Adab-adab Berdoa
  • Judul: Adab-adab Berdoa
  • sang penulis:
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 16:43:34 4-9-1403



Allamah Thabathaba’i menguraikan adab-adab berdoa, dan syarat-syarat ijabahnya suatu doa:

Pertama: Dalam keadaan suci

Di antara adab-adab berdoa harus dalam keadaan berwudhu’, khususnya ketika berdoa sesudah shalat.
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata kepada Musammi’: “Wahai Musammi’, apa yang menghalangi seseorang ketika ia berada dalam kesengsaraan duniawi untuk berwudhu’ lalu pergi ke masjid, kemudian melakukan shalat dua rakaat, lalu berdoa kepada Allah di dalamnya? Aku mendengar Allah swt berfirman: “Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.” (Tafsir Al-Ayyasyi 1: 43)

Kedua: Bersedekah, memakai wangi-wangian, dan pergi ke masjid

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika ayahku punya hajat, ia bersedekah dulu, lalu memakai wangi-wangian dan pergi ke masjid.” (Al-Kafi 2: 347)

Ketiga: Melakukan shalat

Sebelum berdoa disunnahkan melakukan shalat hajat dua rakaat:
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang berwudhu’ dan memperbaiki wudhu’nya, kemudian melakukan shalat dua rakaat, dan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya; sesudah salam memuji Allah azza wa jalla, membaca shalawat, kemudian memohon hajatnya. Dengan cara inilah ia telah mengharapkan kebaikan dalam keinginannya. Barangsiapa yang mengharap kebaikan dalam keinginannya, maka ia tidak akan disia-siakan.” (Biharul Anwar 93: 314, hadis ke 20)

Keempat: Membaca Basmalah

Sebelum berdoa harus membaca Bismillâhir Rahmânir Rahîm.
Rasulullah saw bersabda:“Tidak akan ditolak suatu doa yang dimulai dengan Bismillâhir Rahmânir Rahîm.” (Biharul Anwar, 93: 313)

Kelima: Memuji Allah swt

Memuji Allah swt artinya mengakui keesaan Allah swt, membuktikan kebergantungan hanya kepada-Nya tidak kepada selain-Nya. Bagi yang hendak memohon hajat kepada Allah swt dalam urusan dunia dan akhirat, ia harus memuji Allah, mensyukuri karunia dan nikmat-Nya sebelum berdoa. Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata:

“Segala puji bagi Allah yang menjadikan pujian kepada-Nya kunci bagi zikir-Nya, dan sebab bagi penambahan karunia-Nya.” (Nahjul Balaghah, Khutbah 157)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika salah seorang dari kamu mengharap hajatnya, maka hendaknya ia memuji Allah swt.” (Al-Kafi 2: 352, hadis ke 6)

Allah swt menyiapkan bagi orang yang memuji-Nya karunia yang baik dan limpahan pahala di atas harapan orang-orang yang bermohon.

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyibukkan diri dengan memuji Allah, Allah akan memberinya di atas harapan orang-orang yang bermohon.” (Syarah Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid, jld 6: 190)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (as) berkata: “Sesungguhnya seorang hamba yang mempunyai hajat kepada Allah, maka hendaknya ia memulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya, Allah akan memperkenankannya sekalipun ia telah lupa akan hajatnya dan tidak memohon hajatnya kepada-Nya.” (Biharul Anwar, 93: 312)

Tentang pahala memuji Allah swt dan cara memuji-Nya sebelum berdoa, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Ya Allah, Engkaulah Yang Awal sehingga tidak ada sesuatu sebelum Engkau, Engkaulah Yang Akhir sehingga tidak ada sesuatu sesudah Engkau, Engkaulah Yang Zhahir sehingga tidak ada sesuatu di atas Engkau, Engkaulah Yang Batin sehingga tidak ada sesuatu selain Engkau, dan Engkaulah Yang Maha Agung dan Maha Mulia.” (Al-Kafi, 2: 362, hadis ke 6)

Keenam: Berdoa dengan Asmaul Husna

Bertawasul dengan Asmaul husna dalam berdoa diperintahkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:
“Allah memiliki Asmaul husna, hendaknya kamu berdoa dengannya.” (Al-A’raf/7: 180)

“Katakanlah, berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu berdoa, Dia mempunyai Asmaul husna.” (Al-Isra’/17: 110).

Rasulullah saw bersabda: “Allah azza wa jalla memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang berdoa dengannya doanya diijabah.” (At-Tawhid, 195)

Sebagian ulama berkata: berdoalah dengan memuji Allah swt dan sebutlah di antara Asmaul husna yang sesuai dengan hajat yang diharapkan. Misalnya, jika mengharapkan rizki, maka sebutlah:

يَا رَزَّاقُ، يَا وَهَّابُ، يَا جَوَّادُ، يَا مُغْنِي، يَا مُنْعِمُ، يَامُفْضِلُ، يَا مُعْطِي، يَا كَرِيْمُ، يَا وَاسِعُ، يَا

مُسَبِّبَ اْلاَسْبَابِ، يَا مَنَّانُ، يَارَزَّاقَ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Wahai Yang Maha Pemberi rizki
Wahai Yang Maha Pemberi anugerah
Wahai Yang Maha Dermawan
Wahai Yang Maha Memberi kekayaan
Wahai Yang Maha Memberi kenikmatan
Wahai Yang Maha Memberi karunia
Wahai Yang Maha Memberi
Wahai Yang Maha Mulia
Wahai Yang Maha Luas
Wahai Sebab dari semua sebab
Wahai Yang Maha Pemberi karunia
Wahai Yang Maha Pemberi rizki kepada orang yang dikehendaki tanpa perhitungan

Jika mengharapkan pengampunan dan taubat, sebutlah:

يَا تَوَّابُ، يَا رَحْمَنُ، يَا رَحِيْمُ، يَا رَؤُوفُ، يَا عَطُوفُ، يَا صَبُورُ، يَا شَكُورُ، يَا عَفْوُ، يَا غَفُورُ، يَا فَتَّاحُ،

يَاذَا الْمَجْدِ وَالسَّمَاحِ، يَا مُحْسِنُ، يَا مُجْمِلُ، يَا مُنْعِمُ.


