah

tamsil yang indah tentang syaitan dan cara untuk memerangi mereka.

Beliau berkata, “Jika engkau membawa bersama makanan yang disukai oleh

anjing, meski engkau menyembunyikan makanan itu dan menutupnya dengan

kain, seekor anjing yang lapar dan dengan penciuman yang baik, ia akan

mengikutimu. Sebab, ia lapar dan menemukan makanan kesukaannya

bersamamu. Dalam kondisi seperti itu, kalau pun engkau mengusirnya

berkali-kali dan menghardiknya, ia tetap akan mengikutimu. Hati

manusia juga menjadi incaran syaitan dari segi itu.”

 

Ayatullah Dastghaib lebih lanjut menerangkan, “Orang yang menanam

sifat-sifat kotor dalam hatinya seperti, cinta kedudukan,cinta

jabatan, gila popularitas, cinta dunia, gila kekuasaan, dengki, pelit,

dan lain-lain, maka ia telah menjadikan hatinya sebagai ladang gembala

syaitan dan selama sifat-sifat tercela itu masih bersarang di hatinya,

meskipun ia mengucapkan kalimat Auzubillahi Minashaitan Nirajiimsampai

ribuan kali, maka tidak akan mujarab, karena ia mengusir syaitan hanya

dengan lisan, tapi dalam prakteknya ia mengundang syaitan sebagai tamu

di hatinya dan menyediakan jamuan untuknya. Untuk membebaskan diri

dari keburukan-keburukan syaitan – sebagai musuh nyata –maka manusia

harus menghilangkan sifat-sifat kotor tersebut dari hatinya.”

 

Memanfaatkan nikmat Allah Swt dan mensyukurinya ibarat modal, yang

diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya untuk berbisnis. Jika ia

sukses di dunia bisnis dan menggunakan modal tersebut dengan benar,

maka seorang ayah akan kembali menyediakan modal yang lebih besar

untuknya. Akan tetapi, jika si anak menyia-nyiakan pemberian itu atau

menggunakannya untuk hal-hal negatif, maka ayahnya akan bertanya-

tanya, “Mengapa aku memberikan uang untuknya, sementara ia telah

merusak dirinya dengan uang tersebut? Memangnya aku musuh bagi anakku

sehingga merusaknya?”Akhirnya si ayah memutuskan tidak lagi memberi

modal untuk anaknya. Demikian juga dengan nikmat Allah Swt. Jika

manusia tidak mengetahui nilai sebuah nikmat dan tidak mensyukurinya,

Dia akan mencabut kembali nikmat tersebut. Kaum Mukmin menyatakan

kerelaan dan rasa syukur atas segala anugerah Tuhan dan senantiasa

melihat diri mereka larut dalam lautan nikmat-Nya meskipun sedang

ditimpa musibah.

 

Suatu hari, Imam Jakfar Shadiq as sedang duduk bersama para sahabatnya

di Mina sambil mencicipi buah anggur, ketika itu datanglah seorang

fakir dan meminta sedekah.Imam Shadiq as memberikan setandan anggur

kepadanya. Orang fakir itu mengambil anggur yang diberikan kepadanya

dan bersyukur kepada Allah.Imam as kemudian memberikan beberapa keping

uang. Kembali, orang tersebut bersyukur kepada Allah. Imam lalu

menyerahkan jubahnya kepada orang itu. Si fakir kemudian memakai jubah

tersebut dan lagi-lagi bersyukur dan berlalu sembari mendoakan Imam

Shadiq as.Perawi mengatakan, “Jika orang fakir itu terus menyatakan

rasa syukur kepada Allah atas apa yang diberikan oleh Imam kepadanya,

maka Imam akan tetap memberikan semua yang dimilikinya hingga tidak

tersisa lagi baginya sesuatu untuk diberikan.”