Bersama Kafilah Ramadhan (2)
  • Judul: Bersama Kafilah Ramadhan (2)
  • sang penulis:
  • Sumber: irib indonesia
  • Tanggal Rilis: 6:37:40 4-9-1403

Allah Swt menjelaskan tentang kewajiban berpuasa dalam al-Quran ayat 183 dan 184 surat al-Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

 

Dalam ayat tersebut Allah Swt menyeru kaum Muslim dengan kalimat yang indah dan lembut. Nada bicara seperti inimemberi angin sejuk bagi orang-orang yang berpuasa dan membuat mereka mudah menjalaninya. Ayat tersebut juga mengingatkan bahwa ibadah puasa tidak hanya diwajibkan untuk umat ini, tapi juga sudah dijalankan oleh umat-umat terdahulu. Meski kewajiban berpuasa memiliki waktu khusus, namun dalam kondisi tertentu kewajiban ini masih bersifat fleksibel yaitu, orang-orang karena dalam perjalanan, jatuh sakit, atau tidak mampu menjalaninya di waktu khusus tersebut, mereka bisa menggantikannya di hari lain atau membayar kafarah.

 

Allah Swt kemudian menerangkan tentang manfaat dan filosofi berpuasa yaitu untuk mencapai derajat takwa. Kabar gembira ini membuat kaum Muslim menyambut dengan antusias datangnya bulan Ramadhan.Hakikat ibadah puasa membawa kebaikan bagi orang-orang yang menunaikannya dan mereka memperoleh rahmat Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang Mukmin menyambut bulan Ramadhan dengan penuh cinta dan rasa senang.

 

Bulan Ramadhan merupakan momentum pensucian jiwa dan introspeksi diri, kesempatan untuk berkhalwat dengan Tuhan, waktu untuk menguji keikhlasan, dan kesempatan untuk membuka lembaran hati serta membaca kembali buku amalan kita. Untuk itu kita perlu bersikap mawas diri ketika menghadiri jamuan Ilahi ini. Allah Swt menyediakan aneka hidangan untuk kaum Muslim mulai dari bangun sahur yang penuh berkah, buka puasa bersama dengan nuansa religius, melakukan tadarus bersama dan khatam Quran,dan kegiatan shalat tahajud yang membawa ketentraman jiwa. Ini adalah sebagian hidangan di bulan penuh berkah dan kita mendapat kehormatan untuk menjadi tamu Allah Swt, sehingga kita bisa mencicipinya sesuai dengan kapasitas masing-masing.

 

Perasaan senang merupakan salah satu dari nikmat Allah Swt, di mana beragam motivasi berperan dalam menghadirkan perasaan ini. Sebagian orang menikmati partisipasinya di forum-forum dan diskusi ilmiah, sebagian memperoleh kesenangan saat mencicipi menu-menu favoritnya, dan sebagian yang lain justru menikmati kesenangan di atas penderitaan orang lain dan membunuh manusia tak berdosa. Namun kelezatan spiritual merupakan derajat tertinggi dari perasaanjiwa untuk manusia.

 

Perasaan itu muncul ketika kita menanamkansifat-sifat baik dan mulia dalam diri, tidak merampas hak-hak orang lain, memiliki sifat pemaaf meski kita mampu untuk menuntut balas, atau berinfak kepada orang miskin pada saat kita sendiri dalam kesulitan. Kelezatan spiritual ini mencapai puncaknya dengan puasa di bulan Ramadhan, kegiatan shalat berjamaah, tadarus, dan munajat di pertengahan malam yang memenuhi sekat-sekat hati manusia.

 

Ahmed, seorang mualaf dari  San Francisco, Amerika Serikat berkisah, “Aku belajar di sekolah Katolik di Florida sebelum memeluk Islam. Di luar jam belajar biasanya aku membaca buku-buku lain. Di sebuah buku yang berbicara tentang Islam, aku menemukan bahwa kaum Muslim harus berpuasa. Puasa yaitu menahan rasa lapar dan haus serta belajar mengendalikan emosi. Mencerna masalah ini tentu saja bukan perkara mudah bagiku. Setelah memeluk agama Islam, aku berpuasa untuk pertama kali pada usia 19 tahun. Pada waktu itu aku dengan penuh bangga memberi tahu teman-teman satu kamar bahwa aku ingin berpuasa di bulan Ramadhan. Ini adalah untuk pertama kalinya bagiku, di mana berbuat sesuatu bukan karena kedua orang tua atau mengejar nilai kelas.”