Wahai Yang Maha Menerima taubat
Wahai Yang Maha Pengasih
Wahai Yang Maha Penyayang
Wahai Yang Maha Penyantun
Wahai Yang Maha Pengasih
Wahai Yang Maha Sabar
Wahai Yang Maha Bersyukur
Wahai Yang Maha Pemaaf
Wahai Yang Maha Pengampun
Wahai Yang Maha Membuka pintu taubat
Wahai Yang Memiliki kemuliaan dan pengampunan
Wahai Yang Maha Memberi kebaikan
Wahai Yang Maha Memberi keindahan
Wahai Yang Maha Memberi kenikmatan

Jika mengharapkan perlindungan dari musuh, maka sebutlah:

يَا عَزِيْزُ، يَا جَبَّارُ، يَا قَهَّارُ، يَا مُنْتَقِمُ، يَاذَا الْبَطْشِ الشَّدِيْدِ، يَا فَعَّالُ لِمَا يُرِيْدُ، يَا قَاصِمَ

الْمَرَدَةِ يَا طَالِبُ، يَا غَالِبُ، يَا مُهْلِكُ، يَا مُدْرِكُ، يَا مَنْ لاَ يُعْجِزُهُ شَيْءٌ.

Wahai Yang Maha Agung
Wahai Yang Maha Memaksa
Wahai Yang Maha Perkasa
Wahai Yang Maha Pendendam
Wahai Yang Memiliki serangan yang dahsyat
Wahai Yang Melakukan apa yang dihendaki
Wahai Yang Menghancurkan orang-orang yang sombong
Wahai Yang Maha Menuntut
Wahai Yang Maha Mengalahkan
Wahai Yang Maha Membinasakan
Wahai Yang Maha Mengetahui
Wahai Yang Tidak Dilemahkan oleh apapun

Jika mengharapkan ilmu, maka sebutlah:

يَا عَالِمُ، يَا فَتَّاحُ، يَا هَادِي، يَا مُرْشِدُ، يَا مُعِزُّ، يَا رَافِعُ

Wahai Yang Maha Mengetahui
Wahai Yang Maha Membuka pintu ilmu
Wahai Yang Maha Memberi petunjuk
Wahai Yang Maha Membimbing
Wahai Yang Maha Memuliakan
Wahai Yang Maha Meninggikan derajat
Dan nama-nama Allah yang lain yang semakna dengannya
(kitab Iddadud Da`i: 199)

Banyak riwayat hadis yang menegaskan keutamaan berdoa dengan Asmaul husna. Allah swt mengijabah doa hamba-Nya yang beriman jika ia berdoa dengan Asmaul husna, khususnya jika ia membacanya dalam keadaan sujud.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang menyebutkan ya Allah ya Allah sepuluh kali, maka dikatakan kepadanya: “Aku di sini, apa hajatmu.” (Al-Kafi, 2: 377)

Beliau juga berkata: “Jika dalam keadaan sujud seorang hamba menyebutkan: Ya Allâh ya Rabbahu ya Sayyidahu tiga kali, maka Allah tabaraka wa ta`ala menjawabnya: Aku di sini duhai hamba-Ku, mohonlah hajatmu.” (Amali Ash-Shaduq, 335)

Beliau juga berkata: “Jika ayahku memiliki hajat ia sujud (di luar shalat dan ruku’), kemudian ia membaca: Ya Arhamar Rahimin tujuh kali, kemudian memohon hajatnya; selanjutnya ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang menyebut asma ini kecuali Allah swt menjawab: Inilah Aku Yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi, mohonlah hajatmu.” (Al-Wasail 7: 88, hadis ke 16)

Ketujuh: Membaca shalawat kepada Rasulullah saw dan keluarganya

Sebelum berdoa hendaknya membaca shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Karena shalawat merupakan syarat utama dalam ijabahnya doa.. Ini menunjukkan bahwa dalam berdoa kita perlu pertolongan Rasulullah saw dan Ahlul baitnya yang suci, dan kita harus menyakini bahwa pertolongan ini bersambung kepada Allah swt. Karena itu, shalawat merupakan wasilah yang terpenting untuk diterimanya amal dan diijabahnya doa.

Rasulullah saw bersabda: “Doa akan selalu terhalangi sehingga ia bershalawat kepadaku dan Ahlul baitku.” (Kifayatul Atsar: 39)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Semua doa akan terhalangi sehingga ia bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” (Majma`uz zawaid, 10: 160)

Beliau juga berkata: “Jika kamu mempunyai hajat kepada Allah swt, maka mulailah dengan shalawat kepada Rasul-Nya dan keluarganya, kemudian mohonlah hajatmu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mulia dari dua hajat dimohonkan, yang satu diterima dan yang lain ditolak.” (Nahjul Balaghah, Al-Hikmah 361)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang berdoa dan tidak membaca shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya, maka doanya hanya bergerak-gerak di atas kepalanya, dan ketika ia bershalawat kepada Nabi saw dan keluarganya maka terangkatlah doanya.” (Al-Kafi, 2: 356)

Shalawat dibaca sesudah memuji Allah swt, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika salah seorang dari kamu hendak memohon kepada Allah hajat-hajat dunia dan akhirat, hendaknya memulai dengan memuji Allah azza wa jalla, kemudian bershalawat kepada Nabi dan keluarganya, kemudian mohonlah hajatnya.” (Al-Kafi, 2: 351)

Cara bershalawat kepada Nabi saw

Buraidah berkata, kami pernah bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui cara menyampaikan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كَمَاجَعَلْتَهَا عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،

إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu, dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau curahkan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. (Majma`uz zawaid, 10: 163)

Hariz ia berkata, aku pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Bagaimana cara bershalawat kepada Nabi saw? Beliau menjawab bahwa Nabi saw bersabda:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرَهُمْ تَطْهِيْراً،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الَّذِيْنَ أَلْهَمْتَهُمْ عِلْمَكَ، وَاسْتَحْفَظْتَهُمْ كِتَابَكَ،

وَاسْتَرْعَيْتَهُمْ عِبَادَكَ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الَّذِيْنَ أَمَرْتَ بِطَاعَتِهِمْ وَأَوْجَبْتَ

حُبَّهُمْ وَمَوَدَّتَهُمْ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ الَّذِيْنَ جَعَلْتَهُمْ وُلاَةَ أَمْرِكَ بَعْدَ

نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya yang telah Allah hilangkan dari mereka dosa dan mensucikan mereka sesuci-sucinya. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya yang Kau ilhamkan kepada mereka ilmu-Mu, Kau suruh mereka menjaga kitab-Mu, dan menjaga hamba-hamba-Mu. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya yang Kau perintahkan kami mentaati mereka, dan Kau wajibkan pada kami mencintai dan menyayangi mereka. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya yang Kau jadikan mereka pemimpin pemerintahan-Mu sesudah Nabi-Mu (semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat-Nya kepadanya dan Ahlul baitnya). (Biharul Anwar, 94: 67, hadis ke 55)

