Salah satu amalan yang efektif dalam hal ini adalah
ibadah puasa. Allah Swt menjelaskan tentang peran puasa
dalam mewujudkan takwa pada diri seseorang. Surat al-
Baqarah ayat 183 dengan tegas menerangkan bahwa tujuan
dari puasa adalah untuk mencapai ketakwaan dan penggunaan
kata La'alla (supaya/agar) untuk menegaskan bahwa puasa
tidak hanya bermakna takwa, tapi juga sebuah latihan
untuk membentuk dan menumbuhkan ketakwaan itu sendiri.
Dalam ajaran Islam, salah satu jalan utama untuk mencapai
ketakwaan yang sempurna adalah melatih diri dengan puasa.
Puasa meski tampak sebagai kegiatan yang meliburkan hal-
hal seperti, makan, minum, hawa nafsu, dan sejenisnya,
namun sebenarnya manusia sedang melatih takwanya dengan
cara melawan hawa nafsu dan godaan-godaan lain. Ramadhan
dan puasa merupakan ajang latihan selama satu bulan, di
mana manusia secara sadar dan dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah Swt, meninggalkan tuntutan-tuntutan
hawa nafsunya. Dalam ibadah yang dijalankan dengan
kesadaran dan tekad ini, seseorang memanfaatkan semua
sarana yang bisa mempertebal iman – seperti, shalat
berjamaah, shalat sunnah, tadarus, dan tahajud – demi
mencapai hakikat takwa.
Dalam al-Quran, syarat untuk menjadi penghuni surga dan
menikmati semua kesempurnaan lain adalah menyandang
predikat takwa. Dalam banyak ayat, al-Quran menganggap
surga dan nikmat-nikmatnya sebagai milik orang-orang yang
bertakwa; mereka yang meninggalkan semua larangan dan
menempatkan dirinya di jalan kesempurnaan kemanusiaan.
Mengenai nikmat-nikmat surga yang diberikan untuk kaum
Mukmin, Allah Swt dalam surat al-Hijr ayat 45-48
berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu
berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata
air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka):
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman, Dan
Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati
mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-
hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di
dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan
daripadanya.”
Di bulan Ramadhan, ruh takwa dalam diri manusia dapat
dihidupkan dengan cara berpuasa dan mematuhi perintah-
perintah Allah Swt. Tidak ada keraguan bahwa dimensi
internal manusia tersimpan berbagai naluri dan nafsu
seperti, nafsu makan dan minum, cinta kepada diri sendiri
dan harta benda dan sejenisnya, di mana semua itu penting
untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Akan tetapi,
naluri dan hawa nafsu itu kadang keluar dari batas
alamiahnya dan mendominasi seluruh wujud manusia. Orang
yang berpuasa – dengan menahan rasa lapar dan haus serta
batasan-batasan lain – secara signifikan mampu memadamkan
bara api hawa nafsu dan naluri hewani tersebut.
Oleh sebab itu, berpuasa tidak hanya menahan diri dari
makan dan minum, tapi juga meninggalkan perbuatan-
perbuatan dosa dan maksiat. Rasul Saw dalam sebuah
khutbah di penghujung bulan Sya’ban menjelaskan tentang
keutamaan-keutamaan Ramadhan kepada kaum Muslim dan
ketika itu Imam Ali as bertanya, “Perbuatan apakah yang
paling utama di bulan ini?” Rasul Saw menjawab, “Menjauhi
dan menghindari dosa.”
Pada dasarnya, memelihara takwa bukan sebuah perkara yang
rumit dan mustahil dilakukan, tapi setiap kebaikan yang
dikerjakan oleh manusia dan setiap keburukan yang
ditinggalkan oleh mereka, dengan sendirinya perkara ini
sudah termasuk contoh dari memelihara takwa dalam hidup.
Bulan Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk menaati
perintah Allah Swt dan memelihara ketakwaan. Mengatasi
masalah orang lain, mengabdi kepada masyarakat, menjauhi
barang haram, serta tidak meremehkan ibadah, semua
perkara ini merupakan bentuk dari ketakwaan itu sendiri.
Dengan melatih dan membiasakan diri dalam perbuatan baik,
maka orang yang berpuasa telah menanamkan tradisi baik
dalam dirinya untuk selalu menjauhi larangan Allah Swt.
Cara ini akan membuat hatinya bersih dan bersinar.
Takwa berarti menjaga diri dari perkara yang dibenci oleh
Allah Swt. Individu yang meninggalkan perbuatan buruk dan
menanggung semua kesulitan demi meraih ridha Allah Swt,
maka ia juga akan mendapat perhatian khusus dari-Nya.