 

Ahmed lebih lanjut menuturkan, “Aku berpuasa untuk Dzat yang tidak bisa aku lihat, tapi seluruh wujudku merasakan kehadirannya. Momen ini adalah hari terbaik dan mungkin hari yang paling penting dalam hidupku. Teman-temanku yang bukan Muslim mengira bahwa berpuasa hanya menahan lapar dan haus. Namun, ketika aku menjelaskan perasaanku kepada mereka mulai dari pensucian jiwa dan ketenangan batin, mereka mulai menyadari perubahan batinku. Sebenarnya, aku sedang merasakan kelezatan spiritual dengan berpuasa dan mungkin sebelum ini aku tidak pernah merasakannya dalam situasi apapun.”

 

Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Bulan ini memberi kekuatan kepada manusia untuk menemukan jati dirinya dan kemudian menapaki jalan Tuhan. Berpuasa adalah ibadah khusus di bulan ini. Puasa punya banyak kekhususan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lain. Ibadah puasa benar-benar sangat istimewa di mana Allah Swt dalam sebuah hadis Qudsi berfirman, “Puasa adalah untukku dan Aku yang akan membalasnya.”Salah satu alasan keistimewaan puasa mungkin karena keikhlasan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan jenis ibadah lain yang bisa disaksikan oleh khalayak, puasa adalah sebuah amal ibadah yang tersembunyi.

 

Ketika kita mendirikan shalat, gerak-gerik kita mulai dari sujud dan ruku’ menjadi petunjuk bahwa kita sedang shalat. Demikian juga dalam masalah khumus dan zakat atau infak. Paling tidak para amil zakat mengetahui perkara ini. Ibadah haji, jihad dan semua amal ibadah lain juga seperti itu. Akan tetapi tidak demikian dengan puasa. Puasa sama sekali tidak bisa diidentifikasi dari gerakan badan atau perilaku lahiriyah dan selama seseorang belum memberi tahu pihak lain, maka tidak ada yang mengerti kondisi lahiriyah orang yang sedang berpuasa. Imam Ali as berkata, “Puasa adalah ibadah antara hamba dan penciptanya. Tidak ada yang mengetahui perkara itu kecuali Sang Khalik dan tidak ada yang memberi ganjarannya kecuali Tuhan.”

 

Pada dasarnya, ibadah puasa secara alamiah mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas dan berbuat sesuatu karena Allah Swt. Orang yang menjalani puasa selama satu bulan, maka pekerjaan ini merupakan sebuah latihan ikhlas baginya. Keistimewaan lain ibadah ini adalah; puasa merupakan sarana untuk menumpas musuh Allah Swt. Senjata syaitan adalah syahwat dan ia memperoleh kekuatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman. Rasulullah Saw bersabda, “Syaitan laksana darah yang mengalir dalam diri manusia, oleh karena itu persempitlah jalur mereka dengan menahan lapar.”

 

Ikhlas merupakan puncak dari fase kesempurnaan spiritual. Ikhlas adalahmensucikan niat dari selain Allah Swt dan melaksanakan ibadah hanya untuk-Nya. Di mata orang yang ikhlas, pujian dan celaan berkedudukan sama, sebab ia beribadah hanya untuk memperoleh keridhaan Tuhan dan bukan keridhaan orang lain. Seorang ahli ibadah berkisah, “Selama 30 tahun aku selalu mendirikan shalat berjamaah di masjid di barisan pertama. Suatu hari aku datang terlambat dan barisan pertama sudah penuh terisi, lalu aku berdiri di barisan kedua. Aku malu karena orang-orang di sekitar menyaksikanku shalat di barisan kedua. Tiba-tiba aku tersadar bahwa penilaian masyarakat ternyata penting bagiku. Kemudian aku mengerti bahwa semua shalatku tercemari oleh riya’ dan tidak ada keikhlasan di dalamnya.”

 

Ikhlas dan pensucian amal perbuatan dari selain Tuhan memiliki beberapa tingkatan. Rasul Saw bersabda, “Dengan sarana ikhlas, keunggulan derajat orang-orang yang beriman akan terwujud.” Dari riwayat ini dapat diketahui bahwa ikhlas memiliki beberapa derajat dan kedudukan orang beriman juga diukur dengan kadar keikhlasan mereka. Derajat pertama adalah rasa takut dari neraka dan derajat lain karena kerinduan kepada surga. Derajat utama adalah bahwa manusia tidak mendambakan hal lain kecuali Allah Swt. Imam Ali berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus akan surga, tapi aku beribadah karena menemukan Engkau pantas untuk disembah.”