Di antara adab berdoa menurut Imam Ali Zainal Abidin (sa). Beliau menjadikan pujian kepada Allah dan shalawat sebagai pembuka umumnya bait-bait doanya. Ini jelas bagi orang yang merenungi Shahifah Sajjadiyah. Inilah yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah saw: “Jangan jadikan aku seperti gelas bagi pengendara, karena ia mengisi gelasnya lalu meminumnya ketika ia menghendaki, tapi jadikan aku di permulaan doa, di akhir dan di pertengahannya.” (Biharul Anwar, 93: 316)

Di antara cara Imam Ali Zainal Abidin (sa) berdoa, beliau memulai bait-bait doanya dengan pujian kepada Allah dan shalawat kemudian beliau menyampaikan permohonannya, misalnya:

يامَنْ لاتَنْقَضِي عَجَائِبُ عَظَمَتِهِ، صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَآلِهِ، وَاحْجُبْنَا عَنِ الالْحَادِ فِي عَظَمَتِكَ. وَيَا مَنْ لاَ

تَنْتَهِي مُدَّةُ مُلْكِهِ، صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَآلِـهِ، وَأَعْتِقْ رِقَابَنَا مِنْ نَقِمَتِك. وَيَا مَنْ لا تَفْنَى خَزَائِنُ

رَحْمَتِهِ، صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَآلِهِ، وَاجْعَلْ لَنا نَصِيباً فِي رَحْمَتِكَ. وَيَا مَنْ تَنْقَطِعُ دُونَ رُؤْيَتِهِ الابْصَارُ،

صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَآلِهِ، وَأَدْنِنَا إلَى قُرْبِكَ

Wahai Dia yang keajaiban kebesaran-Nya tidak pernah terhenti
sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya
halangilah kami dari penentangan terhadap keagungan-Mu
Wahai Dia yang tak pernah berakhir kelangsungan kekuasaan-Nya
sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya
selamatkan kami dari siksa-Mu
Wahai Dia yang perbendaharaan kasih-Nya tidak pernah habis
sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya
berlahi kami bagian dari kasih-Mu
Wahai Dia yang tanpa memandang-Nya mata hati akan mengering
sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya
dekatkan kami ke haribaan-Mu.
(Shahifah Sajjadiyah: Doa ke 5)

Shalawat yang singkat dan sempurna adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّد

Allâhumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad

Kedelapan: Bertawassul dengan Rasulullah saw dan Keluarganya

Bertawasul dengan Rasulullah saw dan keluarganya dalam berdoa adalah perintah Allah swt. Ahlul bait (sa) adalah bahtera penyelamat ummat, maka layaklah bagi orang yang berdoa bertawasul dengan mereka, memohon kepada Allah swt melalui hak mereka, menghadapkan mereka kepada-Nya sebelum menyampaikan hajat-hajatnya kepada Allah swt.

Rasulullah saw bersabda: “Para washiku (Ahlul bait Nabi saw)… Dengan mereka ummatku ditolong, dengan mereka ummatku diturunkan hujan, dengan mereka Allah menyelamatkan mereka, dan dengan mereka Allah mengijabah doa mereka.” 24) 24). Tafsir Al-Ayyasyi, 1: 14, hadis ke 2.

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada Allah dengan kami ia akan beruntung, dan barangsiapa yang berdoa dengan selain kami ia akan binasa dan menjadi binasa.” (Amali Syeikh Ath-Thusi, 1: 175)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) dalam doanya banyak memohon kepada Allah dengan hak lima orang, yaitu Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (sa).” (Al-Kafi, 2: 422, hadis ke 11)

Di antara cara tawassul dengan Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa), dan kalimat yang diajarkan oleh mereka:

اَللَّهُمَّ اِنِّي أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَأَتَقَرَّبُ بِهِمْ إِلَيْكَ، وَأُقَدِّمُهُمْ بَيْنَ

يَدَيَّ

حَوَائِجِي


Ya Allah, sungguh aku menghadap kepada-Mu dengan Muhammad dan keluarga Muhammad, aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan mereka, dan aku hadapkan mereka kepada-Mu sebelum aku menyampaikan hajat-hajatku. (Biharul Anwar 94: 22, hadis ke 19)

Kesembilan: Mengakui dosa-dosa

Mengakui dosa-dosa dan bertaubat dari segala salah dan dosa merupakan syarat dan adab berdoa yang sangat penting. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) pernah berkata: “Tiada puja dan puji kecuali semua milik Allah swt, kemudian akui dosa-dosa, lalu sampaikan permohonan kepada Allah swt. Demi Allah, tidak akan ada seorang hamba yang dapat keluar dari dosanya kecuali dengan pengakuan.” (Al-Kafi 2: 351, hadis ke 3)

Di antara doa Imam Ali bin Abi Thalib (sa) yang diriwayatkan oleh Kumail bin Ziyad:

وَقَدْ اَتَيْتُكَ يَااِلَهِي بَعْدَ تَقْصِيْرِي وَاِسْرَافِي عَلَى نَفْسِي مُعْتَذِرًا نَادِمًا مُنْكَسِرًا مُسْتَقِيْلاً.

مُسْتَغْفِرًا مُنِيْبًا مُقِرًّا مُذْعِنًا مُعْتَرِفًا وَلاَاَجِدُ مَفَرًّا مِمَّاكَانَ مِنِّي وَلاَمَفْزَعًا. اَتَوَجَّهُ اِلَيْهِ

فِي اَمْرِي. غَيْرَ قَبُوْلِكَ عُذْرِي وَاِدْخَالِكَ اِيَّايَ فِي سَعَةِ رَحْمَتِكَ. اَللَّهُمَّ فَاقْبَلْ عُذْرِي. وَارْحَمْ شِدَّةَ

ضُرِّي وَفُكَّنِي مِنْ شَدِّ وَثَاقِي

Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi,
dengan segala kekuranganku,
dengan segala kedurhakaanku (pelanggaranku),
sambil menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh,
memohon ampun dan berserah diri,
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku.
Karena segala cacatku ini,
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri,
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku,
selain pada kehendak-Mu untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada kesucian kasih-Mu.
Ya Allah,
terimalah pengakuanku,
lepaskan dari kekuatan belengguku.
(Mafatihul Jinan)


Kesepuluh: Menyampaikan permohonan
Setelah memuji Allah, bershalawat, dan mengakui dosa-dosa, maka sampaikan permohonan dan apa menyampaikan apa yang diinginkan dalam hal kebaikan dunia dan akhirat. Dalam hal menyampaikan permohonan, maka hendaknya secara bertahap, tidak menyampaikan sekaligus dan bermacam-macam keinginan, walaupun kita memohon kepada Tuhan Pemilik langit dan bumi yang tak akan dilemahkan oleh banyaknya keinginan kita, dan tidak akan habis khazanah rahmat-Nya karena banyaknya permohonan.