Rasul Saw bersabda, “Wahai Abu Dzar, perhatikanlah selalu
Allah Swt dan keridhaan-Nya sehingga engkau juga
memperoleh perhatian-Nya.” (Bihar al-Anwar, jilid 77)
Dalam buku Tadzkiratul Awliya karya Syeikh Attar
Naishaburi dikisahkan, “Seorang arif berjanji kepada
dirinya untuk tidak mengambil keuntungan lebih dari 5
persen dari niaganya. Suatu hari ia membeli beberapa
karung kacang almond seharga 60 dinar. Harga almond di
pasar tiba-tiba melambung naik. Seorang agen datang ke
toko orang arif itu untuk membeli almond dan ia pun
menanyakan harganya. Arif tersebut menjawab, ’63 dinar
tuan.’ Agen itu berkata, ‘harga almond ini pantasnya 90
dinar!’ Arif itu menjawab, ‘iya benar demikian, tapi aku
sudah berjanji untuk tidak meraup untung lebih dari 5
persen. Aku sudah merusak harga pasar, tapi aku tidak
mengingkari janjiku.’ Beberapa hari kemudian pasar di
kota itu terbakar dan semua toko berserta aset milik
mereka hangus dilalap api, namun toko orang arif itu
tidak terbakar dan selamat dari kobaran api. Inilah
balasan Allah Swt, ia sudah memilih jalan takwa dan Allah
Swt juga melindunginya.’”
Ramadhan dengan segala keindahannya kembali menyapa
rumah-rumah kaum Muslim. Mereka dengan penuh suka cita
berusaha menunaikan kewajiban agamanya dengan sempurna
sehingga bisa menghadirkan senyum merekah di penghujung
Ramadhan. Perasaan gembira ini selalu mengundang tanda
tanya bagi kebanyakan warga non-Muslim. Mereka menganggap
puasa hanya terbatas pada menahan lapar dan haus dan
mereka merasa kesulitan jika harus memikul beban
tersebut. Rasa penasaran ini kadang mendorong mereka
untuk mencoba berpuasa sehingga mengetahui alasan
kecintaan umat Islam terhadap bulan Ramadhan dan ibadah
puasa.
Sebut saja Rahul, ia adalah seorang pemuda dari India.
Dia termasuk salah satu dari mereka yang penasaran dengan
aktivitas kaum Muslim di bulan puasa. Bulan Ramadhan
akhirnya membawa Rahul mengenal ajaran-ajaran luhur Islam
dan ia pun memilih masuk Islam. Berkenaan dengan
keputusannya untuk memeluk Islam, Rahul berkata, “Aku
sudah menjadi seorang Muslim selama beberapa bulan. Aku
dibesarkan di sebuah keluarga seperti semua keluarga di
India mengikuti ajaran Hindu. Sebagian dari mereka
menyembah berhala, sebagian yang lain mendewakan binatang
seperti sapi, dan sisanya menganggap matahari sebagai
tuhannya. Aku juga dibesarkan di lingkungan seperti itu
dan keyakinan tersebut membuatku hidup dalam kesesatan.”
Rahul lebih lanjut mengisahkan perjalanan hidupnya dan
berujar, “Dengan izin Tuhan, aku kemudian merantau ke
Oman, sebuah negara Muslim. Untuk pertama kalinya di sana
aku mengenal kaum Muslim dan selama tiga tahun tinggal di
Oman, aku memperoleh banyak pengetahuan tentang Islam dan
menemukan kebenaran. Waktu tiga tahun itu berperan sangat
besar dalam mengantarkanku ke gerbang kebenaran serta
mengubah pemikiran dan akidahku.”
Ibadah puasa memunculkan pertanyaan pada diri Rahul dan
membangkitkan rasa ingin tahunya. Ia kemudian melakukan
penelitian untuk mengetahui filosofi puasa dan bulan
Ramadhan. Jawaban yang diberikan oleh teman-temannya dan
hasil yang diperoleh dari kajiannya memberi pengaruh
besar bagi Rahul. Ia memutuskan ikut berpuasa bersama
teman-temannya dan merasakan apa yang dirasakan oleh
mereka. Rahul berkisah, “Aku sengaja berpuasa sebelum
masuk Islam untuk mengobati rasa penasaranku dan itu
hanya sebatas tidak makan dan minum, tapi kini aku
berpuasa dengan niat ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Ramadhan bagiku sekarang bukan hanya menahan
lapar dan haus, tapi aku juga mengisinya dengan shalat,
doa, sedekah, dan tadarus.”
Atas dasar ketertarikannya yang sangat besar terhadap
Ramadhan dan ibadah puasa juga telah membuatnya
memperoleh hidayah, Rahul akhirnya mengganti namanya
dengan Rayyan, karena Allah Swt akan memasukkan orang-
orang yang berpuasa ke dalam surga melalui Babul Rayyan.