Selain itu hendaknya kita juga tidak menganggap kecil apa yang kita mohon kepada Allah swt. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Janganlah kamu tinggalkan sesuatu yang kecil karena menganggap kecil sehingga tidak dimohon kepada Allah, karena Dialah Pemilik sesuatu yang kecil dan sesuatu yang besar.” (Al-Kafi, 2: 339, hadis ke 6)

Rasulullah saw bersabda: “Hendaknya kamu memohon hajatmu kepada Tuhanmu sekalipun tali sepatumu ketika terputus.” (Biharul Anwar, 93: 295 dan 300)

Kita harus menguatkan niat yang tulus ikhlas dalam berdoa bahwa berdoa itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, agar doa kita segera ijabah dan diwujudkan oleh Allah, keindahan dan kebaikan takdir-Nya diabadikan oleh-Nya, dan selalu bermohon kepada Allah swt dalam keadaan yang sangat butuh kepada-Nya. Kondisi inilah yang menjadi kebiasaan orang-orang yang mulia.

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) pernah berwasiat kepada puteranya Al-Hasan (sa):
“Hendaknya kamu memohon sesuatu yang keindahannya abadi bagimu dan bencananya diselamatkan darimu, sementara harta tidak akan abadi bagimu dan kamu tidak akan abadi berasamanya.” (Nahjul Balaghah: Al-Kitab 31)

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Abu Dzar (salah seorang sahabat Nabi saw) sering menangis karena takut kepada Allah sehingga matanya membengkak, lalu dikatakan padanya: Sekiranya kamu berdoa agar matamu disembuhkan? Ia menjawab: Tentu aku akan disibukkan olehnya, padahal itu bukan keinginanku yang paling besar. Mereka bertanya: Apa yang menyibukkan kamu? Ia menjawab: Dua hal yang besar, surga dan neraka.” (Biharul Anwar, 22: 431, hadis ke 40)

Dalam hadis Qudsi disebutkan:

ياعبادي كلكم ضال إلاّ من هديته، فسألوني الهدى أُهدكم، وكلكم فقير إلاّ من أغنيته، فاسألوني الغنى أرزقكم، وكلكم مذنب إلاّ من عافيته،

فاسألوني المغفرة أغفر لكم


“Wahai hamba-Ku, kalian adalah orang yang sesat kecuali orang yang Aku tunjuki, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberimu petunjuk; kalian orang yang fakir kecuali orang yang Aku kayakan, maka mohonlah kekayaan kepada-Ku, niscaya Aku memberimu rizki; kalian orang yang berdosa kecuali orang yang Aku ampuni, maka mohonlah pengampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu.”
(Biharul Anwar, 93: 293, hadis ke 20)

Di antara doa Imam Zainal Abidin (sa):

يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالاكْرَامِ. أَسْأَلُكَ عَمَلاً تُحِبُّ بِهِ مَنْ عَمِلَ بِهِ، وَيَقِيناً تَنْفَعُ بِهِ مَنِ اسْتَيْقَنَ بِهِ

حَقَّ الْيَقِينِ فِيْ نَفَاذِ أَمْرِكَ. أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَاقْبِضَ عَلَى الصِّدْقِ نَفْسِي، وَاقْطَعْ

مِنَ الدُّنْيَا حَاجَتِي، وَاجْعَلْ فِيمَا عِنْدَكَ رَغْبَتِي، شَوْقاً إلَى لِقَائِكَ، وَهَبْ لِي صِدْقَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ


Wahai Pemilik keagungan dan kemulian
Aku memohon kepada-Mu
amal yang jika diamalkan Kau cintai dia
keyakinan yang jika diyakini Kau berikan padanya manfaat
keyakinan yang sebenarnya dalam menjalankan perintah-Mu.

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Ambillah diriku dalam kebenaran
Lepaskan hajatku terhadap dunia
Jadikan keinginanku pada apa yang ada sisi-Mu
dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu
Berilah aku kepasrahan yang tulus kepada-Mu.
(Shahifah Sajjadiyah: Doa 54)

Kesebelas: Mengenal Allah swt dan berbaik sangka kepada-Nya

Allamah Al-Hilli (ra) mengatakan: Di antara syarat-syarat doa yang baik adalah orang yang berdoa mengetahui kadar apa yang diinginkan di dalam doanya. Maksudnya orang yang berdoa harus mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. (Minhajul Yaqin: 375)

Ia harus berkeyakinan yang kuat bahwa rahmat Allah swt tak terbatas, Allah swt tidak menghalangi siapa pun dari curahan nikmat-Nya, dan pintu rahmat-Nya tidak pernah tertutup selamanya.

Rasulullah saw bersabda dalam hadis Qudsi bahwa Allah swt berfirman: “Barangsiapa yang memohon kepada-Ku dan ia tahu bahwa Aku kuasa memberi mudharrat dan manfaat, niscaya Aku perkenankan doanya.” (Biharul Anwar 93: 305)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) pernah ditanyai: Apa yang sebenarnya yang terjadi pada kami, kami sudah berdoa tapi doa kami tidak diijabahi? Beliau menjawab: “Karena kamu berdoa kepada Zat yang kamu sebenarnya tidak mengenal-Nya.” (Biharul Anwar 93: 368, hadis ke 4)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata tentang firman Allah swt: “Hendaknya kamu mengharap ijabah kepada-Ku dan percaya kepada-Ku,” (Al-Baqarah: 186): “Hendaknya mereka tahu bahwa bahwa Aku (Allah) kuasa memberi apa yang mereka mohon.” (Tafsir Al-Ayyasi 1: 83, hadis ke 196)

Berbaik sangka kepada Allah swt adalah salah satu bagian dari pengenalan terhadap Allah swt. Karena itu, orang yang berdoa harus berbaik sangka terhadap ijabah Allah.

Rasulullah saw bersabda: “Berdoalah kepada Allah dan kamu yakin terhadap ijabah-Nya.” (Biharul Anwar 93: 305)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kamu berdoa, maka hadirkan hatimu, dan yakini bahwa hajatmu sudah ada di pintumu.” (Al-Kafi 2: 344, hadis ke 3)

Di antara doa Imam Zainal Abidin (sa):

Ya Allah
Terhalanglah semua harapan dan habislah semua daya, kecuali di sisi-Mu
Sempitlah semua jalan, tertahanlah semua harapan,
Hancurlah semua keinginan, dan terputuslah semua cara kecuali pada-Mu
Pupuslah semua keinginan dan terputuslah semua harapan kecuali kepada-Mu
Sia-sialah keyakinan dan berbedalah pengenalan kecuali pada-Mu.

Ya Allah
Aku jumpai semua jalan keinginan pada-Mu terisinari,
semua tempat meraih harapan pada-Mu terbuka,
Aku tahu bahwa Engkau
bagi orang yang berdoa pada-Mu Kauberikan ijabah,
bagi orang yang menjerit pada-Mu Kau ulurkan pertolongan,
bagi orang yang bermaksud pada-Mu dekat jaraknya dari-Mu…”
(Biharul Anwar 95: 452, hadis ke 3)

Kedua belas: Beramal sesuai dengan pengetahuan Orang yang berdoa harus melakukan sesuatu sesuai dengan pengenalannya terhadap Pencipta-Nya. Yakni, ia harus memenuhi janji Allah dan mentaati perintah-Nya. Dua hal ini merupakan syarat yang paling penting bagi ijabahnya doa.

Jamil berkata bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) pernah ditanyai: Jadikan aku tebusanmu, sesungguhnyaAllah swt berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan doamu” (Al-Mukmin/40: 60), kami sudah berdoa tapi doa kami tidak diijabah! Beliau menjawab: “Kamu tidak memenuhi janji Allah. Sekiranya kamu memenuhinya pasti Allah memenuhi doamu.” (Tafsir Al-Qumi, 1: 46, surat Al-Baqarah: 40)

Allah swt berfirman kepada Dawud (as): “Wahai Dawud, tidak seorang pun dari hamba-hamba-Ku yang mentaati-Ku apa yang Kuperintahkan padanya, kecuali Aku memberinya sebelum ia memohon pada-Ku, dan mengijabah doanya sebelum ia berdoa pada-Ku.” (Biharul Anwar 93: 376)

Ketiga belas: Menghadap kepada Allah

Di antara adab berdoa yang paling penting adalah orang yang berdoa harus menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati, perasaan dan wujudnya. Ia tidak hanya berdoa dengan lisan sementara hatinya disibukkan oleh urusan-urusan dunia. Di sinilah letak perbedaan antara membaca doa dengan berdoa yang sebenarnya. Doa yang diresapi oleh hati seiring dengan bacaan lisan, maka ruhaninya pasti bergetar dan hajatnya pasti dicapai oleh hati dan perasaannya.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak mengijabah doa dengan hati yang lalai; jika kamu berdoa, hadirkan hatimu kemudian yakini ijaba-Nya.” (Al-Kafi 2: 343)

Keempat belas: Butuh kepada Allah

Orang yang berdoa harus menunjukkan bahwa ia benar-benar butuh kepada Allah swt. Ia menghadap kepada-Nya seperti menghadapnya orang yang sangat sengsara yang tak punya lagi harapan kecuali kepada-Nya, ia harus mencurahkan semua hajatnya kepada-Nya, tidak menggantungkan hajat-hajatnya pada sebab-sebab selain-Nya yang tidak kuasa memberi bahaya dan manfaat.

Allah swt berfirman: “Katakan! Berdoalah kepada orang-orang yang kamu anggap (Tuhan) selain-Nya, mereka tidak akan kuasa menghilangkan bahaya darimu dan juga tidak kuasa memindahkannya.” (Al-Isra’/17: 56).

Jika orang yang berdoa benar-benar hanya bersandar kepada Allah swt, hatinya benar-benar bergantung kepada-Nya dengan penuh keyakinan, maka inilah doa yang benar dan yang sebenarnya. Dan inilah doa yang diijabah oleh Allah swt seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya:
“Siapakah yang memperkenkan doa orang yang sengsara bila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan deritanya.” (An-Naml/27: 62).

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) pernah berwasiat kepada puteranya Al-Hasan (sa):
“Serahkan dirimu dalam semua urusanmu pada Tuhanmu, sesungguhnya yang demikian itu kamu menyerahkannya pada benteng yang terjaga dan pelindung yang kokoh, dalam permohonanmu pada Tuhanmu. Sesungguhnya hanya di tangan-Nya pemberian dan penahanan.” (Nahjul Balaghah, kitab 31)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika salah seorang dari kamu ingin tidak memohon sesuatu kepada Tuhannya kecuali Dia memberinya, maka hendak ia berputus-asa dari semua manusia, dan tidak memiliki harapan kecuali dari sisi Allah, maka ketika itulah ia tahu bahwa Allah azza wa jalla dari sebelumnya belum pernah dimohon sesuatu kecuali Dia memberinya.” (Al-Kafi, 2: 119, hadis ke 2)

Allah swt berfirman kepada Nabi Isa (as): “Berdoalah kepada-Ku seperti doa orang yang sedih dan tenggelam yang tidak ada lagi penolong. Wahai Isa, mohonlah kepada-Ku dan jangan minta kepada selain-Ku, maka saat itulah akan nampak kebaikan doamu dan ijabahi-Ku.” (Iddatud da`i: 134)

Kelima belas: Menyebutkan hajat

Allah swt mengetahui semua hamba-Nya, keadaan dan semua hajatnya. Dia lebih dekat kepada mereka dari urat nadinya. Namun demikian Allah swt menyukai hamba-Nya menentukan hajatnya dan menyebutkan namanya di hadapan Allah swt. Agar di hadapan Allah swt ia benar-benar merasakan kebutuhannya pada kemuliaan-Nya, dan sangat membutuhkan karunia dan maghfirah-Nya.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Sesungguhnya Allah swt mengetahui apa yang diinginkan oleh hamba-Nya ketika ia berdoa kepada-Nya, tetapi Dia menyukainya menetapkan hajat-hajatnya. Karena itu, jika kamu berdoa namai hajatmu.” (Al-Kafi, 2: 345, hadis ke 1)

Keenam belas: Melembutkan hati

Sangatlah dianjurkan bagi orang yang berdoa mengkondisikan diri agar dapat merasakan kelembutan hati, menumbuhkan rasa takut karena mengingat kematian, alam barzakh, stasiun-stasiun perjalanan di akhirat, dan hal-hal yang menakutkan di hari kiamat. Pengkondisian ini sangat penting, karena kelembutan hati menjadi sebab keikhlasan dalam mendekatkan diri pada rahmat Allah dan karunia-Nya.

Rasulullah swt bersabda: Sampaikan doa ketika saat merasakan kelembutan hati, karena kelembutan hati itu adalah rahmat.” (Biharul Anwar 93: 313)
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Dengan keikhlasan terjadi ketulusan hati, ketika terjadi rasa takut yang sebenarnya maka datanglah kepada Allah Yang Maha Pelindung.” (Al-Kafi 2: 340, hadis ke 2)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika salah seorang dari kamu merasakan kelembutan hati, maka berdoalah. Hati tidak akan merasakan kelembutan sebelum keikhlasan.” (Al-Kafi 2: 346, hadis ke 5)

Jika telah terasa kelebutan hati, maka saat itulah ia akan merasa kerendahan dirinya di hadapan khazanah rahmat Ilahi, dan akan merasakan permohonannya berada dalam ijabah Allah swt.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kulitmu menggigil, air matamu mengalir, dan hatimu bergetar, maka saat itulah raih cita-citamu.” (Al-Kafi 2: 346, hadis ke 8)

Ketika hati mengeras akibat dosa-dosa dan kemaksiatan, dan hati lalai untuk berzikir kepada Allah akibat bergantung pada dunia dan segala keindahannya, maka saat itulah ia terusir dari pintu rahmat dan karunia Allah swt, dan saat itulah doanya tidak diijabah oleh Allah swt, dan saat itulah terjadi benturan antara hati dan lisan.

Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib (sa): “Tidak akan diterima doa orang yang hatinya yang lalai.” (Al-Faqih 4: 265)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Allah azza wa jalla tidak akan menerima doa orang yang hatinya lalai.” (Al-Kafi 2: 344, hadis ke 2)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Allah azza wa jalla tidak akan mengijabah doa orang yang hatinya keras.” (Al-Kafi 2: 344, hadis ke 4)

Ketujuh belas: Menangis dan berusaha menangis

Sebaik-baik doa adalah doa yang disampaikan ketika hati merasa sedih dan duka, yang disertai oleh tangisan karena takut kepada Allah swt. Menangis adalah bagian dari adab-adab berdoa yang terpenting. Karena air mata adalah ungkapan pedosa, bahasa yang indah yang diungkapkan ketika bertaubat, merasakan kekhusuan, dan hanya bergantung kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Air mata merupakan duta dari hati yang lembut akibat keikhlasan dan kedekatan dengan pintu Allah swt.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kamu khawatir tentang suatu persoalan atau hajat yang kamu inginkan, maka mulailah dengan Allah dan memuji-Nya sebagaimana yang layak bagi-Nya, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, kemudian sampaikan hajatmu walaupun seperti kepala lalat (sekecil apapun).

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Keadaan yang paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya Azza wa jalla adalah ketika ia sujud sambil menangis.” (Al-Kafi 2: 350, hadis ke 10)

Menangis karena takut kepada Allah swt adalah bagian dari karunia yang istimewa yang tidak didapatkan dari selain-Nya, dan merupakan bagian dari ketaatan kepada-Nya. Tangisan adalah rahmat yang dikirim dari Pencipta Yang Maha Agung pada hamba-hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada tangga-tangga karunia dan kemuliaan-Nya. Tangisan juga dapat menghapuskan siksaan akhirat dan segala yang menakutkan di dalamnya.

Rasulullah saw bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia mendengar tangisan hatinya karena sedih, sesungguhnya Allah tidak akan memasukkan ke neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah sehingga air susu dapat kembalikan ke teteknya.” (Iddatud da`i: 168)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Tetesan air mata dan ketakutan hati adalah bagian dari rahmat Allah saat berzikir kepada-Nya. Jika kamu mendapatkan kondisi ini, sampaikan doamu. Dan sekiranya ada seorang hamba dalam ummat ini menangis, niscaya Allah swt menyayangi ummat itu karena zikirnnya yang disertai tangisan.” (Biharul Anwar 93: 336)

Jika tangisan menjadi keterbukan hati kepada Allah swt, maka kebekuan air mata menjadi tanda kekerasan hati yang menyebabkan seorang hamba terusir dari pintu rahmatAllah dan karunia-Nya, dan mengantarkan ia pada penderitaan yang sebenarnya.

Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Imam Ali bin Thalib (sa): “Wahai Ali, ada empat hal yang menyebabkan penderitaan: Kebekuan air mata, kekerasan hati, kejauhan angan-angan, dan cinta keabadian.” 61) 61). (Biharul Anwar 93: 330, hadis ke 9)

Ketahuilah! Tangisan kepada Allah swt adalah tanda keterpisahan dari dosa-dosa dan sifat kekasih-Nya. Hal ini tidak akan terjadi tanpa mengikis dosa-dosa dan bertaubat darinya.

Imam Ali Zainal Abidin (sa): “Bukanlah rasa takut orang yang menangis dan mengalir air matanya selama ia belum wara’ yang menjaganya dari kemaksiatan kepada Allah, tetapi hal itu adalah ketakutan yang dusta.” (Iddatud da`i: 176)

Ketika doa akan dimulai sementara kedua matamu belum siap menangis, maka kondisikan terlebih dahulu dirimu untuk menangis atau berusaha menangis, dengan cara mengingat dosa-dosa yang besar, stasiun-stasiun perjalanan Akhirat yang sangat menakutkan, hari akan ditampakkan semua yang ada dalam hati, dan akan diungkapkan semua rahasia. Insya Allah dengan cara ini kita akan merasakan rasa takut, tangisan doa yang sebenarnya, kelembutan dan keikhlasan hati.

Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa diijabahnya doa seseorang adalah doa yang disertai tangisan atau berusaha menangis (al-tabâki), walaupun dalam mengkondisikan diri ia harus dengan cara mengenang kematian anaknya, keluarga atau kekasihnya.

Ishaq bin Ammar pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Aku sudah berusaha menangis dalam berdoa tapi aku tidak bisa menangis, tetapi ketika aku mengenang kematian keluargaku, hatiku merasa lembut dan aku bisa menangis, apakah hal ini boleh? Beliau menjawab: “Boleh, kenanglah mereka, jika hatimu melembut nangislah, kemudian berdoalah kepada Tuhanmu tabaraka wa ta`ala.” (Al-Kafi 2: 350, hadis ke 7)

Jika Anda berminat tek arab hadis dan doa dalam artikel ini bisa mengcopi dari milis “Keluarga bahagia” atau milis “Shalat-doa”, yang Linknya berikut ini.

Kedelapan belas: Mendoakan orang lain

Di antara adab-adab berdoa yang juga sangat penting adalah mendoakan saudara-saudaranya muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat. Adab ini termasuk adab yang terpenting, karena hal ini mencerminkan rasa cinta sesama kaum mukminin, dan dapat menghilangkan kebencian dan perselisihan di antara mereka. Selain itu hal ini menjadi salah satu bagian dari tangga rahmat Allah swt, salah satu penyebab yang paling kuat diijabahnya suatu doa, akibat dari pahala dan karunia yang melimpah bagi orang yang berdoa dan yang didoakan.

Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu berdoa, maka doakan juga orang lain, karena hal itu menjadi sebab diijabahnya doa.” (Al-Kafi, 2: 354, hadis ke 1)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika seseorang membaca doa ini:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَجَمِيْعِ

اْلاَمْوَاتِ


Ya Allah, ampuni semua kaum mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat, yang hidup dan yang mati, Allah akan menghapuskan dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang, karena doa dari setiap manusia.” (Biharul Anwar 93: 391, hadis ke 24)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) juga berkata: “Doa seseorang untuk saudaranya yang tidak hadir dapat mengalirkan rizki dan menolakkan sesuatu yang tidak diinginkan.” (Amali Ash-Shaduq: 369, hadis ke 1)

Kesembilan belas: Merendahkan diri dan mengangkat tangan

Tentang merendakan diri dan khusuk Allah swt berfirman:
“Berzikirlah kepada Tuhanmu dengan kerendahan diri dan rasa takut.” (Al-A`raf/7: 205.
“Sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhannya, dan tidak juga berdoa dengan mengangkat dan merendahkan diri.” (Al-Mukminun/23: 76).

Muhammad bin Muslim pernah bertanya kepada Abu Ja’far (sa) tentang firman Allah swt:”Maka mereka tidak tunduk kepada Tuhannya, dan tidak juga berdoa dengan mengangkat tangan dan merendahkan diri.” (Al-Mukminun/7: 23). Beliau menjawab:
“Istikânah adalah khudhuk (patuh), sedangkan tadharru` adalah mengangkat tangan dan merendahkan diri.” (Al-Kafi 2: 348, hadis ke 2)

Imam Husein (sa) berkata: “Rasulullah saw mengangkat tangannya ketika memohon dan berdoa seperti orang miskin yang meminta makanan.” (Biharul Anwar 93: 339, hadis ke 9)

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw mengangkat tangan dan merendahkan diri dalam berdoa sehingga hampir-hampir jatuh selendangnya. (Biharul Anwar 93: 339, hadis ke 10)

Mengangkat tangan dan merendahkan diri adalah salah satu bagian dari sebab-sebab terkabulnya doa. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya, kemudian mengembalikan kedua tangannya dengan sia-sia.” (Biharul Anwar 93: 389, hadis ke 11)

Mengangkat kedua tangan mencerminkan kerendahan hati dan sikap butuh kepada Allah swt.

Abu Qurrah pernah bertanya kepada Imam Ali Ar-Ridha (sa): Mengapa ketika berdoa Anda mengangkat tangan ke langit? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah menjadikan makhluk-Nya sebagai hamba dalam berbagai ibadah, dan menjadikan makhluk-Nya sebagai hamba ketika berdoa dan bermohon, merendahkan diri dengan membuka dan mengangkat tangannya sebagai tanda kerendahan hati, kehambaan dan kehinaan di hadapan-Nya.” (Al-Ihtijaj: 407)

Kedua tangan memiliki beberapa fungsi dan peranan dalam berdoa, tergantung pada kondisi orang yang berdoa. Fungsi-fungsi itu untuk menunjukkan: raghbah (harapan), rahbah (rasa takut), tadharru` (kerendahan diri), tabattul (perasaan terputus dari segala sebab hanya kepada Allah, dan Ibtihal (menyampaikan permohonan).

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Raghbah (harapan) adalah membuka kedua tanganmu dan menampakkan telapak tanganmu. Rahbah (rasa takut): membuka kedua tanganmu dan membalik telapak tanganmu. Tadharru`: menggerakkan jari telunjuk kananmu ke kanan dan ke kiri. Tabattul: mengerakkan jari telunjuk kiri dan mengangkatnya ke langit secara perlahan-lahan dan mengembalikan ke posisi semula. Ibtihal: membuka kedua tanganmu dan kedua lenganmu ke langit; dan Ibtihal dilakukan ketika kamu melihat sebab-sebab terjadinya tangisan.” (Al-Kafi 2: 348, hadis ke 4)

Makruh hukumnya memandang ke langit. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) mengatakan bahwa ayahnya (sa) berkata: Pada suatu ketika Rasulullah saw lewat di dekat orang yang memandang ke langit ketika berdoa, lalu beliau bersabda kepadanya:
“Tundukkan pandanganmu, karena kamu tidak akan melihat-Nya.” (Biharul Anwar 93: 307, hadis ke 4)

Kedua puluh: Melembutkan suara dalam berdoa

Disunnahkan tidak mengeraskan suara dalam berdoa, agar terhindar dari riya’ yang merusak nilai amal seperti debu yang dihempas angin. Allah swt berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut.” (Al-A’raf/7: 55).
Imam Ali Ar-Ridha (sa) berkata:“Doa seorang hamba dengan suara yang lembut, bandingannya satu doa berbanding tujuh doa dengan suara yang keras.”
Dalam riwayat yang lain dikatakan:“Doa yang disembunyikan lebih utama di sisi Allah dari tujuh puluh doa yang ditampakkan.” (Al-Kafi 2: 345-346, hadis ke 1)

Kedua puluh satu: Tidak tergesa-gesa dalam berdoa

Di antara adab-adab berdoa adalah tidak tergesa-gesa dalam berdoa, tetapi hendaknya berdoa secara perlahan-lahan. Karena tergesa-gesa dalam berdoa mengganggu kehadiran hati dan kekhusukan dalam menghadap Allah swt. Hal ini menjadi tanda kerendahan hati dan kelembutan hati, sebagaimana tergesa-gesa dapat menyebabkan kekacauan dalam berdoa dan melupakan bagian-bagian tertentu di dalam doa.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Pada suatu ketika ada seseorang memasuki masjid lalu ia shalat dua rakaat, kemudian ia bermohon kepada Allah azza wa jalla, lalu Rasulullah saw bersabda: “Ini hamba tergesa-gesa dalam menghadap Tuhannya.” Kemudian datanglah orang yang lain, lalu ia melakukan shalat dua rakaat, kemudian memuji Allah azza wa jalla dan membaca shalawat, lalu Rasulullah saw bersabda: “Bermohonlah kamu, niscaya kamu akan diberi.” (Al-Kafi 2: 352, hadis ke 6)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Sesungguhnya seorang hamba jika ia tergesa-gesa lalu menyampaikan hajatnya, Allah azza wa jalla berfirman: ‘Tidakkah ia tahu bahwa Aku adalah Allah yang memperkenankan hajat-hajatnya’.” (Al-Kafi 2: 344, hadis ke 2)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya seorang hamba jika ia berdoa, Allah senantiasa memperkenankan hajatnya selama ia tidak tergesa-gesa.” (Al-Kafi 2: 344, hadis ke 1)

Kedua puluh dua: Tidak putus asa

Orang yang berdoa tidak boleh putus asa dari rahmat Allah, juga tidak boleh berharap agar ijabah doanya ditunda kemudian meninggalkan doa. Karena hal ini adalah bagian dari penyakit yang menghalangi pengaruh doa. Tidak ubahnya seperti petani yang menanam bibit tanaman kemudian merawat dan memeliharanya, kemudian karena pertumbuhan dan panen tanamannya terlambat, ia meninggalkan dan menyia-nyiakannya.

Diriwayat oleh Abu Bashir bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Orang yang beriman ia selalu berada dalam kebaikan dan rahmat dari Allah azza wa jalla selama ia tidak mengharap agar ijabah doanya dipercepat lalu putus asa dan meninggalkan doa.” Kemudian aku bertanya kepada beliau: Apa yang dimaksud dengan yasta`jil? Beliau menjawab: (Yasta’jil adalah)”Kamu berdoa pada waktu-waktu tertentu, sedangkan Allah tidak memperlihatkan ijabah-Nya.” (Al-Kafi 2: 355, hadis ke 8)

Orang yang berdoa harus menyerahkan semua urusannya kepada Allah, meyakini Tuhannya, dan ridha terhadap ketentuan-Nya. Ia harus menjadikan tertundanya ijabah doanya sebagai kemaslahatan dan kebaikan yang diinginkan dan dicintai oleh Allah swt; dan harus selalu berdoa dan membuka tangan harapannya dalam berdoa karena dalam hal itu terdapat pembalasan yang agung dan pahala yang melimpah.

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) pernah berwasiat kepada puteranya Al-Hasan (sa):
“Janganlah kamu putus asa karena tertundanya ijabah-Nya, karena pemberian itu sesuai dengan kadar niatnya. Mungkin ditundanya ijabah bagimu agar menjadi pahala yang paling besar bagi pemohon, pemberian yang paling melimpah bagi pengharap. Mungkin juga kamu memohon sesuatu lalu kamu tidak diberi dan kamu diberi yang lebih baik darinya cepat atau lambat, atau disingkirkan darimu karena itu lebih baik bagimu. Milik Tuhan semua persoalan, mungkin apa yang kamu harapkan itu dapat merusak agamamu jika diberikan kepadamu.” (Nahjul Balaghah, kitab 31)

Kedua puluh tiga: Istiqamah dalam berdoa

Orang yang berdoa harus tekun dan terus-menerus dalam berdoa dan memohon, baik diijabah atau tidak. Meninggalkan doa yang pernah diijabah termasuk sikap keras hati yang dicela oleh Allah swt:

“Jika manusia itu ditimpa bahaya ia memohon pertolongan kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya, tetapi jika Tuhannya memberikan nikmat-Nya kepadanya ia lupa akan bahaya yang pernah ia berdoa kepada-Nya sebelumnya.” (Az-Zumar/39: 8).

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) pernah menasehati seseorang: “Janganlah kamu termasuk orang …jika ditimpa bala’ ia berdoa dengan kesengsaraannya, dan jika memperoleh kebahagiaan ia berpaling dengan kesombongannya.” (Nahjul Balaghah- Al-Hikmah 150)

Jika ijabah doanya masih ditunda ia harus selalu berdoa dan bermohon. Karena doa memiliki keutamaan sebagai inti ibadah; sebagai senjata orang yang beriman untuk menghadapi keburukan setan, cinta dunia dan kejahatan hawa nafsu. Dan mungkin juga ditundanya ijabah itu menjadi kemaslahatan yang tidak diketahui kecuali oleh Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan yang tersembunyi. Sehingga, ditundanya ijabah itu menjadi kebaikan bagi seorang hamba, atau menjadi penolak bala’ yang segera datang yang kadarnya tidak diketahui. Semoga ditundanya ijabah itu menjadi suatu karunia yang agung dan kedudukan yang istimewa di sisi Allah swt, yaitu Allah swt senang mendengar rintihan suaranya dalam berdoa, karena itu hendaknya ia tidak meninggalkan apa yang dicintai oleh Allah swt.

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin yang memohon hajatnya kepada Allah azza wa jalla, kemudian ditunda kesegeraan ijabah-Nya karena Dia mencintai suaranya dan senang mendengar rintihannya.” (Al-Kafi 2: 354, hadis ke 1)

Orang yang berdoa harus selalu berdoa dalam segala keadaan. Karena yang demikian itu akan memperoleh rahmat, maghfirah dan ijabah doanya.

Rasulullah saw bersabda: “Allah menyayangi seorang hamba yang memohon hajatnya kepada Allah azza wa jalla, lalu ia terus-menerus dalam berdoa, baik diijabah atau belum diijabah.” (Al-Kafi 2: 345, hadis ke 6)

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Demi Allah, tidak ada seorang mukmin yang terus-menerus memohon hajatnya kepada Allah azza wa jalla kecuali Dia memperkenankannya.” (Al-Kafi 2: 345, hadis ke 3)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menyukai manusia yang terus-menerus minta kepada yang lain, Dia menyukai hal itu pada diri-Nya, sesungguhnya Allah azza wa jalla senang dimintai dan diharapkan apa yang ada di sisi-Nya.” (Al-Kafi 2: 345, hadis ke 4)

Kedua puluh empat: Berdoa sebelum kejadian

Di antara adab-adab berdoa adalah, seorang hamba harus berdoa dalam keadaan suka dan duka. Karena hal ini termasuk kepercayaan kepada Allah, kebergantungan hanya kepada-Nya, harapan akan karunia-Nya untuk menolak bala’, dan ijabahnya doa ketika duka dan menderita.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang ingin diijabah doanya ketika duka, maka hendaknya ia memperbanyak doa ketika suka.” (Al-Kafi 2: 343, hadis ke 4)

Di antara doa Imam Ali Zainal Abidin (sa): “Jangan jadikan aku orang yang sombong karena kebahagiaan dan menggerutu karena bala’, lalu tidak berdoa kepada-Mu kecuali ketika tertimpa goncangan, dan tidak mengingat-Mu kecuali ketika terjadi bahaya, kemudian ia merendahkan dirinya, dan mengangkat tangannya untuk bermohon kepada-Mu.” (Biharul Anwar 94: 130)

Kedua puluh lima: Memakai cincin aqiq atau firus

Dalam berdoa disunnahkan memakai cincin aqiq atau firus.

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Tidaklah diangkat tangan kepada Allah azza wa jalla kecuali Allah mencintai tangan yang padanya ada cincin aqiq.” (Iddatud da`i: 129)

Rasulullah saw bersabda bahwa Allah azza wa jalla berfirman: “Sungguh Aku malu pada hamba yang mengangkat tangannya yang padanya ada cincin firus, lalu mengembalikan tangannya dengan sia-sia.” (Biharul Anwar 93: 321)